Raja Lokongbanua II belum banyak dibicarakan dalam literatur. Silsilah pendiri kerajaan Siau ini lebih banyak berasal dari ingatan massal masyarakat setempat lewat kisah dan sastra tutur turun-temurun. Benarkah ia seorang pangeran dari garis keturunan leluhur asal Filipina?
Di Paseng, Siau, di gerbang jalan menuju makam raja pertama kerajaan Siau ini, namanya ditulis: Lokombanua. Namun dalam beberapa catatan, namanya disebut Lokongbanua. Ia pendiri kerajaan Siau pada tahun 1510 melalui musyawarah mufakat para kulano.
Sejak proklamasi berdirinya kerajaan ini, ia mendapatkan pengakuan dari kesultanan di Maluku, kedatuan-kedatuan di pulau-pulau Sangihe dan Mindanao, Filipina. Dan, kerajaan Siau menjadi salah satu kerajaan nusantara yang banyak disebut dalam literatur dan sejumlah peta pelayaran pelaut Eropa sejak abad 16, terutama dari sumber era Spanyol, Portugis, VOC dan Belanda.
Literatur asing yang membicarakan Kerajaan Siau diantaranya karya D. Brilman “Onze Zendingsvelden De Zending op de Sangi – en Talaud- eilanden”, diterjemahkan oleh GMIST menjadi “Wilayah- wilayah Zending Kita, Zending di Kepulaun Sangi dan Talaud”. Antonio Pigaffeta, “Primer Viaje en Torno del Mondo”, “The Suma Oriental of Tom Pires and the Book of Fransidco Rodriques” Armendo Cortesao.
Dalam catatan Pitres Sombowadile dikatakan, kerajaan ini pernah eksis selama lebih 4 abad sejak raja pertama Lokongbanua II pada tahun 1510 hingga masa akhir Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, tahun 1956, atau 11 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Sebagai tokoh sentral pendiri kerajaan Siau, silsilah Lokongbanua II boleh dikata baru terekam jelas diantaranya, dalam dua literatur local yakni buku karangan H.B. Elias “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973)”, dan yang terbaru “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau” karangan Max S. Kaghoo(2016). Selebihnya Lokongbanua II lebih banyak terekam dalam berbagai ragam sastra tutur berupa cerita rakyat, mitos dan legenda, serta puisi-puisi purba Sangihe Talaud.
Disebutkan, sejak abad ke 15 pulau Siau sudah dihuni oleh beberapa kelompok keluarga yang disebut balageng. Balageng merupakan kelompok keluarga batih yang membentuk koloni dan menempati suatu tempat kemudian mengatur cara hidup anggotanya secara mandiri. Salah satu balageng yang ternama ialah balageng Sense Madunde.
Dalam catatan Kaghoo, Sense Madunde disebutkan sebagai keturunan dari Bituing Karamate dan Timudai – putri dan pengeran dari Mindanao yang menjadi leluhur tua suku bangsa Sangihe Talaud—yang memperanakan Tendeng Sehiwu.
Tendeng Sehiwu menikahi Humang Dulage–pemimpin Balageng atau koloni pertama yang bermigrasi Dari Mindanao ke pulau-pulau Sangihe Talaud, hingga sampai di Bolaang Mangondow dan mendirikan kerajaan di sana– memperanakan Makawahe.
Makawahe menikahi Bake dan memperanakan Pahawo. Pahawo menikah dengan Nanginduata dan memperanakan Makalangi. Makalangi menikahi Nausuninta dan memperanakan Dalintaung. Dalintaung menikah dengan Pontolumagat dan mendapatkan anak bernama Makaminang.
Makaminang menikahi Aloro dan memperanakan Sinalaheng. Sinalaheng menikah dengan Malangurampale dan memperanakan Manganguwi. Manganguwi menikahi Biki-biki dan lahirlah Sense Madunde. Sense Madunde menjadi seorang Kulano atau pemimpin masyarakat di tempat bernama Pehe, di pulau Siau.
Diketahui, kulano mirip dengan sebuah clan yaitu kumpulan dari beberapa keluarga dari satu garis keturunan yang sama. Setiap kulano mempunyai satu orang pemimpin yang mengatur tata laksana kehidupan sosial kelompoknya. Dalam satu Kulano terdapat pula seorang wahani atau pemberani yang dianggap sebagai pahlawan.
