GMIM saat ini, gereja dengan 1.000.000 lebih anggota jemaat. Merupakan denominasi terbesar dari organisasi gereja di Indonesia Timur, sekaligus 5 terbesar di Indonesia, setelah Gereja Batak, dengan 939 gedung gereja yang tersebar di tanah Minahasa, Manado, dan Bitung, belum ditambah dengan jemaat-jemaat yang baru berdiri di luar tanah Minahasa. Sebuah bilangan kuantitas sangat fantastis ditilik dari cikal bakal terbentuknya.
Perjalanan sido Tuhan telah sampai dengan gemilang di pesisir Utara Manado. Jazirah-jazirah dulu gelap dalam kultur alifuru dan animism, kini benderangoleh terang Kristus. Kabar baik dan benih kekristenan telah tumbuh dalam kurun empat abad di sini, menjadi aras pelayanan Wilayah GMIM.
Dari 1500 orang dan 2 orang raja sebagai jemaat mula-mula di tahun 1563 yang dibaptis Peter Diego De Magelhaes, di Pantai Singkil Sindulang, kini berkembang menjadi gereja sejuta umat di permulaan millenium ke II tahun 2018.
Dalam catatan sejarah pertumbuhan dan perkembangan aras pelayanan Wilayah Manado Utara pada umumnya terekam setidaknya 6 fase penting dalam lekukan sejarah jemaat-jemaat di sana: Pertama, perjumpaan masyarakat pesisir itu dengan kekristenan yang dimulai dari peristiwa pembaptisan oleh Peter Diego De Magelhaes dari gereja Katolik Roma.
Kedua, masuknya misi protestan Belanda, yang ditandai kedatangan Pendeta Ds. Montanes dari Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) pada 1675 di Manado, pasca pelarangan penyebaran agama Katolik di daerah jajahan Hindia Belanda 1602-1800. Maka terjadi peralihan dari pelayanan misi katolik ke misi protestan.
Ketiga, pelayanan dari pendeta-pendeta lulusan Stovil Tomohon, sejak kedatangan pendeta Riedel dan Schwarts di tahun 1831 , yang menjadi pendorong kuat terbentuknya GMIM di tahun 1934.
Keempat, pelayanan masa Paroki Singkil Sindulang. Kelima, dari Paroki berubah menjadi aras pelayanan Wilayah Manado Utara. Keenam, pelayanan Wilayah Manado Utara di mekarkan menjadi wilayah Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II di tahun 1982, lalu pemekaran wilayah Manado Utara III.
Dari fase pertumbuhan dan perkembangan pelayanan itu, tampak dua momentum penting dikurun awal yang perlu digaris bawahi yakni: periode peralihan dari pelayanan Katolik ke Protestan, dan peralihan dari pelayanan misi NZG ke GMIM.
Untuk memahami fase-fase di atas perlu dilihat anasir sejarah dimana sebelum GMIM lahir di tahun 1934; sudah ada akarnya di Eropa Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) di tahun 1787. NZG merupakan perut kandungan dari embrio GMIM. Tetapi sebelum itu sudah ada VOC Kerk dimulai 1602. Sekitar 73 tahun sesudah terbentuknya VOC Kerk, tiba di sini pendeta NZG yang pertama yang dikirimkannya kemari bernama Ds. Montanes.
Setibanya di Manado Ds. Montanes sebagai pendeta gereja Protestan Belanda pertama sudah menemukan segolongan orang kristen sebagai jemaat di tahun 1675. Jadi lebih dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir, sudah ada jemaat kristen di Manado. Ini sebabnya akar pelayanan kekristenan di aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara tak mungkin lepas dari momentum pertemuan pertama orang-orang di pesisir ini dengan kekristenan yang di bawah oleh misioneri Katolik Peter Diego De Magelhaes yang ditandai dengan pembaptisan pertama di pantai Sindulang tahun 1563.
Sesudah pembaptisan di Sindulang, pembaptisan-pembaptisan selanjutnya baru diadakan setelah pendeta KAM yang dijuluki dengan nama Apostel Der Malukken (Rasul dari Maluku) datang di Manado pada tahun 1817.
Sementara Gereja-gereja di pesisir lainnya sesudah Manado, baru berkembang dari tahun 1711 sampai 1821 yaitu yang dimulai dari Likupang. Pada tahun 1711 jemaat di Likupang berdiri dan merupakan jemaat yang pertama-tama di Minahasa jika diletakkan di dalam pembagian daerah secara administratifnya sekarang ini. Dari situ barulah penginjilan berkembang di Tanawangko, dan ke Kema. Pekabar-pekabar injil di Manado dan Tanawangko yaitu Muller yang meninggal pada tahun 1826, sedangkan Lammers meninggal di Kema pada tahun 1824.
