“Pangan tak pernah lepas dari manusia, alam dan juga pencipta.”
Hari itu Wiwin Indrianti kembali mengikuti rangkaian Slametan Kampung Amin Pikin di Desa Cungking, Banyuwangi. Ini adalah salah satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat Using setiap bulan haji di minggu pertama setelah hari raya Idul Adha untuk selametan bersih desa.
Hal ini yang membuat perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara PD Using ini sangat tertarik mempelajari jenis-jenis panganan yang digunakan saat ritual adat masyarakat Using. Ada tanggung jawab yang dirasakan Wiwin untuk mencari tahu dan memberikan edukasi terkait budaya, adat, dan tradisi masyarakat Using. Terutama hal-hal yang berhubung dengan panganan.
“Saya seperti punya kontrak dengan diri sendiri bahwa saya akan melestarikan, mendokumentasikan adat tradisi Using yang bagian dari diri saya sendiri,” kata Wiwin.
Ternyata ragam jenis panganan ini tidak hanya sekadar pelengkap ritual. Ada makna yang mengikuti penggunaan ragam panganan ini. Dalam bukunya yang berjudul Olah Rasa Ujung Timur Jawa, Wiwin menuliskan bahwa makanan-makanan ini memainkan peran penting dalam religi, ritual, dan kepercayaan masyarakat Banyuwangi sebagai Using. “Tidak sekadar untuk nutrisi tubuh, tapi juga bentuk penghormatan pada leluhur,” ungkapnya.
Kebiasaan makan bersama di akhir ritual yang kerap dilakukan juga menjadi sarana dalam menjaga hubungan antara manusia melalui panganan. Ini juga secara tidak langsung menunjukkan simbol hubungan lekat antara manusia dan tanah sebagai ruang hidup. “Selalu diakhiri dengan acara makan bersama tiap ritual, sesederhana apapun itu,” terangnya.
Makanan Diganti, Makna Tetap Sama
Ada hal unik dan khusus yang kerap dilakukan oleh Wiwin tiap mengikuti ritual adat. Melihat ragam macam panganan di nampan-nampan sesaji yang digunakan saat ritual. Suatu waktu ia menemukan bahwa satu jenis pangan tidak terlihat. Kali lain, jenis pangan lainnya sudah tergantikan. “Saya selalu catat jenis makanan apa saja yang ada dan tidak, jadinya sadar dan ingat,” kenangnya.
Misalnya, dalam Slametan Kampung Amin Pikin di Cungking yang dilakukan setiap minggu pertama setelah Idul Adha. Ada beberapa jenis makanan di dalam tumpeng serakat yang terpaksa diganti. Macam-macam alasannya, seperti kecocokan tanah, musim tanam dan panen hingga kondisi kesuburannya saat itu. “Seperti labu siam putih jadi hijau. Terong putih jadi hijau. Ini bisa jadi pengganti yang penting warnanya tidak begitu jauh berbeda,” tambahnya.
Dari cerita Wiwin dapat diketahui bahwa tiap panganan yang digunakan saat ritual disiapkan secara khusus oleh beberapa orang Mbah (nenek). Kelompok pemasak ini yang selalu memasak kebutuhan pangan ritual di desa.
Selain karena kondisi alam, beberapa hal yang disampaikan Wiwin juga menjadi penyebab pergantian bahan-bahan panganan tersebut juga ada beragam. Seperti perubahan kondisi lahan yang berubah mempersempit area tanam sehingga harus mencari beberapa jenis tanaman jauh luar desa. Langkanya keberadaan jenis tanaman dan makanan local juga menjadi alas an selanjutnya.
Meski begitu, menurut Dosen di Universitas Negri PGRI Banyuwangi ini, sekalipun jenis panganan itu berubah, tidak ada makna di dalam ritual yang berubah. Sekalipun dalam upaya mengumpulkan tanaman dan makanan yang dibutuhkan sedikit lebih sulit. “Semoga bahan-bahan itu bisa lebih mudah ditemukan seperti dulu,” harapnya.
Yang terpenting bagi Wiwin tetaplah panganan dalam ritual ini menjadi wadah untuk menunjukkan penghormatan, menjaga relasi manusia dengan Tuhan, dan sesama manusia.
Edukasi untuk Pelestarian
Menerbitkan buku yang berisi informasi terkait jenis-jenis makanan yang digunakan saat ritual masyarakat Using adalah cara yang Wiwin pilih. Ia ingin agar informasi terkait panganan saat ritual ini tetap dapat diserap dengan baik oleh kalangan muda. “Jadi, makna-maknanya tidak putus di generasi yang lebih tua. Tetap dapat diturunkan,” ceritanya.
