Penulis: Ifralillah Hutuba
Ternyata komunikasi antara orang tua dan anak itu penting sekali. Seberapa penting? Dari skala 10-100, saya beri 100. Kenapa 100? Mari kita coba pelajari bersama kebermanfaatan komunikasi dalam keluarga.
Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak heran, sering kita temui orang tua yang memaksakan kehendak pada anaknya. Berbekal pengalaman dan pengetahuan, menjadi senjata yang ampuh bagi orang tua untuk mendoktrin anak harus A, B atau C.
Hal ini menjadi masalah yang cukup kuat dalam renggangnya hubungan antara orang tua dan anak; sama halnya pula antara seorang kakak dan adik.
Setelah belajar Ilmu Komunikasi kurang lebih dalam kurun waktu 7 semester belakangan ini. Alhamdulillah, Allah menitipkan beberapa pengetahuan yang InsyaaAllah ketika saya tuangkan dalam tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua; ketika posisi kita sebagai anak (kakak-adik), atau bahkan sebagai orang tua.
Dalam Ilmu Komunikasi kita punya berbagai macam bentuk komunikasi. Pada kesempatan ini, saya akan mejelaskan tentang pentingnya komunikasi antar pribadi; orang tua dan anak. Komunikasi antar pribadi ini bisa secara langsung atau pun tidak— Tapi, komunikasi secara langsung jauh lebih efektif.
Orang tua dan anak harus punya waktu untuk berkomunikasi. Sekedar berbasa-basi, atau bahkan berbicara mengenai hidup yang lebih relevan kedepannya.
Ketika kita memposisikan diri kita sebagai orang tua pada anaknya, atau sebagai seorang kakak pada adiknya. Maka, saat interaksi itu berlangsung lakukanlah selayaknya orang dewasa yang ingin melindungi. Ingat yaaa, melindungi bukan menghakimi.
Dan juga, ketika kita berkomunikasi, maka kita turut melibatkan psikologi (bahasa tubuh) dalam menjalin interaksi. Sebisa mungkin, ketika anak bercerita tentang sesuatu dan lain hal. Maka yang patut dilakukan oleh orang tua dalah menatap mata anak.
Mengapa? Karena menatap mata anak saat berbicara membuat anak merasa percaya diri. Anak merasa senang karena orang dewasa yang sedang mengajaknya berbicara mempercayai dirinya sepenuh hati. Lambat laun proses ini akan melahirkan jiwa anak-anak yang amanah dikemudian hari.
Iya, sesederhana itu. Dan bahkan ketika anak berbicara panjang lebar tentang pencapaiannya, maka sebisa mungkin berikan apresiasi berupa pujian, tepukan tangan, atau bahkan hadiah berupa kejutan. Pun ketika anak berbicara panjang lebar tentang keluh kesahnya, dengarkan sampai anak itu selesai. Hal ini merupakan bagian dari penyaluran emosi anak. Tunggu sampai anak tenang dan tak lagi emosi. Lalu perlahan-lahan masuk dalam kehidupannya dengan kalimat “Nak, mama/papa mengerti masalah kamu. Tapi, kalau kamu sampai teriak-teriak dan marah-marah seperti tadi, dari mana kami bisa tahu kalau kamu kesalnya karena apa? Coba cerita apa yang buat kamu kesal hari ini?”
Ya, jadi orang tua harus bisa terima kritikan dan arahan dari anak. Sangat tak adil memang ketika kita menjadikan anak sebagai objek kritikan, tapi kita sendiri malah anti kritik. Ini semata-mata untuk perbaikan diri sebagai orang tua juga.
Berikutnya adalah sebagai orang tua kita tentu berharap anak kita bisa A, B, C dan bahkan Z. Sampai-sampai memaksa anak untuk ini dan itu guna mencapai keinginan kita. Tapi, pernahkah kita bertanya pada anak apakah hal yang diinginkan orang tua adalah yang terbaik untuknya? Sekalipun dengan tujuan untuk membangun karakteristik yang baik pada anak.
