Hidup dan dibesarkan di era penjajahan Jepang dan Belanda tak membuat, J.E Tatengkeng kehilangan identitasnya sebagai manusia Indonesia. Di tahun 1935, ia mengandaikan Indonesia bagai bunga kecil nan indah, yang harus dicintai dan terus dipelihara.
Dr. H.B. Jassin, sang kritikus dan Paus sastra Indonesia, telah memposisikan J. E. Tatengkeng pada tempatnya yang mulia sebagai sastrawan terkemuka angkatan Pujangga Baru setara Amir Hamzah. Bahkan memiliki ciri karya yang melampau zamannya. Namun, sejarah politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia tak mungkin meluputkan salah seorang intelektual terkemuka di zamannya ini dalam catatannya.
J.E. Tatengkeng adalah orang pergerakan. Begitu tulis Moeljono membuka Bab II bukunya yang berjudul “DRS. J.E. TATENGKENG Karya dan Pengabdiannya” (1986). Buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional lewat Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional itu menyebutkan, lewat karya sanjak-sanjaknya terlihat Tatengkeng begitu kuat diliputi semangat nasionalisme dan patriotisme sebagaimana ciri kaum muda generasi tahun 1930-an.
“Masyarakat sastra dunia mengenang Om Jan –sapaan akrab Jan Engelber Tatengkeng—sebagai penyair bernafas Kristiani dari Indonesia yang karya-karya terbaiknya dikenal lewat buku Rindu Dendam yang terbit pertama kali di tahun1934,” ujar kritikus Perancis Prof. Etienne Neveau, saat berziarah ke tanah kelahiran Tatengkeng, Kolongan, Sangihe pada tahun 2017. Sementara kaum pergerakan mengenang Tatengkeng sebagai politisi yang meraih posisi tertinggi di Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai Perdana Meteri (1949-1950).
Sebagai kaum terpelajar Indonesia, sejak tahun 1936, sastrawan kelahiran Kolongan, Sangihe , 19 Oktober 1907 itu tercatat sudah berhubungan erat dengan Soetan Sjahrir, seorang intelektual, perintis revolusioner kemerdekaan Indonesia, Perdana Menteri Indonesia (14 November 1945 hingga 20 Juni 1947), pendiri Partai Sosialis Indonesia (1948), juga dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Hubungan erat keduanya terbukti dikemudian waktu lewat masuknya Tatengkeng sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Sosialis Indonesia di Makassar.
Sejumlah sumber sejarah menyebutkan, keterlibatan Jan Engelber Tatengkeng dalam usaha kemerdekaan Indonesia terlihat dalam kesertaannya mendirikan organisasi badan perjuangan yang disebut dengan Barisan Nasional Indonesia. Sebagai orang pergerakan, pada 30 Maret 1944 Tatengkeng dan beberapa temannya ditangkap Jepang dan ditahan selama setahun lebih hingga bebas pada 17 Agustus 1945 ketika proklamasi kemerdekaan menyebar keseluruh pelosok bangsa Indonesia.
Sebagai seorang yang mempunyai pengaruh di bidang sosial politik, J.E. Tatengkeng dipilih Belanda untuk mewakili Partai Rakyat Sangihe-Talaud mengikuti konfrensi Denpasar 1946. Pada Konferensi NIT di Denpasar itu, ia masuk sebagai anggota Parlemen NIT. Mengutip Tirto.id, ketika itu kaum nasionalis di Indonesia Timur memanfaatkan NIT sebagai negara federal yang mengutuk Agresi Militer Belanda ke-2 yang menduduki Ibukota Republik di Yogyakarta dan menawan pejabatnya.
Dalam konferensi Gapki, 1 Mei 1948, di Makassar J.E Tatengkeng mewakili Barisan Nasional Indonesia (BNI) yang mengeluarkan manifes Mengenai Republik Indonesia yang isinya antara lain: a) tetap mengakui Republik Indonesia sebagai bentukan negara yang sah, b) tetap mengakui Republik Indonesia sebagai wakil seluruh bangsa lndonesia., c) tetap mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada pemerintah Republik Indonesia.
Tentang Naskah Linggarjati, tulis Moeljono, BNI juga mengeluarkan sikap: “Sampai saat penghabisan kami percaya bahwa Naskah Linggarjati ialah dasar yang utama dalam hal penyelesaian soal Indonesia – Belanda. Tetapi berhubung dengan adanya tindakan Belanda yang kami anggap sebagai agresi militer yang tidak mengindahkan serta yang telah melanggar dan membatalkan Naskah Linggarjati, maka kami yakin, bahwa satu-satunya jalan sekarang untuk menyelesaikan masalah Indonesia – Belanda dengan cara damai, ialah: campur tangan internasional dengan cara mengadakan komisi yang terdiri atas wakil-wakil beberapa negara, yang ditentukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Sebagai kaum pergerakan progresif baru tercatat pada tahun 1947 J. E. Tetengkeng diangkat menjadi Menteri Muda Pengajaran Negara Indonesia Timur, lalu pada 1949 ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran. Di tahun itu pula (1949) ia diangkat menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pengajaran NIT hingga 1950.
Dimulai dari pengalaman politiknya dan kecerdasannya yang luar biasa, sehingga sampai Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan menjelma menjadi Negara Kesatuan, nama J.E.Tatengkeng tetap diperhitungkan. Terakhir ia dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K Sulawesi di Ujung Pandang.
Tahun 1960-an merupakan tahun dimana Tatengkeng bergelut dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hingga pada 6 Maret 1968 Guru, Penyair, Pejuang Jan Engelbert Tatengkeng menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Darat “Pelamonia” Ujung Pandang.
Penulis: Iverdixon Tinungki, Rendy Saselah
Discussion about this post