Sangihe, Barta1.com – Sarasehan dalam rangka memetakan masa depan musik bambu Sangihe, berlangsung di Aula Dinas Kebudayaan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kamis (4/4/2019). Sarasehan ini menghasilkan kesepakatan antara lain mematenkan nama musik bambu menjadi musike kalaeng.
Dalam sarasehan itu, empat orang budayawan serta pelaku seni Musik diberikan kesempatan memaparkan sejarah perkembangan musik bambu (musike kalaeng), yaitu Jupiter Makasangkil, Alfian Walukouw, Josephus Kakondo dan Aldus Horohiung, hingga kemudian didiskusikan bersama dengan para undangan yang hadir.
Puluhan pelaku seni budaya menyepakatinya karena dirasa musik tersebut telah lama mewarnai perjalanan sejarah kebudayaan Sangihe, sehingga dirasa perlu untuk mematenkannya sebagai aset kebudayaan Sangihe dengan nama musike kalaeng.
“Untuk mencapai itu, tentu ada misi tujuan. Sasarannya itu perlu dikemas dari semua stakeholder yang ada di daerah. Jadi stakeholdernya selain dari pelaku-pelaku musik adalah pemerintah daerah. Sehingga seni budaya daerah tadi yang sudah disinggung, jadi tuan rumah daerah sendiri. Setelah tuan rumah di daerah sendiri, dia menjadi bagian dari budaya nasional,” kata Josephus Kakondo.
Lanjut dia, kalau ada pengakuan nasional antara lain melalui sejarah, sehingga pertama, pengakuan nasionanya normatifnya adalah hak paten. Pendaftaran sebagai hak paten. Sehingga gerakannya kedepannya sudah bukan lagi gerakannya pekerja seni, tetapi gerakan negara, gerakan nasional untuk Go-Internasional.
“Pelan pelan mulai berharap hal seperti ini, sistematis konsisten berkelanjutan. Kebijakan kebijakan berpihak dengan kepentingan seperti ini,” ujar Kakondo, yang juga merupakan seniman musike kalaeng.
Hal senada juga disampaikan budayawan, Jupiter Makasangkil MTh, harapannya melalui Sarasehan tersebut dirinya berharap musike kalaeng tidak hanya menjadi milik orang sangihe, tapi bisa menjadi milik Sulawesi Utara, milik Nasional sebab bagaimanapun menurutnya seni budaya daerah juga aset seni budaya nasional.
“Kalau bicara hasil sarasehan ini kiranya tidak sekadar sebagai pemenuhan suatu kegiatan dalam APBD tapi betul betul harus ada tindak lanjut yang sungguh-sungguh dalam bentuk berbagai program dan kegiatan pemerintah daerah untuk menyiapan event dimana semua pelaku seni Musike Kalaeng dan juga, grupnya ini bisa tertumbuh,” kata Makasangkil.
Tak hanya itu, Makasangkil juga mengimbau agar pemerintah sudah seharusnya memperhatikan seniman-seniman daerah, misalnya menurut dia seperti hamba-hamba Tuhan yang diberikan santunan.
“Tidak hanya menyiapkan event, tetapi pelaku seni Musike Kalaeng diberlakukan sama seperti hamba Tuhan yang tiap tiga bulan dapat bantuan dana dari Pemerintah,” ujar dia.
Terkait dengan nama musike kalaeng. Menurut Makasangkil itu tertulis dalam buku kerja tahun 1961 almarhum Denti Makasangkil yang tak lain adalah ornag tuanya sendiri. Dituturkannya, dalam buku tersebut tercatat pada waktu itu mereka ada pertemuan tua-tua masyarakat Sangihe-Talaud untuk membicarakan sumbangan pikiran seni budaya di Sangihe, di zaman Bupati Hari Sutoyo. Tertulis mereka membicarakan masa depan Musike Kalaeng.
“Mereka berfikir, kalau musike kalaeng tidak diambil perhatian oleh pemerintah dengan menyiapkan event mereka boleh bertemu mengaktualisasikan diri sebagai kelompok musik bambu yang ada di Sangihe, maka kedepan akan hilang,” ungkapnya.
“Gagasan yang ada dalam pertemuan itu mereka sampaikan kepada Bupati Hari Sutoyo bagaimana musike kalaeng ini ditampilkan mengawali pembukaan Porda tahun 1963, dan ada lombanya Hingga dari situ musik kalaeng bertumbuh di tiap kampung dan kecamatan,” jelas Makasangkil.
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post