Liputan:
Budy Nurgianto
Pada abad ke-14 harga komoditas pala melebihi harga emas. Di Jerman bahkan 1 pon pala, dihargai dengan “tujuh sapi jantan dewasa” atau “Seven Fat Oxen”. Komoditas ini bahkan mendorong seorang Fransisco Serrao, penjelajah asal Portugis untuk mengelilingi dunia pada tahun 1511. Ia bahkan rela melewati Laut Malaka — jalur yang dikenal dengan wilayah perompak masa itu- hanya untuk bisa sampai ke Ternate.
Rangkaian bibit pepohonan pala setinggi 50-60 centimeter tertata rapi pada lima petak di lahan ukuran 50×50 meter. Sekelompok anak muda terlihat sibuk membersihkan rumput yang tumbuh di samping kiri kanan pematak. Sebagian dari mereka ada yang sibuk mengisi polybag dengan tanah dan menyiramnya dengan air. Sesekali mereka berhenti dan saling membalas sahutan dan bernyanyi dengan bahasa lokal. Mereka adalah petani pembibit pala di Kelurahan Loto, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara. Lokasi pembibitan terletak tepat di depan hamparan perkebunan pala di lereng kaki Gunung Gamalama.
“Setiap pagi aktivitas kami selalu membersihkan lokasi pembibitan dari rumput liar. Menyiram bibit pala dan merapikan posisi bibit. ini rutin kami lakukan setiap pagi dan sore,”kata Nirwan (36), salah satu pembibit pala di Kelurahan Loto kepada Barta1, Kamis 11 Agustus 2021.
Aktivitas pembibitan pala di Kelurahan Loto ini mulai ramai dilakukan masyarakat sejak dua puluh tahun terakhir, Ada belasan lokasi penangkaran bibit pala di kelurahan ini yang dikembangkan masyarakat secara mandiri. Sebagian dari penangkaran telah memiliki memiliki sertifikasi pembibitan pala berstandar dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara. Bahkan ada penangkaran yang dikembangkan untuk kebutuhan penelitian.

Penangkaran pembibitan pala di kelurahan ini muncul lantaran kondisi krisis pala di tahun 1997, Saat itu banyak pohon pala yang mati karena usia yang sudah tua. Tak sedikit kebun-kebun tua, yang diwariskan secara turun-temurun di kelurahaan ini tak lagi berbuah. Kondisi semakin parah pada tahun 1999, kala itu banyak masyarakat yang mulai berbondong-bondong meninggalkan profesi sebagai petani pala dan memilih menjadi pegawai negeri sipil serta bekerja di sektor jasa. Ratusan hektar lahan perkebunan pala milik warga Loto menyusut kurang lebih 30-20 hektar. Seluas 10 hektar lahan kebun pala pun digantikan dengan tanaman yang bisa dipanen bulanan seperti rica dan tomat. Loto pun dulu tak luput dari krisis pala kala itu. Produksinya pun sempat menurun pada tahun 2003.
“Untungnya krisis itu tidak berlangsung terlalu lama. Banyak masyarakat yang kemudian kembali ramai-ramai mulai meremajakan tanaman pala mereka. Hasilnya, kita bisa lihat sampai saat ini produksi pala di Ternate masih tetap terjaga,”ujar Nirwan.
Pala atau dikenal dengan nama Myristica fragrans adalah bagian besar dari kehidupan masyarakat Loto dan Ternate. Hampir 60 persen penduduk di kelurahan ini menggantungkan hidup dari hasil perkebunan pala. Luas perkebunan pala di Loto mencapai 63 hektar yang terbentang sepanjang lereng gunung Gamalama. Perkebunan pala di kelurahaan ini dikelola lebih dari 200 kepala keluarga.
