Oleh: Amato Assagaf
Mulanya Gnostisisme…
Apa yang membedakan antara mundus sensibilis dengan mundus imaginalis dalam epistemologi esoteris Barat adalah dualitas pada yang pertama dan ketidakduaan pada yang kedua. Alam indrawi kita memahami realitas sebagai realitas yang-dua, sedangkan alam imajinal kita mengisyaratkan pemahaman akan realitas tak-dua. Dalam sejarah esoterisisme Barat, titik tertinggi pemikiran dualisme adalah Gnostisisme. Plato dan Platonisme seolah memberikan pembenaran atas dualisme dimaksud tapi memahami seluruh pemikiran di atas dalam cara seperti itu hanya akan menjebak kita dalam kesalahpahaman yang fatal, bahkan terhadap Gnostisisme.
Sebagai sebentuk filsafat esoteris, Gnostisisme adalah renungan atas dualisme untuk mencapai gnosis. Tapi pemahaman yang cukup akan mitologi kaum Gnostik akan memberi kita wawasan mengenai kemungkinan pemahaman yang berbeda. Dalam mitologi dimaksud, dunia indrawi kita bertopang pada kejahatan materi. Ia bukan ciptaan Tuhan yang sesungguhnya tapi permainan jahat demiurge yang maha kuasa. Dan salah satu tipuan utamanya adalah dualisme.
Maka upaya untuk berenang dalam lautan ada demi mencapai gnosis tak bisa kita lakukan tanpa memahami dualisme dan tipuannya. Dalam konteks ini, dualisme adalah realitas itu sendiri, kenyataan sekaligus kebenaran. Adalah kejahatan materi yang memungkinkan dualisme dengan mendorong kita untuk membelakangi realitas pleroma, dunia surgawi yang tidak material, sebagai muasal keberadaan. Titik dari mana kita mengenal yang-salah, yang-buruk, yang-jahat, sebagai kenyataan pada dirinya sendiri yang terpisah dari segala kebaikan.
Tapi dualitas tidak bisa didorong terlalu jauh. Mereka tidak saling berhadapan, tidak berada dalam konflik. Mereka justru saling terkait, bahkan dalam keselarasan yang tak terduga; sebentuk kualitas ketiga dari kedua oposisi. Hegel menyebut prosesi kualitatif ini sebagai Aufhebung, sublasi. Kita menemukan makna lain dari perbenturan/pertemuan keduanya. Dan kita menjadi lebih tahu.
Baca selengkapnya seri tulisan Amato Assagaf bertema Esoterisisme di sini
Cerita tentang sublasi tidak datang dari antah berantah. Pada pikiran Kabbalah dan Neoplatonisme, yang-Satu adalah kualitas ketiga dalam bentuk yang berbeda. Plotinus menggambarkannya sebagai hasil emanasi yang-Satu, kualitas ada mutlak yang meresapi segala sesuatunya, membentuk apa yang kita kenali sebagai pola-pola hubungan antar-kualitas yang tampak bertentangan, Tao.
Pada Kabbalah, seperti juga Neoplatonisme, kualitas ini memiliki muasal. Dalam bahasa matematis Pythagoreanisme, ia disebut Monad. Seperti dua titik yang membentuk satu garis lurus, ‘dua Monad’ membentuk Dyad. Tapi istilah ‘dua Monad’ adalah kemustahilan yang hanya bisa dipahami lewat imajinasi teosofis Jacob Boehme mengenai Ungrund – kekosongan – yang menghendaki Ada.
Adalah “Kehendak” ini yang menjadi sebab dualitas; asosiasi mistis tentang Monad di hadapan cermin. Satu Monad dalam dua ada yang memutar roda samsara. Dan dalam putaran itu, lewat negasi atas negasi, kita melihat kembalinya Monad ke dalam lautan ada, Dyad – yang-Dua, yang berganda.
Kembalinya Monad dalam Dyad membentuk Triad; kita bisa membayangkannya secara matematis sebagai 1 + 2 = 3; Monad dalam Dyad yang membentuk Triad. Kualitas penyelaras manakala “yang-terbatas” membangun kosmos, yakni keindahan relasi dan harmoni dalam “ketidakterbatasan” semesta khaotik. Dengannya, pengetahuan menjadi mungkin, bidang bagi ruang dan waktu terbentuk, lalu kita memulai hitungan sebagai kehidupan, Urip.