Dalam paparan Kaghoo, pernah ada lima Kulano yang tinggal di pesisir pulau Siau. Kulano-kulano itu antara lain: Kulano Gumabo, Kulano Bowongpansihe, Kulano Kasahu, Kulano Kumbohang dan Kulano Sense Madunde. Struktur kulano lebih luas dari balageng.
Pemimpin dalam satu Kulano itu bertindak sebagai raja-raja kecil di tempat dimana mereka bermukim secara tetap. Kulano Sense Madunde adalah Kulano pertama di Pehe. Sense Madunde menikah dengan Kentenganhiabe atau Puteri Ombunduata. Putra mereka bernama Pahawo yang kemudian disebut dalam dialeg Siau dengan Pahawongsuluge artinya pangeran dari negeri Sulu, Mindanao. Setelah Sense Madunde wafat, Pahawonsuluge melanjutkan kepemimpinan ayahnya sebagai Kulano Pehe. Mendiang ayahnya sering menceritakan tentang keberadaan Bowongkehu (Bowongtehu) sebagai tempat asal dari leluhur mereka.
Bowongtehu adalah salah satu kerajaan tertua di jazirah utara pulau Sulawesi. Kerajaan Bowongtehu eksis sejak tahun 1400 dan terkahir berkedudukan di Pulau Manado Tua. Raja pertama Kerajaan Bowongtehu adalah Mokodaludut–pemimpin balageng dari keturunan Tendeng Sehiwu-Humang Dulage di Bolaang Mangondow yang melakukan migrasi balik melewati Bentenan, gunung Lokon, Gahenang atau Wenang (Manado), hingga ke pulau Bowongtehu (Manado Tua).
Dalam cerita rakyat dikisahkan, kerajaan Bowongtehu didirikan pertama kali di kawasan Gunung Lokon Minahasa oleh Mokodoludut. Karena bertempat di hutan gunung Lokon, ini sebabnya kerajaan itu disebut dengan nama “Bowongkehu”, dalam bahasa Sangihe berarti “tempat terpencil”.
Di tempat itulah disebut, Mokodoludut menikah dengan seorang putri Minahasa bernama Abunia Pinontoan, dan melahirkan anak pertama mereka bernama Lokongbanua I. Nama anak tersebut diangkat dari nama negeri dimana kerajaan Bowongtehu pertama kali berdiri yakni gunung Lokon atau Banua Lokon (negeri Lokon). Setelah dari negeri Lokon, kerajaan Bowongtehu dipindahkan ke Gahenang atau Wenang (kini Kota Manado), lalu dipindahkan lagi ke pulau Manado Tua.
Diketahui, Pahawonsuluge berlayar dari Siau ke Bowongtehu (Manado Tua) dan menetap lama di sana. Ia menikah dengan Puteri raja Bowongtehu bernama Ombunduata. Sebelumnya, ia mengawini Ngiangsinela dan memperanakan Bataha.
Bataha mengawini Langingi dan memperanakkan seorang putera bernama Pahawontoka. Pahawontoka menikah dengan Lohoraung, ratu pertama kedatuan Tagulandang. Sedangkan dari Puteri Ombunduata, Pahawonsuluge mendapatkan seorang putera bernama Lokongbanua II. Nama Lokongbanua II ini adalah ‘laken’ dari nama Lokongbanua I yang menjadi leluhurnya. Kemudian Pahawonsuluge kembali ke Pehe. Sementara Lokongbanua II dan ibunya tinggal di Bowongtehu.
Pada awal abad 15 Lokongbanua II telah menjadi seorang pemuda dewasa. Ia bertekad keras mencari ayahnya ke pulau Siau. Ketika Pahawonsuluge meninggal dunia dan beberapa Kulano di Pulau Siau hidup tidak akur, dan saling serang satu dengan yang lain, maka timbullah keinginan dari Lokongbanua II untuk menyatukan semua Kulano di pulau Siau itu menjadi satu kekuatan, seperti kekuatan Kedatuan Bowongtehu.
