Oleh: Iverdixon Tinungki
Tahun 2020 adalah tahun yang kelam bagi aktivitas berkesenian. Baik seni di panggung hiburan atau industry hiburan, pertunjukan teater dan festival paduan suara, serta pameran seni rupa. Tapi, sekaligus tahun yang memicu adrenalin kreativitas para seniman menuju 2021.
Panorama abnormal yang dihasilkan oleh terjangan pandemi Covid-19 telah mengganggu pemasukan finansial para seniman. Itu adalah fakta. Namun sekaligus, bisa menghasilkan ide-ide kreatif baru atas berubahnya perilaku manusia dengan alam.
Ini sebabnya, pertama-tama, saya ingin mengutip pandangan Budayawan Reiner Emyot Ointoe. Ia mengatakan, “ide-ide kreatif itu terkait dengan bagaimana respon manusia terhadap serangan mematikan bioorganisme yang hanya ukuran 0,5 mili meter “biologi-nano.” Karena respon positif ide kreatif itu pada peradaban di masa depan akan dipetik untuk menangani siklus dari kebudayaan destruktif pandemi apapun dan dari manapun”.
Dampak negatifnya, pandemi covid-19 bisa memusnahkan bioorganisme satu generasi. Itupun, kalau manusia tidak punya inisiatif untuk menahan laju penularan pandemi justru hanya dengan meminimalkan mobilisasi kita pada alam dan ekologi. Immobilitas manusia dibanding dengan pencegahan medik justru lebih memberi peluang besar bagi immortalitas (kekalnya) suatu peralihan satu generasi pada generasi berikut.
Namun, dampak negatif ini pun harus memberi peluang pada seniman manapun untuk berikhtiar secara positif dan kreatif. Contoh sudah dilakukan oleh beberapa sastrawan dengan menulis puisi pandemi. Juga perupa dengan beberapa lukisan. Pada musik dan teater tampak masih gamang. Teater sendiri pada tahun 2020 hanya diwarnai 3 lakon yang dipertunjukan, masing-masing 1 pertunjukan virtual oleh ISBIMA, dan 2 pertunjukan virtual oleh Teater North Celebes Creative Lab (NCCL).
Dalam perspektif Reiner, transformasi kesenian pada umumnya telah beralih pada kekuatan digitalisasi. Sains, teknologi dan industri sedang memasuki paska-popart yang didesak oleh era digitalisasi. Ringkasnya, pandemi covid-19 telah menjadi tantangan dan peluang besar bagi seniman manapun.
Amato Asagaf, begawan Pedepokan Puisi ini juga berpendapat, dari sisi kreasi, memang ada tantangan penggunaan media yang berbeda. Seperti dorongan untuk mengeksplorasi media audio-visual yang disediakan lewat internet.
“Tapi itu adalah persoalan yang berbeda dan tidak cukup banyak membantu bagi kelanjutan rancangan yang telah kami susun bersama, seperti lewat latihan-latihan bagi pementasan langsung. Lebih dari itu, eksplorasi media berbeda itu sendiri membutuhkan proses belajar dan penyesuaian yang membutuhkan waktu lama dan keseriusan tersendiri,” kata dia.
Kegiatan Seni Yang Bertumbangan
Sejak awal 2020, saat pandemi COVID-19 menerjang keras dan menjadi bencana besar di suluruh dunia, pasar karya seni rupa terpuruk. Tak ada lukisan laku. Ratusan perupa di Sulawesi Utara, baik pelukis atau pemantung yang terpaksa beralih konsentrasi mengerjakan karya seni by order seperti melukis mural pada dinding bangunan, mengerjakan taman, dan melukis potret pesanan.
Mereka mengaku, merambah pekerjaan serabutan tersebut karena tak ada pilihan lagi dalam mempertahankan hidup di era pandemi selain mengerjakan pekerjaan alternatif semacam itu.
Dampak pandemi khususnya untuk seni lukis Sulut paling besar adalah terbatasnya para perupa melakukan pameran offline di dalam atau luar ruangan. Akibatnya, karya mereka berjarak dengan para kolektor. Selain itu, persoalan tidak sekadar pada ruang pamer, tapi fakta dan kecenderungan orang saat ini lebih menahan diri membelanjakan uangnya ke karya seni. Orang lebih memprioritaskan pembelanjaan untuk survival, makanan dan obat-obatan.
“Keadaan kian pelik karena hotel-hotel membatasi diri untuk tidak lagi menerima pameran. Imbasnya peluang teman-teman untuk memasarkan karya secara konvensional jadi menurun,” ungkap Alfred Pontolondo, salah seorang pelukis terkemuka Sulut.
