Manado, Barta1.com – Masalah limbah yang ditimbulkan oleh PT FUTAI semakin meresahkan warga, terutama masyarakat adat yang kini angkat bicara dan mendesak pemerintah untuk bertindak tegas.
Salah satu tokoh masyarakat Tanjung Merah Bitung, Samuel Angkouw, menyampaikan langsung keluhannya di hadapan pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Stella Runtuwene, serta Ketua Komisi IV Vonny Paat dan jajarannya.
“Kami setuju dengan pernyataan anggota Komisi IV DPRD Sulut agar PT FUTAI ditutup sementara. Kalau dibilang lelah, iya, kami sangat lelah. Tapi kami juga ingin hidup nyaman,” ujar Samuel.
Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan soal kadar HOS (Hydrogen Sulfide) yang masih di bawah ambang batas, tetapi lebih kepada hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan nyaman seperti sebelumnya.
“Bau limbah ini sangat menyengat, kami tidak tahan lagi. Rumah-rumah kami berada tepat di belakang area operasi PT FUTAI, termasuk rumah saya sendiri,” katanya.
Samuel juga menanggapi klaim PT MESMA yang menyebut telah mengadakan musyawarah pada tanggal 6. Menurutnya, informasi tersebut tidak akurat.
“Musyawarah yang saya tahu diadakan pada tanggal 3 Oktober 2025, itu pun hanya membahas permohonan izin penggunaan air oleh PT FUTAI. Fakta di lapangan, PT FUTAI sudah memakai air sungai sejak tahun 2021 tanpa izin resmi,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat tidak menolak penggunaan air oleh perusahaan, asalkan persoalan pencemaran diselesaikan terlebih dahulu.
“Stop dulu pencemaran, baru bicara izin. Semalam baunya sangat menyengat, bahkan pagi ini masih tercium. Kalau pencemaran tidak bisa diselesaikan, sebaiknya produksi dihentikan sementara,” tegas Samuel.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa isu investasi dan tenaga kerja tidak relevan jika dampak lingkungan tidak ditangani dengan serius.
“Jangan bicara soal investasi triliunan rupiah jika tidak mampu mengelola lingkungan dengan baik. Itu omong kosong,” katanya lantang.
Samuel juga mengkritik lambannya revisi dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang menurutnya sudah mandek selama hampir dua tahun.
“Saya sudah sampaikan ke Direktur PT MESMA bahwa AMDAL yang disebut-sebut itu harusnya sudah direvisi. Sampai tanggal 3 Oktober 2025 kemarin pun, belum ada perubahan,” tambahnya.
Ia menyebut bahwa sebelumnya juga ada perusahaan bernama PT MSH (Membangun Sulut Hebat), yang ternyata tidak menunjukkan kinerja yang “hebat” seperti namanya.
“Jangan cuma ganti nama, ganti orang, tapi kerja tetap sama. Kalau tidak bisa selesaikan masalah ini, lebih baik hentikan dulu produksi sebelum ada sanksi yang lebih tegas,” tutup Samuel.
Menanggapi apa yang disampaikan oleh masyarakat adat, ketua Komisi IV, Vonny, mengucapkan banyak terima kasih.
“Nanti setiap aspirasi ini akan menjadi rekomendasi, ” singkat anggota dari Fraksi PDI Perjuangkan itu.
Kemudian, Beberapa poin kesimpulan yang ditulis dari hasil pembahasan, kemudian dibacakan oleh Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Sulut, Cindy Wurangian, di antaranya:
1. PT FUTAI Sulut untuk menghentikan pembuangan limbah ke sungai secara segera dan menyeluruh, baik limbah cair maupun padat.
2. PT FUTAI Sulut untuk menghentikan sementara seluruh aktivitas produksi yang menghasilkan limbah, sampai instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan Emisi udara milik perusahaan dinyatakan memenuhi standar baku mutu lingkungan oleh Intalasi teknis yang berwenang.
3. Dinas lingkungan hidup (DLH ) Kota Bitung untuk melakukan audit lingkungan menyeluruh secara terbuka dan transparan, dengan melibatkan perwakilan masyarakat, akademisi, dan lembaga independen dalam seluruh proses, mulai dari pengambilan sampel, pengiriman, hingga penerimaan hasil uji laboratorium.
4. Perangkat daerah yang berwenang dalam pemberian izin usaha dan perangkat daerah pemberi pertimbangan teknis, untuk turut bertanggungjawab atas lemahnya pengawasan dan kelalaian administratif yang memungkinkan pelanggaran lingkungan terjadi.
5. Mendorong pemerintah Provinsi Sulut untuk meninjau kembali tata kelola pengawasan lingkungan di KEK, memberi kepastian hukum bagi iklim investasi dan memastikan investasi tidak mengorbankan hak masyarakat untuk hidup di lingkungan bersih, sehat dan berkelanjutan.
6. Mencatat bahwa PT MSH selaku pengelola KEK Bitung, yang kini telah digantikan oleh PT. MESMA, diduga melakukan kelalaian dalam proses pemberian izin operasional kepada PT FUTAI Sulut, khususnya terkait pemenuhan persyaratan teknis pengelolaan limbah dan dokumen lingkungan. Oleh karena itu, PT MSH tetap harus dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian administratif dan pengawasan yang terjadi selama masa pengelolaannya, serta diwajibkan untuk memberikan klarifikasi resmi terkait hal ini kepada Pemerintah daerah dan DPRD Provinsi Sulut.
7. PT MESMA sebagai operator KEK Bitung untuk meningkatkan pengawasan rutin dan berjenjang terhadap seluruh Tenant yang beroperasi, serta melaporkan progres pembenahan dan hasil pengawasan secara berkala kepada DPRD Provinsi Sulut.
8. DPRD Provinsi Sulut akan menggelar rapat lintas komisi bersama PT MESMA selalu pengelola KEK, sebagai langkah tindak lanjut atas dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi. Rapat ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem pengawasan lingkungan di dalam kawasan KEK, sekaligus memastikan PT MESMA menyiapkan mekanisme pencegahan yang jelas.
Wakil Direktur PT FUTAI, Erwin Irawan, saat diwawancarai mengatakan bahwa pertemuan dalam RDP ini berjalan positif dan menjadi perhatian khusus, tidak hanya bagi PT FUTAI, tetapi juga bagi KEK.
“Terhadap arahan dan rekomendasi dari DPRD Provinsi Sulut, kami patuh dan akan mengikuti setiap ketentuan yang diberikan. Sebagai perusahaan yang berinvestasi di Indonesia, hal tersebut sudah menjadi kewajiban kami,” ungkap Erwin.
Sebagai perusahaan asing yang berdomisili dan berinvestasi di Kota Bitung, PT FUTAI menyadari pentingnya tunduk pada seluruh aturan yang berlaku di Indonesia.
“Tapi kami juga berharap adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap kondisi kami, mengingat selama lebih dari lima tahun ini kami berjuang sendiri,” jelasnya.
Erwin juga mengungkapkan bahwa apabila operasional perusahaan dihentikan, maka kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar. Hingga kini, dari total target 365 hari produksi, PT FUTAI baru mampu mencapai 200, terhitung sejak tahun lalu hingga hari ini.
“Kami belum melakukan produksi secara maksimal,” ujarnya singkat. Saat ditanya soal dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Tanjung Merah, ia menilai bahwa hal tersebut mungkin hanya bentuk emosi sesaat. Sebagai perwakilan perusahaan, ia sudah terbiasa menghadapi hal demikian. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post