Catatan:
Jim R Tindi*
Di Talaud, Jekmon Amisi dikenal sebagai Wakil Ketua DPRD sekaligus mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dua periode. Berdasar pada dua latar tersebut orang menjadi mafhum bahwa dia tak sekadar sosok yang paham aturan main sebuah laga politik, tapi sejatinya politisi.
Tapi saya tak akan menulis segala hal ihwal dua jabatan strategis yang pernah dan sedang disandangnya itu. Ada sisi lain yang tak saja menarik dan seksi dari Jekmon Amisi, yaitu, perihal manusia dan kemanusiaan, kepemimpinan dan kebaikannya.
Dan, andai saya ingin menulis Jekmon Amisi, saya harus memulai dari sebuah puisi Iverdixon Tinungki–seorang penyair Indonesia asal Talaud berikut ini:
MIANGAS
leluhur ketapang tak lupa pada Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros dan Sevillanas”
sebuah monumen beton terpacak mengubur Pardao
begitu Miangas tak lupa cantiknya dimasa Las Palmas
kini meranggas, tak lebih sebuah pulau tapal batas
dulu kadetkadet kapal layar Spanyol adalah penari
di tengah api dinyalakan udara pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik semarak ombak
menyeruh seruanseruan Paradiso yang agung
pulau karang ini tak sekadar sarang gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana laut penjejak benua
kini barisan tambur menggerendam dek kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan telah karam
lisut di atas sebuah tapal menimbun sejarah pulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti makna dini hari
rimbun ketapang tak lain rimbun kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap tangisan
tersuruk senja mengelisahi malam rentah bernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib dan lautnya
gemuruhkan mirisnya warna kemiskinan
Puisi sebagai karya kebudayaan menurut filsuf Jerman Immanuel Kant adalah sarana refleksi yang memungkinkam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Puisi bisa jadi merupakan semacam sekolah peradaban di mana manusia dapat belajar.
Ketika manusia mulai bertanya-tanya tentang sifat sesuatu, atau mulai merumuskankan pandangan bagaimana sesuatu bersikap di sanalah keberadaban dimulai. Karena pada dasarnya, manusia bukan makhluk bertopang dagu, tetapi ia menerobos cengkraman fakta-fakta alam dengan mengadakan evaluasi dan mengangkatnya ke dalam policy-nya.
Dalam konteks itulah saya ingin menulis Jekmon Amisi, sosok pribadi yang tak banyak dibicarakan orang, namun kebaikannya jauh lebih banyak tersimpan dalam sanubari masyarakatnya.
Dalam puisi di atas, kita melihat Talaud dalam refleksi masa lampau dan masa kini. Talaud masa lampau nampak sebagaimana gambaran para peziarah Eropa yang digambarkan secara sempurna oleh Johann Wolfgang von Goethe: “Dort , im reinen und rechten! Will ich menslichen geschelecthen! In des ursprungs tiefe dringen” (ke sanalah, ke kesucian dan kesalehan, aku kan kembali ke asal mula ras manusia).
Sementara Talaud masa kini adalah bagian dari 199 daerah tertinggal di Indonesia yang tergolong terisolir karena berbagai keterbatasan infrastruktur dasar, ekonomi, sosial budaya, perhubungan, telekomunikasi dan informasi.
Mengoleksi 9.220 orang miskin, dan kemiskinan di kepulauan ini dapat digambarkan sebagai suatu keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.
Demikian fakta yang tersirat dalam puisi Iverdixon Tinungki, jika ditafsir lebih jauh, yang mengisyaratkan ada sesuatu yang salah, ada dikotomi yang menyebabkan Talaud dalam dua wajah yang bertolak belangkang yaitu sebuah masa lampau yang indah dan masa kini yang muram.
Jumat, 11 Maret 2022, saya membaca esai ringan Iverdixon Tinungki tentang Jekmon Amisi yang siap mengangkat layar untuk Pilkada Talaud 2024 pada sebuah media daring. Sontak jadi ingat percakapan saya bersama Iverdixon Tinungki dan Jekmon Amisi pada suatu sore awal Maret 2022 di Cafe Kemang, Manado, terkait fakta-fakta aktual yang kini dihadapi Kabupaten Kepulauan Talaud pasca gagal cair DAK Tahap 3 sebesar Rp 60 Miliar yang berdampak langsung pada peri kehidupan kabupaten itu. Belum lagi soal koleksi hutang yang kini melilit Talaud dengan bunga pinjaman yang terasa ngeri dibayangkan.
Itu sebabnya, kalau hari ini Jekmon Amisi menyatakan “mengangkat layar” saya pun ikut mafhum, bahwa dia ingin berjuang memperbaiki segala hal salah urus di negeri yang dicintainya itu. Sebab kesejahteraan sebuah daerah bahkan negara tidak lepas dari kenyataan di tingkat kerja-kerja politik.
Sebagai politisi saya percaya Jekmon Amisi paham bahwa kultur politik bangsa harusnya tumbuh di atas pondasi keadaban, yaitu kemanusiaan, komunalitas, persaudaraan, kesetiakawanan dan keadilan. Real politik harus menjadi kesungguhan dalam berpolitik, bukan pembenaran bagi praktek dagang sapi atau politik transaksional.
Politik diharapkan menjadi jalan raya gerakan perubahan, menjadi cita-cita yang realistis, bukan asesoris. Politik harus menjadi instrumen pendorong, penyokong bahkan penggerak bagi terwujudnya kesejahteraan.
Talaud sebagai kepulauan seluas 1.288,94 km2 yang terdiri dari 20 pulau, yang 95 persen wilayahnya adalah lautan, menjadikan upaya pembangunannya tak semudah kita melipat tangan. Bahkan dengan seluruh tangan yang bergerak terasa sulit menaklukan tantangannya.
Itu sebabnya, ketika Jekmon Amisi meluncurkan armada ambulance laut yang kini telah membantu warga dalam penanganan orang sakit atau yang ditimpa duka, saya sontak tersentuh. Karena bagi saya, sesuatu yang besar akan terwujud bila dimulai dari satu langkah kecil yang sungguh-sungguh.
Karena Talaud membutuhkan rasa peduli dan hati yang dipenuhi kebaikan. Tanpa niatan tulus membangun Talaud, politik selalu nampak sebagai dagelan di sebuah panggung kekuasaan yang menjadi ajang para petualang. Dan Jekmon Amisi berada di luar stigma muram itu. (**)
*Penulis adalah aktivis, putra asli Talaud
Discussion about this post