Manado, Barta1.com – Hengki Janis, warga Tanjung Merah, dengan nada kecewa menyampaikan keluhannya atas limbah PT FUTAI yang mencemari lahan pertanian warga, terutama tanaman kangkung yang menjadi sumber penghidupan mereka.
“Sudah lelah saya menyampaikan, dari kepala lingkungan hingga lurah, tapi sampai hari ini belum ada tindak lanjut yang baik. Kami hanya ingin pemerintah menyampaikan kepada PT FUTAI agar berhenti membuang limbah. Lahan kangkung kami terganggu, padahal itu kebutuhan utama kami,” tegas Hengki saat rapat dengar pendapat bersama Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulut, Stella Runtuwene, dan Ketua Komisi IV, Vonny Paat, di Ruang Serbaguna DPRD Sulut, Selasa (7/10/2025).
Hengki melanjutkan, masyarakat hanya meminta satu hal: ada tindakan nyata dari pemerintah. Menurutnya, PT FUTAI seharusnya memiliki kepedulian terhadap dampak limbah yang mereka timbulkan.
“Airnya panas, warnanya berubah-ubah, kadang hitam, kadang kuning. Kami sudah kehabisan suara, baik itu pagi hari, siang, hingga malam untuk menyampaikan persoalan ini, tapi tak ada hasil. Kalau suara kami tak didengar, bagaimana dengan nasib hidup kami?” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi IV DPRD Sulut, Vonny Paat, mengapresiasi aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa keluhan tersebut akan menjadi dokumen resmi untuk bahan rekomendasi ke pihak terkait.
Paat menegaskan adanya indikasi pelanggaran serius oleh PT FUTAI.
“Perusahaan ini membuang limbah beracun yang berdampak luas, mulai dari pertanian hingga pariwisata. Ini harus segera ditangani. Di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan pariwisata di Sulut, masyarakat justru jadi korban limbah berbahaya. Saya pertegas, PT FUTAI seharusnya ditutup,” ujarnya tegas.
Menurutnya, hasil laboratorium masyarakat menunjukkan kandungan limbah berbahaya. “Di Tanjung Merah banyak perusahaan, tapi hanya PT FUTAI yang kami minta ditutup. Limbah mereka sangat fatal bagi kehidupan. Bau limbah ini bahkan tidak bisa diukur dengan alat apa pun—dampaknya terasa langsung oleh masyarakat,” tambah Paat.
Sementara itu, aktivis lingkungan dari Bitung, Billy Ladi, mengkritik keras peran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bitung yang dinilai “mengendalikan kebenaran”.
“Kebenaran dikendalikan oleh DLH, sampai jadi perbincangan masyarakat. DLH terlalu pasang badan untuk PT FUTAI. Saya berbagi kegelisahan yang sama dengan warga terdampak,” ungkapnya.
Billy menyoroti bahwa persoalan lingkungan adalah bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945: setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
“PT FUTAI adalah pelaku utama kejahatan ekologis yang berdampak pada pelanggaran HAM. Selama lebih dari setahun, masyarakat mengalami kehancuran ekologis. Kami sudah dua kali RDP dengan PT FUTAI, DLH Bitung, dan DPRD Kota Bitung, tapi suara kami dibatasi,” terangnya.
DLH Bitung, menurut Billy, terlalu mengandalkan hasil laboratorium dari pihak PT FUTAI. Padahal, masyarakat juga telah secara kolektif mengumpulkan dana untuk melakukan uji laboratorium secara independen, dan hasilnya justru bertentangan dengan yang disampaikan DLH.
“Bahkan ada SD dan SMP di sekitar wilayah itu. Ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga menyangkut pendidikan, nelayan, petani, dan pariwisata. Banyak petani kangkung sudah gagal panen. Tanjung Merah yang seharusnya jadi destinasi wisata justru terkena dampak limbah, yang sangat memengaruhi perputaran ekonomi lokal,” bebernya.
Warga meminta agar produksi PT FUTAI dihentikan sementara sampai hak atas lingkungan bersih bisa benar-benar dijamin. “Negara seharusnya melindungi warganya. Tapi saat ini, seolah-olah pemerintah Kota Bitung membiarkan keadaan ini terjadi,” tegas Billy.
Anggota DPRD Provinsi Sulut, Louis Carl Schramm, juga turut angkat bicara. Menurutnya, saat laporan ini masuk, koleganya Pierre Makisanti langsung meminta untuk meninjau kondisi di lapangan.
“Kemarin kami turun langsung ke Bitung, dan benar bau, limbah-nya sangat menyengat. Saya pastikan telah terjadi pencemaran di sana,” ujar Ketua Fraksi Gerindra Sulut itu.
Schramm juga mempertanyakan sikap PTSP dan DLH Kota Bitung yang terkesan menjadi juru bicara PT FUTAI.
“Di sini kita mencari solusi. Jangan melempar ke PT MSH yang bahkan tidak hadir. Ada juga Mesma yang tidak tahu apa-apa justru datang ke sini,” sindirnya.
Ia menyinggung soal dokumen AMDAL tahun 2012 yang dikeluarkan hanya untuk kawasan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dan bahan baku seperti kelapa dan ikan, bukan untuk aktivitas industri seperti PT FUTAI.
“Pak Kabid, apakah izin yang dikeluarkan itu sudah sesuai aturan?” Kata dia.
Dalam RDP tersebut, Kepala DLH Provinsi Sulut, Feibe B. Rondonuwu, menegaskan bahwa wewenang pemberian sanksi berada di tangan Pemerintah Kota Bitung, karena izin lingkungan dikeluarkan oleh DLH dan PTSP Kota Bitung.
“Namun, PT FUTAI sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk menerima sanksi. Maka, perusahaan ini harus diberi sanksi penghentian sementara operasional sampai semua dokumen lingkungan diperbaiki,” tegas Feibe.
Beberapa dokumen yang harus disesuaikan termasuk: sistem pengolahan limbah (IPAL), persetujuan teknis air limbah, emisi udara, serta revisi dokumen Amdal dan integrasi UKL-UPL menjadi RKL-RPL rinci sesuai ketentuan Amdal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sementara itu, pihak perusahaan yang diwakili oleh Wakil Direktur PT FUTAI, Erwin Irawan, menyampaikan dalam wawancara bahwa pertemuan ini dinilai positif dan menjadi perhatian khusus — tidak hanya bagi PT FUTAI, tetapi juga bagi KEK.
“Terhadap arahan dan rekomendasi dari DPRD Provinsi Sulawesi Utara, kami patuh dan akan mengikuti setiap ketentuan yang diberikan. Sebagai perusahaan yang berinvestasi di Indonesia, hal tersebut sudah menjadi kewajiban kami,” pungkasnya. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post