Seperti Sego Golong yang menyimbolkan sembilan lubang badan manusia atau hawa nafsu sehingga harus dijaga agar hidup lebih tentram. Bisa juga disebut jalan pengabdian kepada Sang Maha Pencipta untuk keselamatan hidup.
Atau ritual Tumpeng Sewu dalam prosesi ritual adat bersih desa. Tiga jenis tumpang disediakan di awal untuk masing-masing jenis ritual dan di akhir tiap keluarga menyediakan Tumpeng Pecel Pitik.
Oleh karena itu bagi Wiwin penting untuk masyarakat Using mendapat edukasi terkait apa itu sebenarnya Using, ritualnya apa saja, termasuk panganan dan makna apa saja yang ada di tiap ritual. “Saat pertanyaan begitu datang dari orang Using sendiri, ini sangat memprihatinkan,” tambahnya.
Karena itu jugalah Venedio Nala Ardisa meletakkan ketertarikannya pada budaya Using. Sebagai pemuda Using, ia aktif di Komunitas Milenial Mocoan Lontar Yusup dan Barisan Pemuda Adat Nusantara. Sejak kecil ia juga sudah mengikuti banyak ritual masyarakat di desanya. Ia juga kerap memerhatikan jenis makanan apa saja yang digunakan saat ritual. Kadang ia juga menyadari bahwa beberapa jenis panganan tidak ada atau digantikan dengan makanan lain. “Seperti makan nasi goreng tapi ndak pake kerupuk,” katanya sambil tertawa.
Lewat memperhatikan hal tersebut Dio menjadi tahu jenis-jenis bahan pangannya apa saja yang ada dan berubah dalam makanan ritual, setelah bergabung dengan paguyuban dan mengikuti pelatihan yang diinisiasi Wiwin soal olah rasa makanan ritual ia jadi tahu lebih dalam lagi.
Romo Catur dan Usaha Mempertahankan Makanan Lokal
Tiburtius Catur Wibawa, atau Romo Catur, begitu ia dikenal oleh masyarakat luas. Ia yang menjabat sebagai Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Malang ini juga memiliki caranya sendiri dalam menjaga eksistensi panganan lokal. Griya Ekologi Kelir (GEK) di Banyuwangi awalnya digunakan untuk tempat SMA Katolik Hikmah Mandala namun kini digunakan juga tempat kunjungan wisatawan. Pemilihan beberapa rumah adat Using sebagai bangunan rumah juga sebagai symbol untuk melestarikan budaya.
“Dipilih sekaligus untuk melestarikan budaya nenek moyang kita untuk dirawat, dijaga, dan dilestarikan,” jelas Romo Catur. Untuk menu makanan yang disajikan di GEK, Romo Catur bercerita bahwa mereka menyajikan makanan lokal Banyuwangi. Jenisnya beragam, mulai dari kue cucur, lapet ketan dibungkus daun kelapa, awuk atau iwek-iwek. Tujuannya untuk pengenalan tradisi dan kebudayaan di sana.
“Yang lama mereka tidak menikmati makanan tersebut mereka bisa menikmati, untuk tetap juga menjaga supaya lestari,” tutur Romo Catur.
Selain makanan ringan, tersaji juga makanan berat tradisional seperti Pecel Pitik. Pecel Pitik adalah makanan khas masyarakat Using berupa ayam panggang bumbu kepala dicampur rempah-rempah dan ditambah sedikit air kelapa atau nasi tempong.
Romo Catur juga bercerita bahwa proses pembuatan makanan ini juga secara tidak langsung membentuk interaksi yang menggiring pada tenggang rasa antar umat beragama. Pekerja yang rata-rata adalah Muslim tetap menjalin hubungan baik dengan jemaat gereja Katolik itu.
“Kalau kekurangan tenaga tambahan maka melibatkan warga sekitar juga,” ujarnya.
Wiwin sepakat bahwa hubungan antarmanusia yang terjaga itu juga dapat dilakukan dengan media makanan. Tumpukan jenis makanan yang kerap digunakan saat tradisi. Rasa syuku kepada Pencipta dan kebersamaan antarsesama.
“Sekalipun banyak bahan makanan yang sulit ditemukan lagi, ini tetap dapat menunjukkan betapa berdayanya masyarakat adat dalam ketahanan pangan,” tutupnya. (***)
Penulis : Wahyu Alfy
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Discussion about this post