Strategi perjuangan untuk menyelamatkan Pulau Sangihe dari ancaman investasi yang hendak merusak lingkungan dilakukan oleh gerakan Save Sangihe Island (SSI). Selasa, 27 April 2021, perwakilan SSI yang tiba di Jakarta sejak Minggu 25 April 2021, melakukan kunjungan ke lembaga Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) untuk mengadukan nasib masyarakat Sangihe yang hampir 80 % merupakan jemaat Gereja Masehi Injili Sangihe-Talaud (GMIST).
Perwakilan SSI mendatangi kantor PGI di jalan Salemba Raya nomor 10, Jakarta Pusat. Mereka, Samsared Barahama dari Perkumpulan Sampiri, Riedel Sipir dari Badan Adat Sangihe serta Elsye Paususeke dari masyarakat lingkar tambang Bowone.
Ketiganya tiba di kantor PGI pukul 12.30 WIB ditemani Nia Sjarifudin, aktifis sosial sekaligus ketua Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika. Para pihak diterima Pdt Jacky Manuputty, Sekretaris Umum PGI. Dalam kesempatan tersebut utusan SSI yang diwakili Riedel Sipir dari Badan Adat Sangihe menyerahkan tembusan surat yang dikirimkan BPMS Sinode GMIST kepada Presiden Joko Widodo.
Inti surat tersebut adalah pandangan alkitabiah Sinode GMIST tentang pelestarian lingkungan di Sangihe, dan permohonan kepada Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali izin PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Menanggapi maksud kedatangan perwakilan SSI, Pdt. Jacky Manuputty memberi apresiasi terhadap sikap Badan Pekerja Majelis Sinode GMIST tentang keberadaan izin eksploitasi PT Tambang Mas Sangihe. Terhadap rekomendasi BPM Sinode GMIST tersebut, Sekretaris Umum PGI mengapresiasi positif karena hanya sedikit dari gereja-gereja di Indonesia yang secara langsung dan tegas bersikap kritis terhadap investasi yang berpotensi merusak lingkungan.
Di dalam isi suratnya kepada Presiden Joko Widodo, Sinode GMIST menyampaikan pandangan bahwa hadirnya perusahaan tambang berskala besar yang akan mengeksploitasi alam Sangihe berdampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan hidup. Mengingat bentang daratan Kabupaten Kepulauan Sangihe hanya sebesar 736,98 Km2. Di akhir surat tersebut, Sinode GMIST meminta bapak Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali ijin penambangan PT. Tambang Mas Sangihe.
Sekretaris Umum PGI berharap Sinode GMIST lebih aktif menyampaikan pesan pelestarian alam lewat khotbah-khotbah, serta melakukan aksi-aksi nyata yang memberi alternatif solusi bagi kesejahteraan warga jemaat, serta mendorong Pemerintah Daerah untuk tidak memberi ruang bagi investasi yang merusak lingkungan.
Suara dari Mimbar
GMIST, denominasi gereja berciri Calvinis yang membawahi jemaat di Kepulauan Sangihe dan Sitaro, telah menjalankan fungsi perlindungan pada jemaatnya yang tengah terancam aktivitas korporasi tambang. Sejatinya, fungsi tersebut sejalan dengan tri tugas pelayanan yang diamanatkan Kristus Sang Kepala Gereja.
“Hal ini sejalan dengan sikap iman warga Kristen yang harus menjaga bumi dan segala isinya, sebagai ciptaan Tuhan,” tutur Pdt Manuputty.
Sikap gereja, dalam hal ini GMIST, menurut aktivis SSI Jull Takaliuang, sangat kuat dan berperan besar dalam perlawanan terhadap pertambangan yang mengancam hajat hidup masyarakat serta kelestarian lingkungan. Sebagai salah satu pihak yang mendorong gerakan penolakan tambang di Sangihe, Jull yakin kekritisan macam ini bisa sampai di telinga Presiden Jokowi, karena disuarakan oleh gereja.
“Saya dan teman-teman merasa sangat terbantu dengan sikap Sinode GMIST yang kritis dan punya visi jelas menyangkut teologi lingkungan,” cetus perempuan dari Tamako-Sangihe ini.
Padahal dalam pengalamannya melakukan advokasi korban tambang dan penyerobotan lahan rakyat oleh korporat di Sulawesi Utara, sikap kritis gereja lain seperti halnya GMIST tak nampak. Ambil contoh ketika Jull yang bernaung di bawah Yayasan Nurani Minaesa melakukan advokasi di lingkar tambang PT Mearest Soputan Mining (MSM) Minahasa Utara, justru pemimpin gereja memihak perusahaan. Bahkan ironis, perundangan terhadap anggota jemaat yang menolak tambang justru dilakukan dari atas mimbar!
“Pendetanya membaca satu per satu keluarga yang menolak tambang ketika berkhotbah, mereka ada yang disebut pemabuk dan berdosa,” ujar Jull, Rabu (05/05/2021).
Sikap oknum petinggi gereja yang mendukung tambang juga terjadi ketika rakyat Desa Tiberias di Bolaang Mongondouw melawan PT Malisya Sejahtera. Pada 2017, perusahaan yang didirikan sebuah konglomerasi raksasa di Bumi Nusantara itu tiba-tiba telah mengantongi Hak Guna Usaha yang mencakup wilayah perkebunan kelapa warga Tiberias.
Dalam Buku “Rakyat Bukan Sansak” (2021) yang ditulis Pitres Sobowadile menyatakan, warga Tiberias ters melawan kendati diteror kelompok bersenjata yang melakukan pengrusakan. Rakyat yang menolak lahannya diambil-alih, juga berkali-kali dikriminalisasi. Justru gereja yang harusnya mengambil peran sebagai benteng perlindungan terakhir jemaatnya, malah ikut merundung.
Abner Patras, salah satu penyintas dari Tiberias, sempat jadi korban dari sikap petinggi gereja yang sepatutnya kata dia mempraktikan kasih dan keteladanan Kristus. Abner merasakan benar ketidak-adilan itu ketika dia dan beberapa warga keluar dari penjara sebagai konsekuensi melawan perusahaan.
“Saya ditolak, bahkan ada yang bilang katanya kenapa mereka tak mati saja,” ujar Abner yang turut hadir dalam peluncuran buku tersebut di Kantor DPD Sulut, Tikala, Rabu sore.
Pdt Ruth Wangkai, aktivis juga imam perempuan dari Minahasa, mengaku trenyuh mendengar konfesi masyarakat dan kelompok yang terlibat dalam perang melawan ketidak-adilan di Sulawesi Utara. Menurutnya gereja wajib hadir ketika rakyat mengalami penindasan. Kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan dari lingkungan gereja jangan ragu dibuka ke publik. Ini semata-mata agar ada penyadaran atas fungsi gereja yang sesungguhnya. (*)
Peliput: Rendy Saselah, Ady Putong
Discussion about this post