Talaud, Barta1.com – Tunju merupakan tradisi lokal masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud yang sudah ada sejak lama. Dari bahasa lokal warga Kabupaten Kepulauan Talaud yang berarti tunjuk, tradisi ini biasa juga disebut matunju, matunju’a dan matunjuk’ka.
Sekilas tata cara pelaksanaan tunju, pada umumnya para peserta duduk membentuk lingkaran sambil bernyanyi. Nyanyian yang dibawakan berupa lagu rohani dan percintaan. Untuk menjadi pemandu lagu, biasanya empat orang atau dua pasang. Dua pasang pemandu ini berjalan mengelilingi para peserta dengan arah yang berlawanan sambil memegang setangkai bunga.
Tangkai bunga yang berada dalam genggaman pemandu ini terus diayunkan dengan posisi menunjuk setiap peserta yang berada dihadapannya. Apabilah lagu yang dibawakan selesai, maka peserta yang kena tunjukan terakhir akan berdiri dan membawakan lagu seperti posisi pemandu sebelumnya.
Tradisi ini sering dilaksanakan pada acara pernikahan, ulang tahun, peringatan hari raya dan duka cita. Jenis lagu yang dibawakan adalah lagu daerah.
Bahkan, lewat tradisi turun – temurun ini masyarakat lokal mengungkapkan rasa syukur kepada sang Pencipta atas hasil panen, menaiki rumah baru, membuka usaha dan situasi syukur lainnya.
Ada beberapa babak yang menjadi tahapan saat melaksanakan acra tunjutunju yaitu pembukaan, ungkapan syukur, ungkapan cinta dan penutup. Yang menjadi perbedaan dari setiap babak adalah jenis lagu yang dibawakan dan cara menunjuk siapa yang akan membalas atau memandu lagu berikutnya. Hal ini diungkapkan oleh Ratum Banua Tuabatu, Adrianus Tundunaung saat diwawancarai di kediamannya.
Lanjutnya, dalam babak pembukaan, lagu yang dibawakan adalah lagu yang bertemakan perjumpaan. Sementara untuk babak ungkapan syukur, lagunya bertemakan religi. Babak percintaan menyajikan lagu bernuansa muda-mudi. Sedangkan babak penutupan lebih condong pada lagu yang mengucapkan salam perpisahan.
Persis seperti makna bernyanyi yang sering dilakukan oleh manusia bahwa melalui aktivitas ini manusia dapat mengungkapkan perasaan melalui nada dan irama serta kata-kata.
Tundunaung mengungkapkan, babak percintaan adalah tahapan acara yang paling unik. Mengapa? Karena lagunya bertemakan percintaan maka momentum ini tak jarang menjadi ruang bagi muda-mudi saling mengungkapkan isi hati. Bahkan ada yang pacaran hingga menikah karena mengikuti acara ini.
Tokoh adat Tuabatu ini menyentil juga soal tingkat ketertarikan masyarakat yang nyaris tak ada lagi untuk menjaga warisan budaya ini.
“Kalau disuruh pilih, masyarakat lebih suka hiburan modern dibandingkan dengan tunju. Kondisi seperti ini sangat disesalkan,” ungkap Tundunaung.
Di sisi lain, Erens Gumansalangi, Ratu Tampa Kabaruan menerangkan nilai budaya yang terkandung dalam tradisi lokal ini.
“Yang pertama adalah bahasa. Lagu yang digunakan adalah bahasa Talaud. Hal ini memiliki nilai budaya yang sangat kuat. Selain itu ada nilai kebersamaan dan pelestarian budaya,” ucap Gumansalangi.
Dia menggambarkan situasi saat tradisi ini digelar.
“Suasananya ramai sekali. Dahulu waktu listrik belum normal, kami menggunakan lampu buatan sendiri sebagai penerang. Penuh nuansa kekeluargaan. Terakhir di tahun 90-an itu masih sering tetapi saat ini sudah jarang sekali tunju digelar,” ujar Gumansalangi.
Terpisah, Kepala Desa Dapihe, Horbit Ponge mengatakan lagu yang dibawakan dalam acara tunju memiliki makna yang kental sebagai pedoman hidup.
“Lagu yang dibawakan mengandung nilai nasihat dan petuah, amanah, petunjuk dan pengajaran serta contoh teladan yang baik. Selain itu sarat akan syukur dan kepada Tuhan,” tutur Ponge.
Ia menambabkan, tradisi ini makin tergerus dan terancam punah karena perkembangan teknologi.
“Seiring dengan perkembangan teknologi, maka tradisi ini terancam punah. Karena sebagian besar masyarakat lebih cenderung menggelar acara yang sudah modern dibandingkan dengan acara tradisional seperti tunju,” kunci Ponge. (*)
Peliput: Evan Taarae
Discussion about this post