Memang ada peluang berpameran secara virtual yang semakin banyak dan terbuka. Para perupa bisa berpameran dengan berbagai platform baik di tingkat Nasional maupun galeri dunia. Masalahnya perupa di sini siap atau tidak. Siap berkompetisi dan membuka diri terhadap kecenderungan baru untuk akrab dengan teknologi atau tetap dengan pendekatan konvensional?
Dalam pameran virtual, sangat ditekankan kesiapan karya dari tiap perupa, dan kesediaan untuk lebih rajin mendapatkan peluang di dunia maya yang jumlahnya ratusan event berkualitas setiap bulannya. Persoalannya, sangat dibutuhkan portofolio dan kualitas karya yang baik. Peluang pasar karya pun jauh lebih luas dan lebih terbuka bagi teman-teman perupa Sulut.
Kalau perupa di Sulut tetap bertumpu pada pameran konvensional, sudah pasti akan tereksekusi oleh keadaan. Jadi butuh kesediaan untuk berubah dan memakai mindset “digital way”.
Sementara itu, dunia Paduan Suara Sulut ikut lumpuh, ribuan pelatih menganggur akibat terhentinya sejumlah festival internasional, nasional dan lokal. Pademi Covid-19 menjadikan tahun 2020 sebagai era yang pahit bagi dunia Paduan Suara di provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
Sulut adalah salah satu provinsi yang merupakan pusat perkembangan seni paduan suara di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, grup-grup Paduan Suara dari daerah ini tidak saja merajai berbagai ajang festival tingkat nasional tapi juga mampu bersaing pada festival tingkat dunia di berbagai Negara.
Dari data yang ada, Sulut mengoleksi sekitar 15 ribu tumpukan paduan suara yang dilatih ribuan tenaga pelatih. Selain itu, ada puluhan ajang festival tingkat lokal yang selalu berlangsung setiap tahunnya, yang membuat aktivitas paduan suara di daerah ini menjadi marak.
Dari sisi ekonomi, ada ribuan tenaga pelatih yang tersebar di berbagai daerah bergantung hidup dari cabang seni nyanyi ini. Itu sebabnya ketika sejak awal 2020, dunia dihadapkan dengan pandemi COVID-19 yang menerjang keras kehidupan masyarakat global tanpa pandang bulu, dunia paduan suara Sulut pun ikut terpukul.
“Sejak Covid-19 mewabah, semua kegiatan paduan suara praktis lumpuh total,” ujar Wenny F.O Pantouw. Pembina Paduan Suara Gema Sangkakala itu mengatakan sekitar 15 ribu tumpukan Paduan Suara di Sulut menghentikan aktivitasnya selama era pandemic dan ribuan pelatih terpaksa menganggur.
“Dari aspek ekonomi, keadaan ini sangat berpengaruh pada pendapatan para pelatih paduan suara. Sebab, banyak paduan suara terpaksa menunda dan menghentikan sementara kegiatan dan rencana mereka hingga waktu yang belum ditentukan karena kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk berlatih secara tatap muka,” kata sosok yang ajek menjadi juri festival paduan suara ini.
“Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk tetap mengaktifkan kegiatan paduan suara saat ini hanya dilakukan lewat paduan suara secara virtual,” kata dia. Tapi, sembungnya, inovasi paduan suara virtual sangat sulit dilakukan di Sulut akibat penguasaan tehnologi yang terbatas.
“Apalagi kalau melatih secara virtual akan sangat sulit mencapai hasil maksimal,” ungkap pelatih yang berkali-kali mengatar Paduan Suara Gema Sangkakala sebagai juara di ajang festival tingkat dunia tersebut.
Di lain sisi, seperti juga panggung industry hiburan, nasib panggung teater mengalami musim sepi yang panjang. Para seniman music, penyanyi, pekerja teater terperosok dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Terhentinya pengoperasian industry hiburan dan berhentinya sejumlah festival teater tahunan membuat para seniman di bidang tersebut harus mengais nafkah ke profesi yang lain.
Eric MF Dajoh, actor dan sutradara teater ini mengaku batal manggung “Nyanyian Angsa” karya Anthon Chekov, walau sudah merancangnya sejak medio 2019. “Saya pikir, dampak Covid-19 memang sangat menyulitkan kita, apalagi masa pandeminya tidak dapat dipastikan dengan tepat masa berakhirnya. Tentu ini akan menggangu ekonomi pribadi kita,” ungkap dia.
Bercermin pada masa pandemi 2020 yang membuat dunia kesenian Sulut terseok-seok, bisa jadi masa itu adalah sebuah waktu jedah dimana kita boleh melakukan kritik-diri, mengenali berbagai persoalan mendasar dunia kesenian kita, dunia-dalam-diri dan dunia-luar-diri kita dengan objektif. Moga di 2021 kelak, kita bisa menawarkan visi peradaban yang baru dengan sudut pandang kemanusiaan yang memadai sesuai era kekinian. (*)
Discussion about this post