Dyad, kualitas oposisional itu adalah dualisme yang-tak-dua. Selalu begitu karena, seperti rumusan teosofis Ibn Arabi, ia bermula dari pembedaan antara Nama yang adalah “Dia” dengan “bukan-Dia” – Zat Mutlak, Ungrund, Suwung, Sunyata – sebentuk “dua unitas” dari tafsir teogonis Boehmean antara Tuhan penuh murka dalam Perjanjian Lama dengan Tuhan penuh cinta dari Perjanjian Baru. Allah, yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu kembali.
Gnostisisme, dengan segala kearifannya, berhenti pada Dyad. Seperti dalam ajaran Nabi Magi Zarathustra, bukan karena itu adalah kebenaran mutlak tapi karena kita tidak mungkin melihat kemutlakan tapi hanya bisa memahami konstruksi oposisi segala sesuatu. Dualisme, dalam ajaran mereka, adalah kearifan tertinggi dari pengetahuan kita atas Parabrahman, “yang-entah” yang mengatasi semua deskripsi dan konseptualisasi.
Karenanya, Tuhan, jika kita mau menyebutnya demikian, adalah yang-tak-ada dan tak bisa di-ada-kan. Dia hanya “hadir” dalam Nama, membentuk garis keberadaan yang – kembali ke bahasa Hegelian – lewat prosesi dialektis Roh Absolut, Monad, membentuk pengetahuan sebagai hasil transendensi antara pengetahu dengan yang-diketahui. Kita bermohon dalam nama-Nya, Allah, Yesus atau Mulajadi Nabolon. Dan kita, mestinya, berhenti di situ untuk menapak Tao.
Lalu Kabbalah…
Kabbalah adalah pengetahuan misteri dan misteri pengetahuan. Sebuah ajaran yang, semula, rahasia ketika Hukum Taurat membayangkan sebuah lintasan masa dalam ketidaktahuan dan pengkhianatan. Siapa yang tahu dengan apa Hukum dibangun? Dan siapa yang akan terus menjaga pengetahuan itu? Karena, sementara Hukum adalah perintah bagi para ‘awwam’ yang dengannya berhamburan segala prosesi oposisional, Kabbalah adalah kehadiran Kebenaran kuno dan kekal dalam kode-kode bahasa bagi para ‘khawwas’ yang menjaga gnosis kesatuan segala.
Tapi Kabbalah menjadi pengetahuan tersembunyi, misteri, karena sejak semula ia telah disadari sebagai pengetahuan yang kelak tertolak. Seperti Tradisi Kebenaran prisca dan perennis, Kabbalah adalah esoterisisme itu sendiri. Dan, dalam konteks ini, sejarah Kabbalah adalah sejarah misteri pengetahuan yang menemukan perwujudannya di dunia Barat lewat apa yang kemudian disebut sebagai Kabbalah Kristen. Tokoh pertamanya adalah Giovanni Pico della Mirandola, bocah ajaib, esoterisis Kristen, humanis Renesans yang meninggal pada usia 31 tahun.
Seperti saran Faivre, “Kabbalah Kristen tidak secara harafiah dimulai dengan Pico della Mirandola, tapi lewat dialah (Kabbalah) benar-benar terwujud.” Keluar dari misterium sejarah pengetahuan esoteris Yahudi dan mengambil bagian dalam sejarah esoterisisme Barat. Apa yang penting dari Pico, menurut Faivre, adalah dia tidak berniat membuat tafsiran Kristen atas teogoni Yahudi tapi membentuk hermeneutika Kristen dengan memanfaatkan metode dari para komentator Yahudi dalam Kabbalah untuk menyingkap Kebenaran tersembunyi dalam teks-teks suci.
