512 tahun kerajaan Tagulandang setidaknya dipimpin 19 orang Raja dan 3 orang pejabat Raja. Kerajaan ini bermula pada tahun 1570 didirikan oleh Ratu Lohoraung, dan berakhir pada 1942 di masa Raja Willem Philips Jacobz Simbat.
Dari berbagai literatur disebutkan Tagulandang sempat menjadi kerajaan maritim besar di belahan utara pulau Sulawesi. Terletak di pulau Tagulandang, Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dengan kotaraja pertama berpusat di Tulusan.
Sejarawan Adrianus Kojongian mengutip sumber-sumber tertulis Eropa mengungkapkan, cakupan luas kerajaan Tagulandang sebelum digabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi pulau-pulau: Tagulandang, Pasige (Pasigi), Ruang dan Biaro. Kemudian pulau-pulau kecil Selangka, Seha, Sehakadio, Batutombonang, Kauhagi dan Tandukuang.
Kerajaan ini di utara berbatas kerajaan Siau, timur dengan Laut Maluku. Selatan Selat Bangka dan Talise; serta sebelah barat dengan Laut Sulawesi.
Dalam tradisi sastra purba Sangihe, kerajaan Tagulandang disebut dengan nama Mandolokang. Namun penulis Barat menamakannya Pangasar, Pangasare atau Panggasane atau juga Panguisara.
Catatan tertua yang menerangkan Tagulandang, sebagaimana kutip Kojongian, adalah tulisan Antonio Pigafetta. Disebutkan, sisa-sisa awak kapal Ferdinand Magelhaes (Fernando Magellan) yang dipimpin Sebastian de Elcano pada awal November 1521 berada di Kepulauan Sangihe-Talaud ini menyebut Raja Tagulandang yang ditulisnya sebagai Paghinzara, bernama Babintan.
Meski belum ditemukan rujukan referensi lain tentang Raja Babintan, tapi, ini menandakan bahwa kerajaan Tagulandang sebenarnya sudah lama berdiri. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Ratu Putri Lohoraung yang baru berkuasa antara tahun 1570 hingga 1609.
Sementara itu, sumber tertulis pelaut Spanyol menyebutkan pada tahun 1544, salah satu kapal dari armada penjelajah Spanyol terkenal Ruy Lopez de Villalobos, di bawah Kapten Garcia d’Escalante yang berlayar dari Tidore pada 28 Mei, tiga hari kemudian tiba di Tagulandang, di negeri Minanga. Kelak dari Filipina ia kembali lagi di tahun yang sama. Kepala negeri Minanga bernama Banbusarribu telah memintanya untuk membantu mengalahkan negeri lain di pulau itu yang kemudian ditaklukkan d’Escalante.
Tagulandang sendiri, dikemudian waktu oleh Kesultanan Ternate dianggap sebagai kerajaan bawahan. Banyak kerajaan di Sulawesi Utara diklaim sudah sejak abad ke-16 berada di bawah supremasi Ternate.
Kontrak yang diteken Laksamana François Wittert dengan Ternate Juli 1609, sebagai penegasan konvensi pertama 26 Mei 1607, telah menyebut Pangasare atau Tagulandang sebagai kerajaan di bawah mahkota Ternate, termasuk Sangihe.
Maka, sejak kontrak tersebut, dengan dalih sebagai ‘pelindung’ Ternate termasuk kewajiban untuk membantu melawan orang-orang Spanyol yang diberikan Sultan Ternate, dimana kontraknya mencakup semua kerajaan di bawah Ternate; Kompeni Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) telah menggunakan pengaruh kuat untuk monopoli perdagangan dan membangun koloni. Pendekatan ditempuh dengan memelihara dan giat menjalin hubungan persahabatan sekaligus hubungan politik dengan penduduk di Sangihe, termasuk dengan Tagulandang.
Berikut Daftar Raja / List of kings
1) 1570-1609: Ratu Leheraung
Putri Raja Mokodompis cucu Raja Binangkang dari Kerajaan Mangondow
2) 1609-1649: Raja Balange
Beliau adalah putra dari Raja Tabukan ke II Pahawuatan dengan permaisuri Taskea dari Tagulandang.
3) 1649-1675: Raja Bawise
Putra Raja Tabukan ke IV Don Fransisca Makaampow Judha II dengan permaisuri Dolontenge I.
4) 1675-1720: Raja Philips Antoni Aralung Nusa
Putra Raja Bawise dengan permaisuri bernama Rampelang. Beliau menandatangani perjanjian dengan VOC di Ternate pada tanggal 9 November 1677.
5) 1720-1758: Raja Johanis Batahi Jacobus Manihis
Putra Raja Siau Hendrik Jacobus Rarame Nusa dengan permaisuri Beli Sehiwu saudara Raja Tagulandang ke IV Raja Philips Antoni Aralung Nusa.
6) 1758-1798: Raja Josef Tamarel
Raja yang masa pemerintahannya sangat lama.
7) 1798-1820: Raja Cornelis Tamarel
Beliau adalah putra dari Raja Josef Tamarel
8) 1820-1835: Raja Musa Philips Jacobus
Putra dari Raja Kiria dengan permaisuri Tinagari putra Raja Karula dari Tabukan dengan permaisuri Kelawulaeng. Pusat pemerintahan di Tulusan dipindahkan ke Buhias.
9) 1835-1845: Raja Johanis Philips Jacobz Amberi
Putra Raja Musa Philips Jacobz dengan permaisuri Ndiari.
10) 1845-1862: Raja Frans Philips Jacobz Kumbea
Saudara dari Raja Johanis Philips Jacobz Amberi.
11) 1862-1870: Raja Lucas Philips Jacobz Tuwonbange
Putra Raja Johanis Philips Jacobz Amberi. Beliau wafat pada tahun 1870 sebagai korban bencana alam meletusnya Gunung Ruang pada tahun 1870 yang menelan korban sejumlah kurang lebih 450 orang.
12) 1870-1879: Raja Christian Matheos Makahiking
13) 1879-1885: Raja Laurens Philips Jacobz Karangtang
Mulai dari beliau pemerintah Belanda memberikan gaji sebesar 1.150 gulden setiap bulan.
14) 1885 (7 bulan): Raja Nicodemus Jacobz Kalandang
Beliau hanya memerintah selama 7 bulan.
15) 1885-1900: Raja Salmon Bawole Takaliuang
Beliau berasal dari Manganitu
16) 1900-1913: Raja Laurens Manuel Tamara
17) 1913-1917: Raja Cornelis Tamalere
Setelah Raja Cornelis Tamalere berhenti pada tahun 1917 maka pemerintahan Kerajaan Tagulandang dijalankan oleh Jegugu Johannis Manesseh dibawah pengawasan Raja – Raja / Presiden Raja Siau masing – masing adalah :
- Raja A. J. K. Bogar
- Presiden Raja A. D. Laihad
- Raja L. N. Kansil . sampai tahun 1922
18) 1922-1936: Raja Hendrik Philips Jacobz
19) 1936-1942: Raja Willem Philips Jacobz Simbat
Pada tahun 1942 sebagaimana ungkap situs Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia, fasisme Jepang mulai mencengkramkan kukunya di bumi Sangihe Talaud dimana Raja Simbat menjadi korban pertama kekejaman Jepang, dan berakhir pula riwayat Kerajaan Tagulandang atau Mandolokang. Selanjutnya beralih pemerintahan ke tangan fasisme Jepang dan bekas Kerajaan Mandolokang Jepang mengangkat Paul Tiendas dengan gelar Shucekan. (*)
Penulis Iverdixon Tinungki
Discussion about this post