Wilayah pegunungan dan pedalaman Minahasa baru menyusul kemudian yaitu setelah dua missionaris Jerman yang dididik Belanda yaitu Riedel dan Schwarts dikirim NZG ke Minahasa pada 12 Juni tahun 1831, yaitu 268 tahun sesudah baptisan di Sindulang. Pendeta J.F. Riedel bertugas di Tondano dan J.G. Schwarts di Langowan. Lima tahun kemudian di tahun 1836 penginjilan tiba di Amurang, tahun 1838 di Tomohon, 1848 di Air Madidi, 1849 di Kumelembuai, 1861 di Sonder. Dari Sonder penginjilan tiba di Ratahan yaitu pada tahun 1862.
Dari fakta-fakta historis di atas, jika kita menoleh sejarah Gereja dan Jemaat pertama di Sulawesi Utara terlihat suatu mata rantai pengabaran Injil Tuhan dimulai sejak Peter Diego De Magelhaes dalam kurun 371 tahun (mendekati 4 abad) menuju GMIM terbentuk.
Beberapa momentum politik telah memutuskan mata rantai itu di dalam kurun waktu yang cukup panjang dilihat dari segi penyebaran Injil dari Gereja Roma Katolik jika dijadikan tahun Diego de Magelhaes di Sindulang Manado sebagai tahun titik berangkat pelayanan kerohanian di Manado Utara dan untuk Sulawesi Utara pada umumnya.
Momentum-momentum politik itu boleh dikaji dari keputusan-keputusan historis yang telah dilakukan oleh Belanda disatu pihak dengan Spanyol dilain pihak mengenai “Pembagian daerah kekuasaan dan daerah jajahan yang sekaligus merupakan daerah penyebaran agama”. “Yang berkuasa di daerah itu adalah yang punya agama untuk daerah itu”.
Menurut Sem Narande, jika keputusan-keputusan itu ditempatkan di dalam kerangka sejarah penyebaran Injil oleh Gereja Roma Katolik di Sulawesi Utara barangkali lebih jelas. Terutama bila makna dari akibat keputusan-keputusan tersebut dilihat dari suatu historis itu tercipta di atas battle ground kerajaan Siau ketika Belanda dengan sekutu-sekutunya serta sekaligus dengan memperalat Sultan Ternate yang dinamakan Koning Amsterdam oleh Belanda, mengepung dan menyerang Raja Siau Fransiscus Xaverrius Batahe (Batahi) dalam suatu perang yang diumumkan kepada Raja Batahi.
Imam-imam penginjil Katolik (Missionaris-missionaris Katolik) memasuki perairan Sulawesi Utara dan Maluku Utara sejak tahun 1511 dan 1522 berada dalam expedisi Potugal dan Spanyol. Diego de Magelhaes sendiri yang membaptis Raja Siau ke-II yaitu Posuma (Posuma adalah putera dari Lokombanua, Raja Siau pertama), mengikuti expedisi Panglima Portugis Heurique de Sa yang membawa 2 kapal. Batahi adalah keturunan dari Raja Posuma. (sedikit catatan : Lokombanua 1510 -1550 ; 2) Posuma 1550-1596 ; 3) Pontomuisang 1596-1632 ; 4) Winsulangi 1632-1670 ; 5) Batahi 1670-1696 ; 6) Raramenusa 1696-1726 ; 7)Lohintsundali 1726-1752 ; 8) Ismael Jacobus 1752-1796 ; 9) B. Jacobus 1796-1799 ; 10) Eugenos Jacobus 1799-1822 ; Raja Siau ke VI sampai dengan ke X adalah raja-raja Siau yang beragama Kristen Protestan).
Kekalahan Batahi terhadap kolonial Belanda dengan sekutu-sekutunya sekaligus merupakan akhir misi Katolik bukan saja di Siau tetapi juga di sekitarnya dan sebaliknya merupakan titik awal dari Zending Kristen Protestan.
Pada 9 November 1677, Batahi menanda-tangani perjanjian dengan Belanda di bawah tekanan sebagai pihak yang dikalahkan, dimana 3 orang Peter Yesuit ikut ditahan di Ternate. Mereka tidak dengan segera dikirim pulang ke basis mereka di Manila, baru sesudah itu di bawa lagi ke Betawi, sekarang Jakarta.
Raja Batahi adalah Raja Siau yang memeluk agama Katolik dan penggantinya Raja Raramenusa adalah Raja Siau pertama yang memeluk agama Kristen Protestan. Semua itu merupakan kondisi yang dilahirkan oleh battle ground perang Batahi.
Pada zaman VOC (Kompeni Hindia Belanda) sama sekali tidak diperkenankan penyebaran misi Katolik. Pelarangan penyebaran misi Katolik itu berlangsung dari tahun 1602 sampai tahun 1800. Nanti di zaman Gub Jen (Gubernur Jendral, Daendels, sesudah VOC(Vereenigde Oost Indische Compagnie) dibubarkan pada tahun1800, maka barulah diluaskan agama-agama lain masuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tampil semboyan yang terkenal dalam sejarah demokrasi di dunia :“Egalite, Eraternite, Leberte “ dari Revolusi Perancis.
