Catatan:
Satria Yanuar Akbar *
Sore hari itu, cuaca di Teluk Tahuna sangat bersahabat, awan memayungi terik matahari yang akan kembali ke peraduannya, angin berhembus sejuk dari arah laut menghantarkan beberapa kapal nelayan menuju daratan. Tampak tak jauh di dermaga rakyat, sekelompok orang tengah menunggu hasil tangkapan ikan yang melimpah.
Sore itu di kedai mungil tepi boulevard saya menghabiskan kopi dan kue kenari sambil berbincang – bincang bersama dramawan senior Eric Dajoh dan Kepala Dinas Perpustakaan & Kearsipan Daerah Johanis Pilat tentang perpustakaan milik Raja Mokodompis di Manganitu yang baru saja kami kunjungi. Perpustakaan pribadi yang konon telah ada sejak tahun 1900-an itu memuat beberapa koleksi yang sangat menarik. Novel “The Happy Hunting Grounds”, karya Kermit Roosevelt, terbitan
1920, novel “Gone With The Wind” terbitan 1938, hingga “The Complete Works of William Shakespeare”, berada di tumpukan buku-buku yang dipenuhi debu.
Dari koleksi yang tertera, kami berkesimpulan bagaimana sang raja sangat menyukai roman dan petualangan, tokoh karakter yang tertera di novel-novel tersebut adalah tokoh protagonis yang memiliki integritas tinggi dan mungkin karena pengaruh bacaan inilah Raja Mokodompis, sang empunya perpustakaan, terkenal sebagai karakter yang kokoh menentang penjajah, meskipun sejarah menceritakan kisah tragis kematian sang raja di ujung pancung pedang penjajah Jepang. Sayangnya, hanya sang raja yang tampaknya memiliki kegemaran membaca.
Perpustakaannya kini dipenuhi debu dan hanya menjadi saksi bisu masa lalu. Tak tampak cucucicit nya yang menggemari atau membaca buku-buku yang ada di lemari itu. Yang tampak adalah muda-mudi yang sedang asyik larut dalam tampilan layar seluler genggam, dan beberapa di antaranya sibuk bergoyang untuk membuat konten tik-tok dengan lagu yang membahana. Fenomena ini tampaknya tak terjadi di Manganitu saja, namun mewabah ke seluruh penjuru Indonesia. Generasi Indonesia sekarang lebih hobi berselancar di jagat maya dibanding tenggelam dalam imajinasi dan fantasi yang ditawarkan oleh buku-buku bacaan.
Riset “Global Digital Reports 2020” menyebutkan, bahwa 64% masyarakat Indonesia telah terhubung dengan internet dan rata-rata berselacar selama 7 jam 59 menit per hari. Waktu ini di atas ratarata masyarakat dunia yang berselancar hanya 6 jam 43 menit per harinya. Maka tak berlebihan bila ada julukan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang malas membaca, namun cerewet di media sosial. Rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia ternyata menghasilkan maraknya konsumsi kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian di dunia maya. Masyarakat yang tidak terlatih untuk mengolah informasi dari membaca, tiba-tiba dihadapkan pada ruang yang memiliki kebebasan “sebebas-bebasnya”, alhasil informasi dan komunikasi pun ambyar jadinya.
Lalu bagaimana mengatasi kondisi yang kadung terjadi seperti saat ini? Salah satu kuncinya, adalah meningkatkan kemampuan literasi. Literasi adalah kata serapan dari bahasa latin literatus, berarti orang yang belajar. Secara harafiah kita dapat mengartikan literasi sebagai kesadaran individu untuk belajar memahami realitas yang ada dan mentransformasikannya pada perilaku sehari-hari. Kemampuan ini merujuk pada kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Sjarifudin, dalam bukunya “Masyarakat Literat”, menyampaijan bahwa perilaku individu yang memiliki kecakapan literasi akan memuat lima aspek, diantara nya: memahami, melibatkan, menggunakan, menganalisa dan mentransformasi teks. Seseorang dapat disebut literat ketika ia telah memiliki kompetisi dan kecakapan hidup. Ia berdaya dan memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar dan memahami realitas. Sehingga individu yang literat pasti memiliki ciri sebagai individu yang adaptif, memiliki kontribusi positif dan mempunyai manfaat solutif bagi kehidupannya. Bangsa yang literat akan dibentuk oleh masyarakat yang literat pula, dibangun dari inidividuindividu yang literat.
**
Matahari pun kini berganti bulan, malam mulai menyelimuti Teluk Tahuna di mana kami berada. Beberapa bintang nampak muncul malu-malu di balik kelamnya malam. Diskusi kami pun masih berlanjut namun kini ditemani semerbak harum ikan bakar dan hangatnya Karame (l). Menciptakan masyarakat literat adalah sebuah dambaan, karena melalui masyarakat literatlah, perubahan dan kebaikan akan terlaksana, puncak dari terciptanya masyarakat yang literat adalah perubahan.
Membicarakan literasi bukanlah membicarakan tentang wacana namun, sebuah aksi nyata, dan oleh karenanya diskusi malam itu menjadi sebuah narasi dalam menciptakan sebuah kegiatan aksi yang
menghasilkan masyarakat yang literat.
Sangihe Writers & Readers Festival digagas untuk menjadi sebuah aksi nyata dalam membangun masyarakat yang literat. Melaluinya, harapan, keberanian, dan perubahan akan tercipta : suatu semangat yang memberikan dorongan bagi kita untuk menuliskan masa depan yang lebih baik. (**)
*Penulis adalah praktisi seni dan penggiat literasi
(1) karame adalah minuman khas Sangihe berupa campuran kelapa muda, gula aren, tepung sagu dan jahe merah
Discussion about this post