
Catatan:
Fahrul Amama
Pulau Sangihe memiliki ekosistem pulau kecil yang bercirikan sumirnya batas antara daratan dan perairan. Wilayah laut dan daratnya menjadi kesatuan, dan kondisi keduanya saling memengaruhi kualitas lingkungan. Gelontoran air dari hulu sungai di pegunungan mencapai wilayah muara hanya dalam hitungan beberapa jam saja. Begitu pula banjir dan sedimentasi dari ‘atas’ akan segera berdampak kepada kualitas lingkungan wilayah pesisir di ‘bawahnya’. Sebaliknya, perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya pergeseran musim, kenaikan muka laut serta peningkatan intensitas badai dan gelombang laut yang tinggi akan langsung berdampak kepada degradasi lahan dan abrasi yang menyebabkan banyak tempat di daratan pesisir menjadi tidak layak huni.
Kondisi ekosistem pulau kecil yang didominasi oleh pegunungan vulkanik seperti di Sangihe memberi berkah kesuburan, sekaligus rentan terhadap bencana lingkungan. Morfologi wilayah Pulau Sangihe ini, yang bertopografi perbukitan terjal, dengan siklus air dan aliran sungai yang sangat pendek, serta sangat dekat dengan garis pantai memberi konsekuansi pengelolaan darat laut terpadu. Kondisi tanah vulknis, kemiringan, dan struktur bebatuan yang ringkih juga membuat Sangihe berisiko terhadap dampak eksploitasi dalam bentuk apapun.
Aktivitas tambang galian C saja bisa menimbulkan bencana lingkungan, apalagi tambang emas yang merombak bentang darat dan menggunakan bahan kimia berbahaya. Itu sebabnya rencana eksploitasi tambang, baik melalui skema perizinan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) maupun investasi tambang melalui kontrak karya dalam skala sedang dan besar perlu disikapi secara hati-hati.
Wilayah konsesi tambang yang menjadi bagian dari kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe dan telah mendapat izin usaha produksi di bagian selatan Pulau Sangihe ini meliputi lebih dari setengah luas daratan Pulau Sangihe. Analisis mengenai dampak lingkungan seharusnya dikaji dengan lebih menekankan prinsip kehati-hatian, berhubung luasannya mendominasi keseluruhan luas daratan Pulau Sangihe. Kegiatan tambang di wilayah seluas itu akan berdampak kepada daerah aliran sungai serta sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan maupun daya lenting masyarakat Sangihe.
Peta konsesi tambang ini mencakup pula wilayah pegunungan Sahendarumang, rangkaian pegunungan di selatan Sangihe yang terbentuk dari kawah purba dan melingkar seperti tapal kuda. Rangkaian puncak-puncak gunung seperti Bongkongsiok, Batukakiraeng, Kalumelahana, Batungbakara, dan Sahengbalira, membentang dari pesisir barat hingga pesisir timur Pulau Sangihe. Elevasinya cukup terjal di bagian dalam, meliputi daerah aliran sungai Tamako, serta melandai di bagian luar dengan puluhan daerah aliran sungai yang menghidupi masyarakat di wilayah Manganitu, Manganitu Selatan, Tabukan Tengah, dan Tabukan Selatan.
Wilayah tapal kuda ini didominasi kebun mozaik yang subur serta hutan perbukitan, dengan kondisi tutupan hutan paling baik di Pulau Sangihe. Hutan itu menjadi habitat burung endemik Sangihe seperti Salumisi Bembulaeng (Aethopyga duyvenbodei), Tanalawo (Otus collari), Lungsihe (Loriculus catamene), Bengka Ratu (Cittura sanghirensis), Bengka Dalugha (Ceyx sangirensis), Kuhono Entana (Erythropitta caeruleitorques), Manuk Niu (Eutrichomyas rowleyi), Sohabe Meha (Colluricincla sanghirensis), dan Matamawira (Zosterops nehrkorni). Tiga jenis yang disebut terakhir adalah jenis terancam punah dengan status kritis yang dilindungi.
Keberadaan jenis-jenis burung endemik terancam punah ini menjadikan Pulau Sangihe sebagai salah satu pulau kecil paling penting di dunia untuk konservasi jenis burung sebaran terbatas. Keberadaan jenis burung dengan status kritis telah mengundang banyak ornitolog internasional berkunjung dan melakukan penelitian di Pulau Sangihe. Tak sedikit pula pengamat burung dari berbagai negara yang mengunjungi wilayah Pegunungan Sahendarumang, hanya untuk melakukan pengamatan burung endemik Pulau Sangihe di habitat alaminya.
Wilayah konsesi tambang yang mencakup daerah Pegunungan Sahendarumang menjadi ancaman nyata bagi kelestarian burung khas Sangihe dan habitatnya. Eksploitasi tambang yang dilakukan tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian juga menjadi ancaman dalam bentuk kehancuran lingkungan. Kegiatan produksi yang dimaksudkan untuk kebangkitan ekonomi harus mempertimbangkan pula daya lenting masyarakat serta ketahanan pangan.
Dampak lingkungan akibat aktivitas tambang di daerah aliran sungai yang menghidupi masyarakat di wilayah selatan Sangihe perlu dikaji lebih seksama untuk menghindari bencana lingkungan. Perangkat AMDAL seharusnya tidak hanya sebatas persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha yang berdampak kepada lingkungan. Proses AMDAL harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan mengenai kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha atau kegiatan yang dibuat. Lebih dari itu, AMDAL seharusnya memberi pula informasi yang jujur dan akurat kepada masyarakat mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan eksploitasi.
Semua orang Sangihe, bukan cuma pemerintah kabupaten –apalagi pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, berhak menentukan masa depan pulau ini hingga keturunannya mendatang. Seberapa penting tetesan kesejahteraan untuk sebagian orang, dibandingkan bencana lingkungan yang akan ditanggung masyarakat tujuh turunan? Menolak rencana eksploitasi tambang emas menjadi pilihan logis demi kemaslahatan masyarakat Sangihe sekarang dan masa mendatang. (*)
(Penulis adalah Praktisi Konservasi Hidupan Liar)
Sungai Hiung, Manganitu. (foto: Sahrul Amama) oleh Manado 2
Discussion about this post