Dalam sebuah perbicangan dengan penulis, pertengahan 2017 di Manado, pengamat budaya dan masalah-masalah sosial Alex Ulaen PhD mengungkapkan, hubungan Sulawesi Utara dengan Filipina Selatan sejak masa lalu adalah ikatan persaudaraan, karena adanya uraian silsilah atau tarsila nenek moyang yang sama.
“Secara historis, Filipina merasa dirinya terkait dengan sedemikian banyak komunitas di wilayah pulau Sulawesi bagian Utara,” kata Ulaen.
Menurut dia, dari perspektif kebahasaan, misalnya, dominan bahasa-bahasa lokal di Sulawesi bagian Utara masuk ke dalam rumpun bahasa-bahasa Filipina.
“Secara khusus yang pantas disebut adalah hubungan terkait eksistensi kerajaan Tugis (Mindanao) dan Kendahe (Sangihe); atau hubungan terkait tokoh bernama Gumansalangi sebagai tokoh awal para penguasa di Sangihe yang datang dari Mindanao,” ungkapnya.
Cerita hubungan darah Utara-Selatan itu makin berkembang, karena ada uraian Ramirez –seorang penulis Filipina— dia ikut membahas cerita-cerita Mindanao yang sejenis dengan cerita khas Minahasa: Lumimuut dan Toar.
Ini sebabnya di tahun 1994 Presiden Filipina Fidel Ramos berbulat tekad hendak menggalang kerjasama antar wilayah-wilayah dalam negara-negara ASEAN yang secara langsung berbatasan dengan Filipina. Mudigah gagasannya itu mewujud menjadi konsep BIMP-EAGA (Brunei Darusallam, Indonesia, Malaysia, Phillipine East ASEAN Growth Area).
Menariknya, Sulawesi Utara masuk dalam wilayah fokus BIMP-EAGA sejak awal konsep regionalisme ini dikumandangkan.
Pitres Sombowadile dalam sebuah artikelnya mengungkapkan, persepsi para elit Filipina, kerjasama BIMP-EAGA khas selalu dicerapi berlatar kultural baik ke Sulawesi maupun ke Sabah (Malaysia).
Telisikan seksama yang dilakuan Sombowadile pada buku budaya mewah karya Jong Balagtas Ramirez “Ang Timog The Southern Haritage” memberi konfirmasi bahwa daerah-daerah di perbatasan Utara Indonesia nyata punya hubungan dengan banyak satuan pemerintahan tradisional di Selatan Filipina. Kata ‘Ang Timog’ berarti ”di atau ke Selatan”,. Kata yang hampir sama dipakai di bahasa-bahasa Sulawei Utara, misalnya Tombulu dan Tountemboan.
Kerjasama regional yang berdiri di atas kaki budaya sejak Presiden Ramos itu kata dia, sudah berlangsung sekian lama dalam hitungan nominal tahun. Hanya saja pada satu rentang waktu kerjasama itu mengalami kemandegan. Yaitu, terjadi karena negara-negara partisipannya terpaksa harus berbenah diri ke kancah internalnya sendiri-sendiri untuk mengatasi pukulan gelombang krisis moneter dan ekonomi Asia Tenggara tahun 1998. Tercatat kondisi nanti mulai pulih, paling kurang bagi Filipina, pada tahun 2003 sebagaimana uraian laporan ADB.
“Sulawesi Utara pantas disebut bahwa pihak yang sangat ‘birahi’ dengan kerjasama ekonomi ke arah Utara itu. Berbagai kerjasama telah diaktakan pemerintah lokal, selain kerjasama di bawah payung BIMP-EAGA. Kerjasama itu bermula di wilayah-wilayah perbatasan kawasan SaTaS (3 kabupaten Nusa Utara) yang beringsut ke wilayah-wilayah daratan pulau Sulawesi Utara, misalnya ke Bitung, Manado dan Minahasa,” sebut Sombowadile.
Dalam kerjasama lintas perbatasan Fil-Indo itu, ungkapnya, berbagai upaya telah dirintis Sinyo Harry Sarundajang, baik dalam kapasitas awalnya sebagai walikota Bitung, dan kemudian sebagai gubernur Sulawesi Utara. Dalam kapasitas sebagai gubernur Sulawesi Utara ketika itu, Sarundajang bertandang ke Mindanao dengan serombongan besar pengusaha, pejabat daerah berwenang, wartawan dan wakil masyarakat. Dia membuka kembali tingkap-tingkap peluang aliran rejeki Sulawesi Utara dan Mindanao.
Upaya Sarundajang kembali berpaling ke Utara pantas disebut sangat tepat dilakukan ketika salah satu formula perbatasan menurut Konsep UNCLOS 1982, yaitu perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipian dicapai Mei 2014 lalu. Capaian ini adalah hasil kerja panjang 20-an tahun diplomasi bilateral Indonesia-Filipina.
Dalam artikelnya, Sombowadile mengatakan, capaian batas laut ZEE itu pantas disebut hasil penting masa bakti pemerintahan SBY. Dan capaian itu sangat strategis bagi pembangunan daerah-daerah perbatasan Utara Indonesia. Karena memang, salah satu titik kelemahan dalam mendorong kerjasama regional Indo-Fil adalah kelalaian pemerintah pusat dalam menetapkan tata batas dua negara ASEAN ini.
Tata batas yang tidak jelas itu adalah identik dengan ketidakpastian setting upaya merumuskan konsep pembangunan dan aneka niat investasi swasta di wilayah perbatasan. Masalah tersebut juga ditegaskan dalam bukunya bersama Winsulangi Salindeho: ”Kawasan Sangihe Talaud Sitaro: Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan” (Fuspad, Yogyakarta, 2007).
Ketidakpastian tata batas yang sekian lama dipelihara negara itu, tidak tanggung-tanggung pantas disebut sebagai salah satu ‘upaya pembatasan’ bagi kemajuan daerah perbatasan, ungkap dia.
Untunglah bahwa ‘pembatasan’ itu sudah berakhir dengan disepakatinya dokumen delimitasi batas ZEE Indonesia dan Filipina pada 8 titik di Laut Sulawesi yang penandatanganannya ikut dihadiri SBY di Manila.
Dokumen kesepakatan itu bagi Sulawesi Utara mestilah ditafsirkan sebagai mukadimah peluang kemajuan bagi Sulawesi Utara, yaitu peluang untuk memanfaatkan potensi di Utara dan di perbatasan.
Di lain sisi Sombowadile mengkritisi konsep kerjasama Sulawesi Utara ke Filipina yang digagas dari Manado dan Bitung adalah kecenderungannya menjadikan daerah perbatasan riil di kawasan SaTaS semata menjadi halaman belakang alias ”hinterland”. Artinya, rejeki utama dari kerjasama itu mengalir ke pusat-pusat Sulawesi Utara dan remah ala kadarnya ke wilayah pulau-pulau perbatasan.
Tak heran karena konsep itu perdagangan perbatasan di Petta, Sangihe sudah bubar dan kocar-kacir, karena barang-barang dagangan yang biasanya masuk ke Petta sudah beralih sedemikian deras langsung masuk ke daratan Sulawesi Utara via pelabuhan besar di Bitung. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post