Dalam “90 Thesis” yang ditulisnya, Pico mengemukakan kembali diktum Tradisi tentang Kebenaran kuno dan kekal yang terdapat dalam semua ajaran esoteris. Baginya, kata Faivre, “Judaisme esoterik berkesesuaian dengan Kristianitas, dan ‘tidak ada pengetahuan yang paling baik dalam membuktikan ketuhanan Kristus seperti Kabbalah dan magia.’” Isyarat Kabbalah bagi pengetahuan itu adalah runtutan eksistensialitas ketuhanan lewat kode-kode esoteris yang menjelaskan kehadiran Monad dalam ketidakterbatasan oposisional Dyad.
Dalam melakukan itu, Kabbalah tak hanya menyarankan kesatuan dan kemudian penyatuan tapi juga Ain – yang-tak-ada – sebagai muasal hakiki segala ada(an). Kabbalah adalah antisipasi yang tidak mengherankan dari doktrin Kesatuan Ada Ibn Arabi, yang dalam ‘pengaruh’ Adi Shankara, menjadi sebentuk monisme radikal dalam kebenaran sunyata.
Perjalanan teogonis Ain ke Ain-Sof dan perwujudan semesta dalam Ain-Sof-Aur. Lingkaran dialektis yang darinya Hukum ditetapkan, diterapkan, dan dikembalikan. Kabbalah, seperti dalam Hegel, melihat lingkaran itu sebagai prosesi “dari-Nya kembali kepada-Nya” dalam gerak negasi abadi. Apa yang, bersama kaum Pythagorean, diserukan Nietzsche sebagai doktrin kembalinya segala sesuatu.
Artinya, oposisi itu nyata tapi bukan sebagai dualisme melainkan ruang emanatif bagi yang-Satu untuk terus menerus “hadir” dalam segala sesuatu, Dyad tak terbatas, untuk membentuk Triad, kosmos, pengetahuan, bidang bagi ruang dan waktu, Rabb, laku ilahiah dalam prinsip ketiga Boehme, dalam mundus sensibilis. Adapun antara dunia kita yang dipenuhi oleh tindakan ilahiah dengan puncak teratas Sephirot dalam skema Pohon Kehidupan Kabbalistik, ada rangkaian delapan titik emanatif, mediasi yang menempati mundus imaginalis.
Maka, seperti juga semua simbol dan narasi mitologis, kita tidak bisa membaca Kabbalah tanpa lebih dulu berada dalam wilayah imajinal. Karena tak hanya menjadi sebuah disiplin pengetahuan teosofis, Kabbalah juga adalah metode pencarian sekaligus penyingkapan Kebenaran dalam keterhubungan selaras manusia, alam dan Tuhan. Dan, pada satu titik, ia juga adalah sebuah mazhab pemikiran. Dalam rangkaian arus pemikiran, ajaran, dan gagasan esoterisisme Barat, Kabbalah adalah arus imajinal yang paling menghanyutkan.
Sulit bagi kita untuk membayangkan esoterisisme Barat tanpa Kabbalah. Seperti juga sulit bagi kita untuk membayangkan adanya bagian esoterisisme Barat yang tidak disertai – baik sebagai semangat maupun sebagai pengaruh – oleh Kabbalah. Dalam kerangka esoterisisme Barat, di luar Kabbalah Yahudi sendiri, setidaknya ada dua jenis Kabbalah sebagai arus pemikiran. Yang pertama, Kabbalah Kristen, sudah disinggung di atas. Yang kedua Kabbalah Hermetik, mula jadinya apa yang kita kenali sebagai esoterisisme Barat. Sebagai pembeda dalam tradisi penulisan di dunia Barat, pada yang pertama kata “Kabbalah” ditulis “Cabala” dan yang kedua ditulis “Qabalah.” Tapi apapun tulisannya maksudnya tetap sama, Kabbalah. Makanya aku lebih suka menuliskannya seperti itu, Kabbalah.
Meski begitu, tafsirannya telah menjadi berbeda. Seperti juga Kabbalah Kristen yang merupakan tafsir kreatif atas Kabbalah dalam wawasan Kristen, apa yang disebut Kabbalah Hermetik adalah tafsir sinkretis yang sangat kreatif dari pembacaan atas ajaran Kabbalah dalam wawasan Hermetika. Entah Musa yang menjadi guru Hermes Trismegistus atau sebaliknya, tidak ada yang secara frontal bertentangan antara Kabbalah dengan Hermetisme dan/atau Hermetisisme.