Dalam setahun petani pala di kelurahan ini bisa mengalami dua kali panen. Sekali panen, setiap petani memperoleh 200 kilogram biji pala kering dan 50 kilogram bunga pala. Jika musim besar tiba, petani Loto bisa memanen hingga lebih dari 300-400 kilogram. “Kalau dijual setiap petani bisa mendapatkan penghasilan 17-30 juta-an. Inilah mengapa pala bagi kami adalah sumber kehidupan, Berkat Pala kami bisa menyekolahkan anak kami hingga ke jenjang perguruan tinggi,”kata Ibrahim Umar (48) salah satu warga Loto.
Harga jual biji pala kering di Kota Ternate berkisar Rp 70-85 ribu per kilogram. Setiap kelurahan di Kecamatan Ternate Barat ini bisa memproduksi 10-20 ton biji pala per tahun. Enam kelurahan di Ternate Barat seperti Sulamadaha, Togafo, Takome, Tobololo, Bula dan Kulaba bahkan salah satu sentra penghasil pala di Kota Ternate, Maluku Utara selain Marikrubu dan Tongole di Kecamatan Ternate Tengah.
Namun sayangnya, kondisi yang mulai terjaga di Ternate tak berlaku di wilayah lain di Maluku Utara, pala tidak lagi berjaya. Produktivitasnya semakin berkurang karena banyak masyarakat yang sudah meninggalkan profesi sebagai petani pala. Selain itu banyak pohon pala yang sudah tua dan membutuhkan peremajaan. Tak sedikit pula perkebunan pala yang berubah menjadi wilayah pemukiman dan tambang.
Padahal, di masa lalu, pala adalah primadona. Pada abad ke-X sampai ke-XII, pala asal Maluku Utara tersohor sampai ke Eropa dan dan Timur Tengah. Rempah ini menguasai semua bursa perdagangan di Eropa karena memiliki harga jual yang sangat tinggi, setara dengan emas. Pala di Ternate bahkan membuat seorang Fransisco Serrao, penjelajah asal Portugis memberanikan diri mengelilingi dunia pada tahun 1511. Ia bahkan rela melewati laut malaka-jalur yang dikenal dengan wilayah perompak masa itu- hanya untuk bisa sampai ke Ternate,

”Sejak rempah-rempah ditemukan bangsa Eropa, wilayah ini selalu menjadi favorit. Namun kala Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi, komoditas ini seperti tak lagi menarik. Banyak warga yang lebih memilih menjadi pegawai negeri sipil ketimbang petani pala,” kata Kuat Suwarno, staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate, saat berbincang-bincang dengan barta, Kamis 26 Agustus 2021.
Menurut Kuat, hingga 2020 ini ada kurang lebih 27 ribu masyarakat Kota Ternate tercatat masih setia sebagai petani pala. Mereka diketahui merupakan masyarakat yang memiliki perkebunan pala dan rutin menjaganya setiap hari. Pada tahun 1997, petani pala di Ternate bahkan mencapai kurang lebih 60 ribu orang, sebelum kemudian terus menurun jumlahnya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
“Dahulu 80 persen penduduk Ternate adalah petani pala, sekarang hanya 50 persen, dan itupun rata-rata petani pala sudah berusia lebih dari 40 tahun,”ujar Kuat
Padahal, tanaman pala di Maluku Utara memiliki tingkat produktivitas 530 kg/ha, lebih tinggi dari produktivitas nasional yang hanya 360 kg/ha, “Ini jelas ironis. Apalagi pala merupakan tanaman yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya Kuat Sabtu lalu. Cadangan pala di Maluku Utara pun termasuk paling banyak di tingkat nasional, mencapai 8.560 ton per tahun 2020. Sebelumnya produksi pala di Maluku Utara mencapai 10.247 ton pada 2009. Ada tiga kabupaten kota di Maluku Utara yang menjadi penghasil pala terbesar, yakni Halmahera Tengah, Halmahera Utara, dan Ternate.