Keputusan pelarangan agama Katolik oleh Belanda itu telah memutuskan mata rantai pelayanan Katolik selama 198 tahun tidak saja di Sulawesi Utara, tapi di seluruh daerah jajahan Belanda.
Pasca pencabutan pelarangan, misi katolik baru tiba kembali di Sulawesi Utara pada tahun 1868, ditandai dengan kedatangan Imam Katolik Peter Y De Vries S.J. Baru pada 35 tahun kemudian (1903)disusul APF. Van Velsen bertugas ke Woloan, Y.Ouel bertugas di Manado, dan Yang ditugaskan ke Tomohon Peter P Wintjes.
Dari anasir sebelumnya, terpapar kenyataan dimana ada empat jemaat di Wilayah Manado Utara yang telah berbentuk sebelum GMIM lahir di tahun 1934 yakni Jemaat Betanie Singkil Sindulang, Jemaat Bengkol, Jemaat Sion Bailang, dan Jemaat Nazaret Tuminting. Empat jemaat ini pada tahun 1934 ikut mengirim utusannya pada peneguhan pendirian GMIM, sekaligus melebur sebagai gereja di bawah Sinode GMIM.
GMIM dilahirkan dari keputusan Raja Wilhelm I dan diresmikan sebagai Sinode pada 30 September tahun 1934. Kelahirannya berasal dari satu wadah yang lebih besar dari Gereja Protestan atau De Indische Staats kerk; pelanjut dari VOC Kerk (Gereja kompeni Hindia Belanda), yang dimulai ditahun 1602 melalui Octrooi. Dalam kerangka itu ada satu instruksi khusus dari Gubernur Jenderal Pieter Both bahwa VOC harus menyebarkan injil.
VOC Kerk berlangsung dari tahun 1602 sampai 1800. Raja Wilhelm I membentuk Indische Staats Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1800, dan tiba disini 134 tahun kemudian yaitu tahun 1934 dilebur menjadi GMIM. Kendati begitu GMIM sendiri bukanlah ciptaan khas dari Gereja Protestan atau Indische Staats Kerk tetapi adalah ciptaan dari Nederlansche Zending Genoodschaap yang dibentuk di Eropa dan mengirimkan pendeta pertama kemari yakni DS Montanes.
Sungguh mencengangkan bila kita merefleksi angka-angka statistik dari rentetan peristiwa menuju terbentuknya gereja Tuhan yang Esa dan Injili di tanah Minahasa ini sebagai karya penyelamatan dan pemenangan umat dalam Kristus Yesus Juru Selamat dunia (Efesus 2:19-22).
Bila ditilik dari perisitwa pembaptisan pertama di Tahun 1563 oleh Diego de Magelhaes di pantai Sindulang Manado, maka kita melihat jemaat Tuhan mula-mula baru berjumlah 1500 orang ditambah dengan 2 orang raja yakni Raja Manado Kinalang Damapolii dan raja Siau Posuma.
Dalam masa pemerintahan Raja Posuma 1550-1596, di Siau umat Kristen sudah mencapai 25.000 orang, sementara di Kalongan Sangihe 10.000 orang. Khusus untuk Manado di tahun 1707, tercatat ada 5.000 anggota jemaat sebagaimana ditemukan Ds. Werndly.
Pada tahun 1880 atau 54 tahun sebelum GMIM resmi berdiri dan bersinode jumlah orang Kristen di Manado dan Minahasa telah berkembang menjadi 80.000 orang. Lalu pada 1980 atau di kurun 46 tahun sejak GMIM bersinode anggota jemaat GMIM telah mencapai 650.000 orang lebih, Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 150.000 KK, menyebar dalam 40 Wilayah, terbagi dalam 540 Jemaat.
Pada tahun 2012, atau menjelang usia ke 79 tahun GMIM berdiri dan bersinode, anggota jemaat dari organisasi gereja kedua terbesar di Indonesia ini telah mencapai lebih dari 1.000.000 orang. Anggota jemaat tersebut tersebar dalam 9366 kolom dengan 886 gedung gereja. Jumlah aras pelayanan Wilayah sebanyak 103 Wilayah. Jumlah Kepala keluarga 212.516 KK. Dilayani oleh 493 orang pendeta laki-laki dan 1.015 pendeta Perempuan, Guru Agama laki-laki 77 orang, Guru Agama Perempuan 248 orang, serta 13.796 orang Penatua dan 9.366 orang Syamas. GMIM mengelola banyak lembaga sosial seperti Taman Kanak-kanak (332), Sekolah Dasar (364), Sekolah Menengah Pertama (64), SMA (20), sekolah kejuruan (6), sebuah universitas dengan antara lain adanya fakultas teologi, sekolah untuk penyandang cacat (2), rumah yatim-piatu (2), pusat pelatihan (2), dan rumah sakit.
Sementara di tahun 2018 jumlah aras pelayanan wilayah telah meningkat menjadi 111 aras dengan 939 gedung gereja yang tersebar di tanah Minahasa, Manado, dan Bitung, belum ditambah dengan jemaat-jemaat yang baru berdiri di luar tanah Minahasa. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post