Lebih dari itu, keduanya tampak lahir dari induk yang sama. Dan manakala tiba pada perbincangan mengenai dualisme dan kemustahilannya dalam dunia imajinal, Kabbalah Hermetik berbicara dalam klaim yang hampir sepenuhnya bersifat praktis. Sesuai dengan peruntukannya yang melibatkan mistisisme dan okultisme, dua sisi esoterisisme dalam pandangan Versluis, Kabbalah Hermetik adalah sekaligus filsafat dan sains.
Kita, misalnya, bisa memulai pembicaraan soal Kabbalah Hermetik dan hubungannya dengan dualisme lewat pencarian kebenaran spiritual Kejawen atas jati diri. Ketekunan yang mendetail menyangkut realitas diri sebagai falsafah dan praktek realisasi diri sebagai sains spiritualnya. Suwung, Undgrund, realitas kemutlakan, adalah segala yang kita ketahui tentang Urip, kehidupan, realitas alam ketiga Boehmean, yang hanya bisa kita peroleh kesatuannya dalam gnosis akan Ingsun, diri yang melampaui ego, Atman sebagai percikan Brahman.
Realitas Ingsun adalah kesatuan Urip dalam “roso” yang perwujudannya sebagai gnosis adalah pengalaman individu yang terserap dalam Suwung. Bahasa meditatif Buddhisme menyebutnya sebagai keadaan tercapainya Nibbana. Sebentuk pengalaman yang mewujud dalam pengetahuan teosofis karena, sebaliknya, ia adalah pengetahuan yang dialami. Kita tak dapat mengalami Suwung – dalam bahasa Kejawen disebut “merasakan”; mengalami dengan roso – tapi kita bisa mengetahui pengalaman akan Suwung dengan mengalami Ingsun; merasakan diri dalam kekosongan mutlaknya; mencapai Nibbana.
Rangkaian pengetahuan akan realitas Ingsun dan realisasinya dipahami dalam Kabbalah Hermetik sebagai perjalanan bolak-balik dari atas ke bawah dan ke atas lagi sebagaimana dalam diktum Hermetika, “as above so below.” Yang pokok adalah, sebagaimana dalam ajaran Kejawen, Kabbalah Hermetik memahami perjalanan itu sebagai gnosis kesatuan mutlak dari dualisme Urip. Kita menemukan dualisme kehidupan sebagai kesatuan dalam Diri Sejati. Penemuan yang hanya mungkin setelah pengalaman kekosongan mutlak.
Artinya, Dyad kembali dipahami, lewat pengalaman, aktivitas roso, sebagai Monad dalam pemahaman akan diri sebagai percikan sumber kehidupan. Ini adalah dialektika negasi atas negasi, pencapaian sublasi ke sublasi, yang harus diakui bersifat absolut. Rangkaian pertanyaan atas setiap kemungkinannya adalah apa yang melahirkan Kabbalah Hermetik. Kita berhadapan dengan dualisme tanpa ampun tapi mengetahui keterhubungan segala dalam kesatuan mutlak, sedemikian sehingga bahkan pengetahuan kita akan itu seakan mengafirmasi dualisme itu sendiri. Karenanya pengetahuan selalu harus pengetahuan tertentu, jika tidak ia hanya akan tinggal dalam dualisme.
Dan pengetahuan tertentu itu adalah Pohon Kehidupan Kabbalah, Sefirot dan nantinya juga Qliphot, yang tumbuh di kebun Hermetika. Dalam bahasa Kabbalah Hermetik kita bisa menyebut problem dualisme sebagai problem yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan akan “yang-satu” tapi, dengan pembenaran yang jelas atas doktrin Adi Shankara, sebagai problem yang hanya bisa direnungkan dalam “yang-tak-dua.” Sampai di sini, kita harus bicara tentang Advaita, tapi mungkin di lain waktu.
Manado, 5 Oktober 2020
Rabbi Behmen
Discussion about this post