Karena menolak tunduk kepada Belanda, ia ditawan, dan dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Di kemudian waktu, keberaniannya menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia di Siau.
Ada sebuah makam berusia 129 tahun di dusun Kliwon, Sangkanhurip, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dikebumikan di sana bukan tokoh kalangan Jawa atau warga setempat. Namun, masyarakat di sana menjadikan makam itu tempat ziarah. Itulah makam raja kerajaan Siau Jacob Ponto.
Dalam catatan sejarah kerajaan Siau, ia dikenal sebagai seorang pangeran asal Kaidipang, Bolangitang yang memerintah di kerajaan Siau selama 38 tahun.
Banyak yang tak tahu asal-usul tanaman pala di pulau Siau — yang saat ini dijuluki sebagai King of Species oleh pasar Uni Eropa– adalah salah satu peninggalan dari era raja yang dikenal heroik ini.
Mengutip sumber-sumber tertulis Eropa, sejarawan Adrianus Kojongian mengungkap, raja Jacob Ponto banyak melakukan pembaruan untuk mensejahterakan rakyatnya di masanya. Antara lain, di tahun 1880 ia melakukan budidaya pala besar-besaran di Siau.
Penyair dan budayawan Cirebon, Ahmad Syubbanudin Alwy pun punya kesaksian. Kepada penulis ia mengatakan, setiap perayaan kemerdekaan 17 Agustus, makam itu selalu didatangi peziarah dan ada upacara bendera di sana.
“Dari kesaksian masyarakat, semasa hidupnya, Raja Siau ini sangat dihormati warga Sangkanhurip. Ini sebabnya, mekamnya menjadi tempat ziarah warga,” ungkap Alwy.
Kendati di Siau sendiri, perjuangan raja Jacob Ponto tak banyak dibicarakan. Namun di tahun 1966 makamnya dibersihkan dan dibangun oleh keluarga dari tokoh pejuang C.D. Ponto, asal Siau yang tinggal di Jakarta.
Pada tahun 1980-an juga dibebaskan sebidang lahan sekitar makam. Di lahan itu sejak kurun tahun 1980-an hingga kini, setiap jelang hari kemerdekaan 17 Agustus menjadi tempat renungan suci dan upacara bendera.
Dalam buku “Jejak Leluhur” Max S. Kaghoo 2016, ada data yang janggal. Disebutkan, masa pemerintahan raja Jacob Ponto di kerajaan Siau dimulai pada tahun 1850 dan berakhir pada 1866 atau 16 tahun berkuasa.
Data yang ditampilkan Kaghoo itu dikoreksi sejarawan Adrianus Kojongian, karena menurutnya, raja Jacob Ponto berkuasa selama 38 tahun di kerajaan Siau yaitu sejak tahun 1850 hingga 1889.
Dijelaskan Kojongian, penahanan raja Jocob Ponto hingga dibawa ke Manado terjadi pada bulan Agustus 1889. Dan pada bulan Oktober 1889 martabatnya sebagai raja baru dicabut oleh Gubernur Jenderal.
Setelah menanti di penjara Manado, kemudian turun beslit Gubernemen tanggal 11 Februari 1890 nomor 7, dimana untuk kepentingan perdamaian, raja Jacob Ponto diputus dibuang ke pulau Jawa yakni di Cirebon.
Dalam catatan Kojongian, raja Jacob Ponto ditangkap dengan tuduhan menentang diam-diam pemerintahan Belanda dan hendak membarter wilayahnya untuk kekuatan asing. Kemudian juga ada tuduhan salah urus kerajaan. Tanggal 3 Mei 1890 ia meninggal dunia dan dikebumikan di Sangkanhurip, sekarang masuk Kabupaten Kuningan.
Sementara penulis Pitres Sombowadile mencatat Jacob Ponto saat memerintah selama 38 tahun dikenal menolak tunduk kepada Belanda. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya juga melawan untuk menaikkan pajak kepala setiap laki-laki dewasa 1 gulden serta melepaskan agamanya (Islam).
Raja ini, ungkap dia, hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi (1591-1631).
Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Dia berdebat dengan pejabat Belanda dan mengatakan untuk residen Manado: ‘’Residen punya perintah, tetapi beta Raja Siau punya negeri dan bala rakyat. Simpanlah perintah tuan untuk negeri tuan.’’
Pada tahun 1889, catat Sombowadile, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto.
Wakil Residen Manado datang ke Siau dan meminta raja Jacob Ponto naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat tiba di kapal, raja Jacob Ponto ditawan. Selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon,
Ini sebabnya, di kalangan masyarakat Siau, raja Jacob Ponto terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon). Di Cirebon beliau mendarat dan tinggal di rumah di kompleks Pakayun, yaitu perkampungan Arab.
Dikisahkan, saat tiba di Cirebon raja ini menderita sakit, di antaranya sakit kulit. Hal ini disebabkan karena kondisi ruang tahanan kapal yang kotor dan dia tidak mandi selama dalam pelayaran karena dirantai.
Karena sakit itu raja minta dia dimukimkan ke sumber mata air panas di Cipanas. Sumber mata air itu terkenal manjur untuk pengobatan, karena mengandung yodium.
Dia kemudian dipindahkan ke sebuah rumah miliki seorang Arab, rumah itu dikenal masyarakat sebagai rumah jangkung yang kini berada dekat hotel Cipanas, Sangkanhurib.
Menurut keterangan mantan kades desa itu, raja Jacob Ponto pernah juga ditahan di hotel tersebut. Hotel itu memang milik seorang wanita Sunda yang kawin dengan seorang Belanda. Saat dirawat itu (titirah) akhirnya Raja Jacob Ponto mangkat dalam pengasingan.
Dari Tradisi Kawin-mawin
Tradisi kawin-mawin antar kerajaan bertetangga di masa lalu, telah mengatar Jacob Ponto, seorang pangeran kerajaan Bolangitang menjadi raja di kerajaan Siau.
Menurut sejarawan Adrianus Kojongian, raja Jacob Ponto adalah anak raja Daud Ponto dari kerajaan Bolangitang. Diangkat menjadi Raja Siau pada tanggal 26 September 1850, menggantikan pamannya Nicolaas Ponto. Ia meneken perjanjian dengan Residen Manado W.C.Happe pada 8 Juni 1865 serta kontrak 11 Desember 1884 dan 26 November 1885 dengan Residen O.M.de Munnick.
Sementara Pitres Sombowadile mengungkap raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan siau dan kerajaan Bolangitang, yaitu antara Raja Bolangitang Salmon Ponto dengan puteri Siau Vilivinia Jacobus.
Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif bentukan Raja Siau Ketiga Winsulangi.
Disebutkan, Majelis Kerajaan ketika itu mendapatkan kesulitan menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau. Karena itu catat Sombowadile, sejak raja Siau ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang ibunya asal Siau dan berada di kerajaan-kerajaan tetangga.
Jacob Ponto adalah raja ketiga yang diangkat dari luar Siau sesudah Franciscus Octavianus Paparang (1822-1838) dan Nicolaas Ponto (1839-1850). Dia adalah seorang muslim.
Tanah kelahiran Jacob Ponto, Bolangitang adalah sebuah lanskap yang saat ini terletak dalam Wilayah kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Provinsi Sulawesi Utara. Pada abad ke-XIX kawasan tersebut merupakan pusat Kerajaan BolaangItang (Bolangitang), salah satu kerajaan Suku Mongondow. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post