Catatan:
Alfindo Mongkol*
“Pagi ini adalah pagi yang sejuk, kabut yang di sana-sini dari kejauhan bergantungan di gunung-gunung dan belum menunjukan apakah akan menjadi awan, tidurnya kelak akan diganggu oleh ratu siang dan dihalau dari tempat istirahatnya. Pagi seperti ini dapat disamakan dengan masa remaja. Di sini orang memang tidak dapat menemukan suasana seperti musim semi, seperti di daerah berudara lembut, walaupun musim itu, sampai taraf tertentu, juga menunjukan diri dalam warna hijau muda dan bunga putih kuning, yang Bersama warna gelap dedaunan lain membentuk keterpaduan yang menyenangkan, dan mengimbangi keadaan monoton ‘musim panas abadi’.
Pagi Timur yang indah! bagi kami, Engkau adalah pencerminan sempurna hidup. Kami mengenalnya pada sinar lembut yang menyegarkan si piring emas, yang di sebelah timur mengawali perjalanan hariannya, juga pada perasaan hidup yang murni dan menyirami kami, pada kelincahan kami bergerak, pada puisi yang tersenyum di sekitar kami, pada kuntum mawar yang mekar, pada keharuman yang menyenangkan, yang seolah-olah menyampaikan salam pagi kepada kami! Benar, Engkau sangat indah !” (N.Graafland, 1860)
Kutipan diatas adalah ungkapan hati N Graafland seorang pendeta dari Negeri Belanda tatkala ditugaskan sebagai Direktur Sekolah Guru Pribumi di Tanawangko Minahasa. Perjalanannya dari Manado ke pelosok desa di pegunungan Minahasa membuatnya takjub pada keindahan alam dan otentisitas budaya yang ia temui. Sebagai seorang yang berasal dari “Barat”, Graafland ditugaskan untuk memberikan “pencerahan” kepada masyarakat Minahasa oleh pemerintah Hindia Belanda. Pencerahan yang dimaksud tentu selaras bagi kepentingan kolonial. Dengan bertambahnya ilmu dan sesuainya “spesifikasi” pengetahuan masyarakat pribumi tentu akan memudahkan pekerjaan pemerintah kolonial untuk mengeruk segala bentuk hasil bumi di daerah koloni.
Tak semua sesuatu yang bersumber dari barat itu buruk, pun demikan tak semua yang bersumber dari timur itu baik. Relativitas nilai yang terus berubah-ubah memposisikan manusia harus terus menakar dan mengukur untuk menemukan nilai terbaik yang sesuai di setiap zamannya. Dan lain pula disaat Graafland berkunjung, kondisi Minahasa yang ia kunjungi tentu sudah sangat berubah. Mungkin kabut yang dilihat oleh Graafland adalah kabut yang sama dengan yang kita nikmati, namun satu yang pasti berbeda, masyarakat yang Graafland temui tak lagi sama.
Pendidikan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu telah membuka cakrawala masyarakat Minahasa. Di awal abad 20, tak berlebihan bila kita mengatakan masyarakat Minahasa adalah masyarakat yang memiliki budaya literasi yang tinggi. Sebutlah Marie Thomas, perempuan kelahiran 1896 dari Likupang yang tercatat sebagai dokter pribumi pertama di seluruh Nusantara. Catatan dari pemerintah Hindia Belanda menerangkan bahwa 36% dari penduduk pribumi Minahasa pada saat itu telah mengenyam bangku pendidikan. Sebuah persentase penduduk yang cukup tinggi dibanding kota-kota besar di Jawa saat itu. Imbasnya produktivitas pertanian menjadi tinggi dan daerah Minahasa menjadi salah satu wilayah koloni yang dijadikan “favorit” oleh pemerintah Hindia Belanda.
Namun tampaknya keunggulan itu kini perlahan-lahan memudar, marilah kita mencermati secara seksama Indeks Alibaca (Aktivitas Literasi membaca) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud RI di tahun 2020. Indeks ini memotret gambaran kegemaran membaca yang menjadi cerminan terwujudnya masyarakat literat di setiap propinsi di Indonesia. Dalam indeks ini dimuat empat dimensi utama dan enam belas indikator yang menghasilkan peringkat kondisi Alibaca di setiap provinsi (lihat www.repositori.kemendikbud.go.id). Hasilnya Sulawesi Utara memiliki nilai 22.62 (rendah) untuk dimensi Akses, 33.82 (rendah) untuk dimensi budaya, 42.49 (sedang) untuk dimensi alternatif dan 80.35 (tinggi) untuk dimensi kecakapan.
Secara singkat dari empat indikator tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Sulawesi Utara saat ini adalah masyarakat yang telah memiliki kemampuan membaca (tidak buta huruf) yang tinggi, namun tidak memiliki budaya baca serta kendala eksternal yaitu kesulitan untuk mencari sumber dan akses bacaan. Dari nilai–nilai tersebut secara sekilas tentu kita dapat menyimpulkan bagaimana kondisi sumber daya Minahasa yang tersedia saat ini? Dan apabila tidak ada perbaikan atau perubahan signifikan, bukan hal muskil bila masyarakat Minahasa kemudian akan terasing di tanahnya sendiri.
Beragam program pemerintah pusat melalui pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Utara tentunya diharapkan dapat menjadi pengungkit ekonomi kawasan. KEK Likupang dan KEK Bitung digadang-gadang akan menjadi pemicu timbulnya peningkatan aktivitas ekonomi kawasan yang berimbas luas di wilayah Asia Pasifik.