Lagi pula, membangun karakteristik seoang anak itu pada usia 0-3 tahun. Sangat sulit jika usia anak telah memasuki masa remaja dan dewasa, kita berdalih masih “membangun karakteristik” anak. Baiknya, ketika anak memasuki usia remaja dan dewasa, kita sebagai orang tua memberikan ia kepercayaan tapi tetap dalam pengawasan. Pegawasan disini bukan berarti apapun yang dilakukan anak selalu dikontrol, bukan! Tapi, berikan anak pemahaman tentang batasan-batasannya sebagai perempuan/laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat.
Hampir lupa.
Menjadi orang tua itu tanggung jawabnya memang berat. Apalagi membentuk karakter anak agar sesuai keinginan orang tua, sungguh itu terlihat mustahil, tapi bukan tidak mungkin. Maka, jalan baiknya adalah jadikan diri kita selaku orang tua sebagai role model sejak anak usia dini.
Kita meminta anak untuk patuh terhadap kita sebagai orang tuanya, tapi kita sendiri kepada orang tua kita justru berlaku seenaknya. Kita meminta anak untuk jangan berkata kasar dan keras, tapi kita sendiri sering berkata kasar dan keras dihadapan anak kita. Kita memerintah anak untuk sholat dan mengaji, tapi kita sendiri sering lalai dan bahkan tidak menyempatkan waktu sama sekali untuk sholat dan mengaji. Lantas, suri tauladan seperti apa yang patut dijadikan contoh dari kita sebagai orang tua untuk anak? Sebab, ketika anak berusia 0-3 tahun, maka masa itu adalah masa ‘Unconscious Mind’. Anak mudah menyerap informasi lingkungan sekitarnya secara tidak sadar melalui panca indra yang dimiliki. Pada usia ini anak akan mengembangkan kemampuan dengan mencontoh dan meniru apa saja yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan.
Terakhir.
Pahami kondisi psikologis anak. Pahami jiwa yang melekat pada anak. Ketika kita melihat anak tetangga berhasil mendapatkan nilai Matematika A, kita sibuk memarahi anak kita karena tidak berhasil mendapatkan nilai yang sama dengan anak tetangga. Padahal, yang seharusnya kita tanyakan justru pada diri kita sendiri selaku orang tua “Metode pembelajaran apa yang harusnya diterapkan orang tua terhadap anak untuk mendapatkan A?”, atau “Mungkin bakat anak bukan di Matematika melainkan Seni atau bidang lainnya”.
Ingat, setiap anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang berbeda, pola asuh pun pasti berbeda. Maka, jangan sekali-kali membandingkan atau bahkan menyamakan anak kita dengan anak orang lain.
Mulailah sedini mungkin memberikan kepercayaan besar terhadap anak. Jangan mengekang dan jangan terlalu pula dilepaskan, sebab anak juga butuh perhatian berupa perlindungan dan kepercayaan.
Sama halnya ketika kita dalam posisi sebagai anak. Penting bagi kita untuk mengerti keinginan dan kemauan orang tua. Tanyakan “Apa yang bisa membuat papa/mama bahagia?”, atau cukup terbuka saja tentang hal yang kita sukai atau pun tidak. Baik/buruk pengalaman dalam keseharian, sampaikan pada orang tua. Jadikan orang tua sebagai pendengar yang baik.
Percayalah, jika kita menerapkan hal ini dalam kehidupan kita sebagai orang tua atau pun anak. Maka, tak akan ada lagi kerenggangan hubungan yang terjadi dalam keluarga antara anak dan orang tuanya. Tak akan ada lagi anak yang mencari perhatian dan pelarian di luar rumah. Sebab, ia telah mendapatkannya di dalam rumah. (*)
(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Jurnalistik Semester 7)
Discussion about this post