Lokongbanua dibantu pamannya di Bowongkehu yang bernama Mahangsulaeng bersama lima puluh orang bahani Bowongtehu berangkat ke Siau dan mendarat di Katutungan (sekarang bernama Paseng).
Di Katutungan, ia memproklamirkan dirinya sebagai Kulano pengganti Pahawonsuluge, mendiang ayahnya. Lalu dikumpulkannya seluruh kulano-kulano yang ada di pulau Siau dalam suatu musyawarah mufakat. Melalui musyawarah itu seluruh kulano bersepakat membentuk Kedatuan Siau yang dipimpin oleh seorang Datu (Raja). Mereka bermufakat mengangkat Lokongbanua II sebagai Datu. Jadilah Kedatuan Siau yang dimulai pada tahun 1510.
Sesudah menyelenggarakan musyawarah mufakat untuk menjadikan dirinya sebagai Datu, Lokongbanua II melanjutkan upaya diplomasi dan memproklamirkan Kedatuan Siau ke seluruh penjuru, dari selatan hingga ke utara, ke Kedatuan-kedatuan di pulau-pulau Sangihe dan Mangindano.
Buah diplomasinya itu menghadirkan Ratumbahe, Kulano dari Kolongan untuk berkunjung ke Katutungan. Kulano Ratumbahe menjalin persahabatan dengan Datu (Raja) Lokongbanua II. Ratumbahe mengajak Lokongbanua II untuk meminang Puteri Mangindapele dari Mindanao, yang kemudian menjadi permaisuri Lokongbanua. Dari perkawinan ini mulailah terjalin kembali hubungan antara Siau dengan Mindanao (Mangindano).
Dari Mangindapele, Lokongbanua II memperanakkan Angkumang, Posuma, Dolongsego, Basilawewe. Lokongbanua II kemudian mengangkat Angkumang menjadi Jogugu di Ulu. Sedangkan Posuma dipersiapkan menggantikannya menjadi Datu. Puteri bungsunya, Basilawewe menjadi isteri dari Mahadiaponto dari Kabaruan, Talaud, setelah melalui sayembara gulat, panah dan sepak takraw, yang berhari-hari lamanya. Dengan perkawinan Basilawewe itu, tulis Kaghoo, Kabaruan menjadi laeking atau “tanah pemberian nikah” oleh Mahadiaponto kepada Datu Lokongbanua II.
Sedangkan Puteri Dolongsego menikah dengan orang Spanyol yang bernama Pontoralage. Buah perkawinan Dolongsego dan Pontoralage ialah Tatehewoba, raja Tahuna yang pertama. Sedangkan Mahadiaponto dan Basilawewe dikemudian hari, yaitu pada generasi selanjutnya, keturunannya melahirkan seorang panglima kedatuan Siau yang sangat fenomenal, yaitu: Hengkengunaung (Bawata Nusa).
Raja Lokongbanua II memerintah sejak tahun 1510 sampai tahun 1545, atau selama 35 tahun lamanya. Pada hari minggu di bulan April 1516, tepat di hari paskah, Spanyol dan Portugis masuk ke Siau untuk kepentingan merayakan Misa Paskah di darat. Mereka diterima oleh Lokongbanua. Kemudian muncul keinginan besar mereka membangun benteng Gurita di Ondong dan Benteng Santarosa di Lalento. Niat itu mendapat persetujuan dari datu Lokongbanua pada tahun 1518.
Benteng yang hendak dibangun orang Kastila (Spanyol dan Portugis) itu bertujuan untuk menampung hasil bumi berupa pala, cengkeh dan kelapa yang mereka peroleh dari Maluku, Ternate, Tidore dan Sangihe. Kedua benteng itu dijaga oleh 200an orang Spanyol dan Portugis.
Angkumang, anak sulung Lokongbanua II dipercayakan ayahnya menjadi Jogugu di Ulu, sedangkan adiknya, Posuma hidup di dalam istana kedatuan, hingga Lokongbanua meninggal dunia pada tahun 1549.
Makam Lokongbanua II berada di kampung Paseng, Siau. Makam ini dibangun di atas tanah seluas 150 m2 di atas tanah pamili (keluarga) milik dari keturunan raja, yang sudah dihibahkan menjadi lokasi pemakaman leluhur mereka. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post