Manado, Barta1.com – Komite Keselamatan Jurnalis mengecam tindakan represif aparat kepolisian dari Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulsel yang melakukan penangkapan paksa terhadap tiga jurnalis Pers Mahasiswa di Makassar, Sulsel, saat meliput aksi nelayan Kodingareng, Sabtu (12/9/2020).
Adalah Hendra (Ketua UKPM Unhas), Mansyur (Pimpinan Redaksi CakrawalaIDE UPPM-UMI), dan Raihan (CakrawalaIDE UPPM -UMI). Selain mereka, ada tujuh nelayan dan 1 mahasiswa juga ditangkap.
Informasi yang diterima AJI Makassar, ketiganya sudah menunjukkan kartu pers dan surat tugas kepada polisi. Akan tetapi, polisi tidak mengindahkan kartu pers tersebut. Sebelum dibawa, mereka diduga mendapat tindak intimidasi dan kekerasan dari polisi.
Kemudian mereka diangkut menggunakan kapal Dit Polairud Polda Sulsel untuk dibawa ke kantor. Hingga saat ini, ketiga jurnalis tersebut masih ditahan di Kantor Dit Polairud Polda Sulsel. Kepala Dit Polairud juga menghalang-halangi akses bantuan hukum.
Komite Keselamatan Jurnalis menilai penangkapan ini bertentangan dengan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin jurnalis dalam menjalankan profesinya.
Undang-Undang Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 UU Pers menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta,” ujar Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir.
Komite Keselamatan Jurnalis mendesak aparat kepolisian membebaskan segera tiga jurnalis pers mahasiswa dan masyarakat sipil yang ditangkap secara sewenang-wenang.
“Mendesak Kapolri untuk menindak personelnya yang bertindak sewenang-wenang dan menghalangi kinerja jurnalis yang dijamin Undang-undang Pers,” ujarnya.
Kronologis Penangkapan
Sehari sebelumnya, Jumat (11/9/2020) empat jurnalis pers mahasiswa ditugaskan untuk meliput kegiatan nelayan di Pulau Kodingareng yang saat ini sedang menolak tambang pasir laut di wilayah tangkap.
Pengambilan gambar tersebut merupakan project kolaborasi Catatan Kaki UKPM Unhas dan CakrawalaIDE UPPM-UMI untuk membuat video dokumenter.
Mereka berangkat dengan menumpang kapal penyeberangan di Pelabuhan Kayu Bangkoa sekitar pukul 09.12 pagi. Di pulau tersebut, mereka menempati rumah salah seorang rekan. Setibanya, mereka melakukan observasi untuk kebutuhan pengambilan gambar. Mereka menemui sejumlah nelayan untuk wawancara.
Dalam proses observasi dan wawancara awal itu diketahui bahwa nelayan akan melakukan aksi lanjutan tolak tambang pasir keesokan harinya. Setelah rapat singkat, mereka memutuskan untuk ikut meliput aksi tersebut sebagai bahan dokumenter.
Pada Sabtu (12/9/2020), pagi harinya nelayan mulai berkumpul. Mereka bersiap untuk melakukan aksi. Para nelayan berangkat pada pukul 07.30 WITA dengan mengendarai Jolloro (kapal besar) dan Lepa-Lepa (kapal kecil). Para nelayan hendak mengusir kapal PT Royal Boskalis yang kembali menambang di Copong yang merupakan wilayah tangkap nelayan.
Keempat jurnalis pers mahasiswa tersebut menaiki kapal nelayan yang berbeda. Hendra dan Rahmat (UKPM Unhas) menaiki kapal nelayan yang sama. Sementara Mansyur dan Raihan di kapal nelayan yang lain. Kecuali Rahmat, ketiganya membawa kamera.
Aksi nelayan berlangsung sekitar dua jam lamanya. Setelah aksi, nelayan kembali ke Pulau Kodingareng. Dalam perjalanan pulang, sekitar pukul 09.40 WITA, dua sekoci (speedboat) Polairud memepet dan menabrak kapal nelayan. Satu alat kendali Jalloro (setir/guli) dirusak oleh polisi.
Di tengah keributan itu, salah seorang nelayan hendak kembali menjalankan kapal, namun polisi mencegah tindakan itu dan melepaskan tiga kali tembakan. Polisi kemudian menangkap nelayan dan ketiga jurnalis pers mahasiswa.
Menurut kesaksian Rahmat, ketiganya sudah menunjukkan kartu pers dan surat tugas kepada polisi. Akan tetapi, polisi tidak mengindahkan kartu pers tersebut. Sebelum dibawa, ketiganya diduga mendapat tindak intimidasi dan kekerasan dari polisi. Kemudian mereka diangkut menggunakan kapal Dit Polairud Polda Sulsel untuk dibawa ke kantor.
“Hingga saat ini, ketiga jurnalis tersebut masih ditahan di kantor Dit Polairud Polda Sulsel. Kepala Dit Polairud juga menghalang-halangi akses bantuan hukum,” ujar Affif (UPPM UMI), Harun (UKPM Unhas) dan Alfian Naim (PPMI DK Makassar).
Penulis : Agustinus Hari
Discussion about this post