Berdasarkan data IQFast (Indonesia Quarantine Full Automation System) Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate, pala termasuk dalam lima besar komoditas yang dilalulintaskan keluar. Pada tahun 2019, tercatat biji pala Maluku Utara yang dilalulintaskan keluar sebanyak 2.7 juta kilogram, dengan potensi ekonomi mencapai 162 miliar rupiah. Bahkan diperkirakan pada tahun 2020, produksi komoditas ini akan mengalami peningkatan, mengingat data lalu lintas biji pala dari Januari hingga Juni 2020 telah mencapai 1.7 juta kg atau meningkat 58 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Itulah mengapa pala di Ternate bisa menjadi potensi ekspor pala Maluku Utara. Selain pasarnya cukup luas, banyak negara di Eropa hingga kini masih berminat dengan pala kita,” tutur Kuat.
Wijaya Kusuma (41), salah satu pengusaha hasil bumi mengatakan, produksi pala di Maluku Utara di Maluku Utara dinilai bisa menjadi potensi ekspor terbesar selain kopra dan cengkeh. Komoditas ini bahkan diyakini dapat menjadi solusi mengurangi tingkat kemiskinan di Maluku Utara..
“Harga pala di pasaran bisa mencapai Rp 140 ribu perkiloram. untuk bunga pala yang kering bahkan bisa mencapai 200 ribu per kilogram. Dengan harga yang stabil ini tentu bisa membuat banyak petani lebih sejahtera,”kata Wijaya.
Wijaya mengaku dalam sebulan ia bisa mengeluarkan dana Rp 2-3 miliar untuk membeli komoditas pala dan cengkih di Maluku Utara. Dalam setahun Ia bahkan bisa mengirim 100-150 ton pala ke Hong-Kong, Singapura, dan Cina. “Karena itu sangat disayangkan kalau potensi pala ini sampai diabaikan. Padahal produksinya banyak dan harganya cukup tinggi,”ungkap Wijaya.
Berkolaborasi Merawat Pala
Pemerintah Kota Ternate sebenarnya sudah mulai melirik potensi Pala. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate memasukan pengembangan komoditas pala dan cengkeh dalam rencana pembangunan jangka menengah Kota Ternate. Pemerintah Kota bahkan akan mengeluarkan kebijakan yang melarang penebangan pohon pala di wilayah pegunungan Gamalama dan membeli lahan pala untuk menjadi lokasi destinasi wisata rempah.
“Saat ini Pemerintah Kota Ternate dan beberapa perguruan tinggi sedang digagas konsepnya. Yang pasti pala dan cengkeh menjadi prioritas pembangunan di Ternate,”kata Rizal Marsaoly, Kepala Bappeda Kota Ternate, Minggu 29 Agustus 2021.

Untuk jangka pendek Pemerintah Kota Ternate berencana akan meremajakan pala yang telah menua di beberapa kelurahan di Kota Ternate. Program peremajaan rencana adalah program kolaborasi antar instansi teknis yang menggandeng masyarakat untuk kegiatannya. Rizal berharap dengan program peremajaan dan pembibitan pohon pala, produktivitas pala di Ternate di tahun 2021 bisa meningkat dan petani bisa makin sejahtera.
“Tanaman pala (Myristica sp) di Ternate ini merupakan salah satu komoditas perkebunan terluas setelah kelapa. Karena itu kami menilai pala sangat berperan penting terhadap perkembangan ekonomi daerah, dan penting menjadi fokus pembangunan di Ternate,”ujar Rizal.
Akan tetapi masyarakat merasa kurang pas dengan berbagai rencana kebijakan pemerintah,”Program yang dilakukan pemerintah, seperti upaya peremajaan pohon pala dan peningkatan kapasitas petani, hanya bersifat jangka pendek dan tidak langsung dirasakan masyarakat,”kritik Ibrahim. Ia menambahkan jika pemerintah ingin serius mengembangkan Pala, seharusnya dimulai dari sertifikasi bibit pala dan pengembangan pasar.
”Pemerintah selama ini kami lihat terkesan hanya tunggu bola. Kalau hasilnya bagus baru bergerak, tapi saat petani sulit terkesan hanya diam”ungkapnya sembari berharap ke depan program pemerintah lebih diarahkan pada aktivitas yang mendukung petani pala. (***)
Discussion about this post