Manado, Barta1.com – Dessy Kaehes, seorang warga sekaligus orang tua siswa yang terdampak, menyampaikan keluhannya terkait aktivitas PT FUTAI yang diduga mencemari udara di wilayah Tanjung Merah, Kota Bitung. Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi, Vonny Paat, di Ruang Rapat Serbaguna DPRD Sulut, Selasa (7/10/2025).

“Anak saya adalah siswa SMP Negeri 18 Tanjung Merah yang terdampak langsung. Kami mencium bau polusi udara yang sangat busuk sejak tahun 2022,” ungkap Dessy.

Ia mengaku sudah mengadukan persoalan ini ke berbagai instansi, mulai dari DPRD Kota Bitung, Pemerintah Kota Bitung, di dalamnya ada Dinas Lingkungan Hidup (DLH), namun tidak ada hasil nyata.
“Kami sudah sangat menderita dengan bau busuk ini. Memang kami tidak langsung mati, tapi bagaimana dengan anak-anak kami yang masih balita? Apakah mereka akan panjang umur dengan kondisi udara seperti ini? Anak remaja saja bisa rusak paru-parunya karena bau lem Ehabond, apalagi ini bau limbah,” ujarnya penuh emosi.
Menanggapi keluhan tersebut, Anggota DPRD Provinsi Sulut, Pierre Makisanti, menegaskan bahwa kehadiran perusahaan semestinya membawa manfaat, bukan menyusahkan masyarakat sekitar.
“Kalau masyarakat datang berteriak di sini, berarti ada masalah serius. Mereka tidak mungkin mengadu jika tidak benar-benar dirugikan. Kalau perusahaan tidak bisa menyelesaikan masalah ini, saya usul ditutup saja,” tegas Pierre, anggota Fraksi PDI Perjuangan. Pernyataan ini langsung disambut teriakan “betul” dari masyarakat yang hadir.
Wakil Direktur PT FUTAI, Erwin Irawan, menjelaskan bahwa perusahaannya mulai dibangun sejak akhir 2018, namun sempat tertunda akibat pandemi Covid-19 dan baru memulai produksi pada 2024.
“Memang banyak kendala yang kami alami sejak awal produksi. Tapi perusahaan terus melakukan perbaikan sesuai arahan dari DLH Bitung. Kami tidak tinggal diam,” ujarnya.
Erwin menambahkan, hingga saat ini, total hari produksi PT FUTAI masih di bawah 200 hari dari 365 hari setahun.
Sementara itu, Billy Ladi, yang menjadi bagian dari Solidaritas Tanjung Merah Memanggil menanggapi pernyataan pihak perusahaan. Ia menyoroti peran DLH Kota Bitung yang terkesan tidak tegas.
“Wakil Direktur PT FUTAI menyebut perbaikan-perbaikan dilakukan atas arahan DLH Kota Bitung. Saya tegaskan, yah ibu Kadis Merianti Dumbela, bahwa DLH bukan konsultan PT FUTAI, melainkan benteng terakhir perlindungan lingkungan di Kota Bitung,” tegas Billy.
Ia juga mengkritik klaim soal kontribusi PT FUTAI terhadap ekonomi daerah.
“Pernyataan bahwa PT FUTAI menyumbang triliunan sangat tidak etis. Tidak ada peningkatan ekonomi yang layak jika berdiri di atas penderitaan rakyat,” katanya.
Dalam RDP tersebut, Kepala DLH Provinsi Sulut, Feibe B. Rondonuwu, menegaskan bahwa wewenang pemberian sanksi berada di tangan Pemerintah Kota Bitung, karena izin lingkungan dikeluarkan oleh DLH dan PTSP Kota Bitung.
“Namun, PT FUTAI sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk menerima sanksi. Maka, perusahaan ini harus diberi sanksi penghentian sementara operasional sampai semua dokumen lingkungan diperbaiki,” tegas Feibe.
Beberapa dokumen yang harus disesuaikan termasuk: sistem pengolahan limbah (IPAL), persetujuan teknis air limbah, emisi udara, serta revisi dokumen Amdal dan integrasi UKL-UPL menjadi RKL-RPL rinci sesuai ketentuan Amdal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
RDP ini turut dihadiri oleh pimpinan dan anggota Komisi IV DPRD Provinsi Sulut, perwakilan Solidaritas Tanjung Merah Memanggil, lBH Manado, PT Maesha, PT FUTAI, DLH Kota Bitung, PTSP Kota Bitung, serta DLH Provinsi Sulut. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post