Jauh hari, Bapak Bangsa kita, Sam Ratulangi telah memprediksi hal ini melalui bukunya “Indonesia di Pasifik”. Dalam uraianya, Sam Ratulangi berkeyakinan bahwa Sulawesi Utara akan menjadi “Global Player”. Pemain penting dalam arus perdagangan, geopolitics dan hubungan internasional di kawasan Asia Pasifik. Uraiannya pula yang meyakini arus ini akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ramalan itu mungkin saja akan terwujud, namun pertanyaannya apakah betul masyarakat kita dapat memanfaatkan momentum ini? tatkala kecakapan dan literasi yang dimiliki saat ini demikian rendahnya?
Menguliti hal ini, saya ingin mengajak kita semua menyimak data dan fakta yang bisa ditemui sehari-hari. Apabila kita simak dengan seksama, hingga saat ini Provinsi Sulawesi Utara belum dapat memenuhi swasembada pangan. Data Dinas Pertanian Provinsi Sulut masih menunjukan bahwa 44% beras konsumsi domestik masih harus dipasok dari luar daerah. Rempah dapur semacam Cabai, Lengkuas dan lain sebagainya belum memenuhi kebutuhan konsumsi harian masyarakat. Konsumsi daging seperti Sapi dan Ayam pun masih harus disuplai dari luar daerah. Padahal dengan luas wilayah yang ada, kesuburan tanah dan kekayaan sumber daya alam tentunya hal di atas bukanlah sesuatu sulit untuk dipenuhi. Lalu di mana letak permasalahannya?
Suka tidak suka perlu kita musti mengakui, sumber daya manusia kitalah yang masih lemah, belum memiliki daya saing dan “daya banting” menghadapi persaingan. Masyarakat kita masih lebih senang membeli dari pada produksi. Pameo “lebih baik kalah nasi, daripada kalah aksi” sudah seyogyanya kita rubah. Satir, atas kata “Manado” yang berarti “Menang Tampang Doang “ harus dapat kita ganti. Kita harus dapat menemukan momentum pembangunan budaya agar dapat bersanding dan sejajar dalam hubungan membangun peradaban yang sejahtera dan beradab.
Gerakan Literasi Desa, upaya membangun harga diri
Masyarakat Minahasa sesungguhnya adalah masyarakat pedesaan, catatan Graafland menunjukan pada masa lalu petani-petani Minahasa lah yang memiliki kemampuan dan kelebihan membuka lahan–lahan pertanian. Kala itu, Produksi padi Minahasa surplus dan dikirim hingga keluar wilayah. Para ahli pertanian Minahasa menjadi “guru-guru” pertanian membagikan keahliannya ke berbagai pelosok Indonesia Timur.
Otokritik harus kita ajukan mengapa dengan berbagai keunggulan yang pernah dicapai di masa lalu, tidak terwaris di masa kini? Masyarakat desa dan generasi masa kini lebih menggemari berkelana keluar daerah dan meninggalkan kampung halaman. Tinggal di desa bukanlah pilihan populer, tidak keren, tidak asyik dan tidak ada masa depan. Urbanisasi menjadi pilihan, suatu gaya hidup baru yang dipandang lebih menjanjikan dan selalu dicita-citakan. Seringkali kita temukan anak muda ditanamkan cita-cita untuk dapat menjadi orang kota, dan sukses hanya dapat diperoleh di kota besar. Sesungguhnya tidak ada yang salah menjadi kota, ataupun berkelana keluar daerah. Kesalahan terletak tatkala kita mengingkari jati diri kita dan melupakan tanah air di manapun kita berasal.
Gerakan Literasi desa dapat menjadi upaya alternatif untuk meningkatkan daya saing masyarakat desa. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, kita dapat menjangkau seluruh pelosok dunia dari mana saja kita berada. Tinggal di desa bukan menjadi “kutukan” tapi dapat menjadi sebuah pilihan. Dengan memberdayakan potensi yang dimiliki, kita dapat membangun daya saing dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Gerakan literasi desa mencakup upaya menulis, membaca dan memahami beragam potensi yang dimiliki untuk bergulir menjadi rencana aksi. Sebuah rencana yang dapat mengakibatkan perubahan sekecil apapun di lingkungan yang kita miliki. Harapan dari gerakan Literasi desa adalah terciptanya kemandirian, dan dari kemandirian iakan terbangun harga diri.
Proses pengambilan keputusan di desa sangat rasional dan modern di mana dengan ciri khas desa yang cenderung homogen maka satu keputusan pasti akan sangat cepat direspon, dikoreksi dan dilakukan. Tinggal bagaimana caranya mengisi pengetahuan dan keterampilan lewat literasi agar kemampuan masyarakat desa dalam menyikapi dan merespon fenomena yang terjadi bisa lebih cepat dan akurat. tentunya ini tidak dapat diwujudkan tanpa ada kerjasama yang apik antara pemerintah, organisasi masyarakat dan masyarakat itu sendiri.
Pembangunan desa vs Urbanisasi
Laksana siang dan malam, desa dan kota adalah pasangan yang saling membutuhkan. Tak kan ada desa tanpa kota, pun demikian sebaliknya. Keseimbangan harus dijaga dengan menghadirkan derap pembangunan desa sejalan dengan denyut pembangunan kota. Tanpa keseimbangan maka ketimpangan akan terjadi, urbanisasi atau migrasi akan senantiasa tercipta. Pembangunan desa akan terhenti Ketika masyarakat desa kehilangan harapan akan desa nya.
Gerakan literasi sejatinya adalah upaya untuk merawat dan menumbuhkan harapan. Bak benih yang disemai, gerakan literasi adalah pupuk dalam memelihara harapan masyarakat dalam hubungan dengan tempat kelahirannya, disanalah harapan itu dapat berkecambah menjadi keberanian untuk melakukan perubahan demi masa depan. (**)
*penulis adalah penggiat literasi desa dan mahasiswa program doktoral Universitas Sam Ratulangi
Discussion about this post