Benteng Fort Rotterdam Makassar, 25 November 2012. Di sana pertama kali saya menjadi akrab dengan Radhar Panca Dahana. Ia seorang sastrawan dan pemikir terkemuka Indonesia.
Sebelumnya, kami telah bertemu di Jakarta, dalam beberapa kegiatan kesastraan dan kebudayaan. Ketika di Makassar itu, kami sama-sama menghadiri Pertemuan Pengarang Indonesia yang berlangsung di Hotel Aston selama 3 hari.
Saat mengunjungi Sombaopu, sebuah kawasan benteng dan situs Kerajaan Goa, Radhar banyak bercerita tentang cita-cita dia membangun asosiasi pengarang Indonesia. Ia memandang kesusasteraan Indonesia belum memiliki kekuatan menghadapi berbagai tekanan social. Kesusasteraan dan pengarang Indonesia sering menjadi korban kesewenangan penguasa politik dan militer, kekuatan pasar dan fundamentalis. Ia ingin pengarang punya daya kolektif untuk melawan itu, bahkan untuk survive.
Ia melihat pengarang Indonesia saat ini terjebak sektarianisme dan komunalisme negatif. Pengarang Indonesia terkotak-kotak menurut kelompok keyakinan dan kepentingan. Perpecahan ini sudah terwaris sejak tahun 1960-an dan terus berlangsung hingga sekarang. Kepedulian negara terhadap pengarang sangat minim. Sementara di negara-negara lain, semisal Eropa, China, dan India, pengarang menduduki tempat terhormat, karena karya mereka sebagai penanda kemajuan peradaban suatu bangsa bahkan menginspirasi daya hidup bangsa itu sendiri.
Percakapan lain berlangsung di Losari, kemudian di sebuah café pojok bandar udara Hasanudin, sambil makam mie ceplok bersama, saat menanti jam berangkat pesawat yang saya tumpangi menuju Manado. Lalu, di tahun-tahun berikutnya, kami bertemu cukup rutin dalam berbagai kegiatan kesastraan dan kebudayaan di beberapa tempat.
Radhar menjadi sering ke Manado. Dan setiap kali ia datang, kami pasti bertemu. Kami selalu berdiskusi dalam durasi panjang tentang beragam persoalan bangsa, sastra dan kepengarangan. Lebih dari 19 tahun, tak disadari, ia telah mengajari saya pelbagai pengetahuan, berbagi buku-buku bermutu untuk pengayaan bacaan saya.
Sebagai sahabat, Radhar sangat perhatian pada saya. Ia mengatakan tak lengkap ke Manado, bila tak bertemu saya. Pada 23 November 2015, Radhar membacakan puisi saya pada sebuah Seminar di Hotel Gran Puri.
Pada saat terpisah, ia mendiskusikan puisi-puisi saya. Ia mengatakan sebagai puisi-puisi terkuat dari Timur Indonesia. Tapi saya tahu, itu cara dia memompa semangat saya untuk selalu menulis. Karena saya tahu, di timur Indonesia juga banyak penyair bagus. Ia mengatakan gembira dengan dunia kepenyairan di Manado, yang menurutnya berkembang pesat.
Terakhir kami ngopi sambil diskusi di Mantos pada awal 2020 bersama Eric MF Dajoh, dan Jamal Rahman Iroth. Saat itu Radhar berpesan kepada Jamal, agar tak lama-lama dilingkaran politik. Ia khawatir Jamal akan kehilangan daya estetika dalam berpuisi.
Kemarin, Kamis, 22 April 2021, saya mendapat kabar duka tentang kepergiannya. Kendati banyak sahabat dulu pernah berkata “Radhar” sosok manusia yang memiliki 9 nyawa, setelah sebuah kecelakaan yang kemudian mewajibkan dia melakukan cuci darah lebih dari 20 tahun. Dan dalam 20 tahun lebih cuci darah itu yaitu 3 kali seminggu, Radhar tak pernah surut dari panggung perjuangannya membangun kesusasteraan Indonesia, bahkan dalam ikut mendorong arah perjalanan bangsa ini dengan cara-caranya yang bisa dikategori brilian dan cerdas.
Kemarin saat Eric MF Dajoh mengabari saya tetang kepulangan Radhar, sedih mendalam meliputi sanubari saya. Saya kehilangan guru, bahkan guru untuk bangsa ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Puisi menempatkan sahabatku ini di tempat terindah di sisiNya yang abadi.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post