Oleh: Solaiman Bakir
Rypkema dalam Revitalizing Historic Urban Quarters (Tiesdell et all, 1996), mengatakan bahwa bangunan bersejarah memiliki arti yang signifikan bagi komunitasnya. Senada dengan hal ini, pada satu dasawarsa silam lewat tulisannya, Stripe berpendapat bahwa bangunan bersejarah dalam bentuk fisiknya telah menghubungkan manusia dengan masa lalu. Menurutnya manusia hidup di dalam atau di sekitar bangunan bersejarah, sehingga manusia merupakan bagian darinya. Dalam pengertian yang lebih sublim, arti bangunan bersejarah menurutnya, tak bisa dihindari, terletak pada nilai hakikinya sebagai objek seni. Pernyataan Stripe ini bisa ditelusuri pada Revitalization of Historic Inner-City Areas in Asia (2022) terbitan Asian Development Bank.
Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan pernyataan para sarjana di bidang arsitektur dan tata kota terkait dengan pemugaran bangunan-bangunan bersejarah. Maksudnya adalah kita beroleh dasar pemahaman yang sama, perihal “mengapanya”. Mengapa begitu berarti bangunan bersejarah dalam konteks zaman yang sedang bergerak maju?
Ahad di penghujung siang, kira-kira selepas asar, kebetulan saya lewat di salah satu gedung, tepatnya sebuah rumah bergaya kolonial. Selintas, rumah ini merupakan perpaduan antara teknologi moderen dan iklim setempat. Letaknya di dekat lapangan atau alun-alun desa Manganitu. Tak dinyana ingatan saya dibawa ke Tahun 1857 dan tahun-tahun sesudahnya. Dalam hal mana, rumah ini merupakan saksi sejarah bahwa pondasi Kekristenan untuk Pulau Sangihe diletakkan dengan peluh, takzim, pengorbanan, kemasygulan, perjuangan dan harapan. Jika anda melihat Kekristenan ada sampai hari ini di Sangihe, maka segala-galanya yang telah dipertaruhkan tadi menjadi tidak sia-sia. Kekristenan hari ini merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari Kekristenan mula-mula, yaitu Kekristenan yang telah dirintis oleh 4 orang Zendeling. Salah satu Zendeling yang juga pemilik rumah ini bernama Ernst T. Steller. Di depan rumahnya, kira-kira sepelempar batu jaraknya, terbaring Steller bersama isterinya yang semasa tugas misionaris tidak pernah melihat kembali tanah airnya di Jerman. Brilman (1938) menulis tentangnya, ketika cuti ditawarkan padanya, ia menolak, dengan keyakinan teguh ia berkata, “seorang Brandenburg yang baik tidak meninggalkan tempat tugasnya”.
Menarik untuk dinanti pernyataan dan tanggapan dari lembaga atau yayasan kristen di Pulau ini terhadap keberlangsungan eksistensi gedung dimaksud. Beberapa pekan lalu saya terlibat dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan. Di sebuah kafe yang bermandikan cahaya lampu pijar, ia bercerita bahwa ada satu gerakan, entah komunitas atau kelompok yang ingin memugar kembali rumah kolonial tersebut, dan kawan saya ini merupakan bagian dari gerakan itu.
Walhasil, berhubung dengan wacana pemugaran ini, idealnya setiap orang yang terlibat di dalamnya meninjau serta memetik pelajaran dari contoh kasus serupa atau yang mendekati dan pernah dilakukan lalu berhasil. Berhasil dalam pengertian berkelanjutan dan menyeluruh. Sebab persoalan pemugaran bangunan bukanlah persoalan fisik semata.
Sejak tahun 1970an, di beberapa negara, para sarjana arsitektur dan tata kota mencoba mensistematisasi bangun pengetahuan yang tepat untuk mengatasi persoalan pemugaran bangunan-bangunan bersejarah. Sehingga, kemudian, konsep atau terminologi “Pemugaran” bertransformasi, digantikan oleh “Revitalisasi”.
Tiesdell, dalam bukunya berjudul Revitalizing Historic Urban Quarters menjelaskan bahwa Revitalisasi gedung-gedung tua nan bersejarah tidak akan pernah berhasil jika hanya “menyentuh” fisiknya saja. Ada hal lain yang perlu diupayakan. Menurutnya revitalisasi adalah sebuah proses untuk menghidupkan kembali gedung-gedung tua dan keberadaannya (exist) niscaya dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Revitalisasi yang hanya fokus terhadap fisik bangunan bermuara pada tampilan bangunan agar menjadi lebih baik dan menarik, tetapi hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Mengatasi hal ini, maka ia menawarkan solusi yang boleh dibilang sebagai pelengkap terhadap keterbatasan dari revitalisasi fisik semata. Solusi itu berkaitan dengan aktivitas ekonomi baik di dalam, di luar atau di sekitar bangunan itu berada. Optimalisasi terhadap aktivitas ekonomi inilah yang nantinya akan menjadi “sumber energi” terhadap keberlangsungan eksistensi bangunan fisiknya dan niscaya bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Aktivitas ekonomi di dalam bangunan bersejarah, misalnya dengan mengubah fungsi bangunan untuk tujuan-tujuan ekonomis. Ide ini, dalam Arsitektur, dikenal juga dengan istilah Adaptive Reuse. Di beberapa kota di negara-negara maju, banyak dijumpai bangunan-bangunan bersejarah berubah fungsinya menjadi kafe, restoran, galery dan sebagainya selain menjadi museum. Dampak dari aktivitas ekonomi ini kemudian digunakan untuk pemeliharaan, rehabilitasi bahkan peningkatan bangunannya. Contoh dan pembahasan untuk aktivitas ekonomi di luar atau di sekitar bangunan bersejarah boleh dipelajari dari buku tersebut. Yang pasti prinsipnya sama dengan yang pertama, yaitu revitalisasi fisik bangunan harus ditunjang dengan aktivitas ekonomi agar eksistensinya bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Pemikiran Tiesdell di atas dapat dikatakan dengan bahasa yang lebih sederhana, yaitu revitalisasi gedung bersejarah sebetulnya adalah proses berkelanjutan yang diterjemahkan ke dalam kegiatan di dalam atau di luar bangunan untuk menghasilkan nilai-nilai ekonomis yang kemudian dipakai sebagai modal pemeliharaan dan peningkatan bangunan itu sendiri. Dengan model seperti ini maka Revitalisasi dapat dikatakan menyeluruh dan berkelanjutan.
Kawan saya tadi, seperti saya, dibekali dengan pendidikan arsitektur. Oleh sebab itu, saya yakin ia pasti telah mempelajari teori-teori arsitektur dan tata kota termasuk konsep Revitalisasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Mudah-mudahan gerakan yang mereka bangun, lewat kawan saya ini, mampu menangkap esensi dari Revitalisasi yang berkelanjutan.
Lepas dari semuanya, rasa hormat saya haturkan untuk gerakan yang peduli dengan kelangsungan keberadaan bangunan bersejarah, lebih personal lagi, bagi mereka yang berani mengambil peran dan sadar betapa pentingnya artefak sejarah penginjilan dalam menunjang pencapaian kekristenan hari ini.
Discussion about this post