Karya: Iverdixon Tinungki
Kuberikan diriku pada alam
Pada gelombang besar menebas
Pada keindahan, pada kecantikan
yang tak punya ucapan penghinaan
Pada kekasihku yang mengisap seluruh tubuhku ke dalam ilusinya
Dan cinta penuh api pada sepasang air matanya
Dengan begitu aku merasa tak sepenuhnya sendirian
Siapa kekasihku pabila aku terus ingin menemukannya
Kebenaran ini sesuatu tak tertahankan
Ucapan yang terlalu suram
Tak ada manusia masa kini tak dikelilingi gelombang besar
Tapi yang kuhadapi ibu dari gelombang itu
Bukankah ungkapam ekspresi tertinggi adalah diam
Seperti itulah aku ingin menemukan kekasihku
Apakah aku cukup kejam untuk diriku
Ketika aku ingin bercinta dengannya?
Di mana engkau Alice
Di mana engkau Alice
Aku Lazarus. Cintaku tak tercatat dalam kitab
Hanya pada puisi aku berharap
Seperti pisau kuhujam ke hulu dada
Luka adalah kata lain dari nyanyianku
Di mana engkau wahai petualangan
Pada ribuan buku
aku merasa tua
Seperti bercak air memercik kaca jendela
Sungai dangkal dengan dasar bernanah
Aku meringkuk menghitung usia
Ada udara mencari celah
Sementara di atas
Di langit berkilau
Di antara sekelompok burung bernyanyi
kehendak bebas terbang
kehendak bebas tetaplah elang
Membagi cengkram ke atas terik
Menyalakan api pada logam mati
Agar kata, agar air mata ditumbuhi nyawa
Dan aku bangkit
Ketika cinta mendefinisikan diri
Tak ada bangku cadangan untuk siapa pun
Namun pabila engkau menghaluskan ciuman ini, Alice
Aku merasa tertikam
Seperti sebuah jalan tergenang
Ketika aku ingin melitas menuju pesta
Seperti sebuah teater sepi diakhir pentas
Kostum, tata rias dan ekspresi paling membara sekali pun
Ditanggalkan tanpa ampun
Dan lambaian tanganmu menamparku
Dahandahan berkibar hanya sebentar
Lanjur kucukupkan
Karena detik tak menunggu
aku mengulang kisah di Salak:
–Bahwa air mata adalah katakata
tak bisa kuucapkan pada matamu yang berias maskara
dalam dunia membentang seperti bangku
banyak orang ingin menjadi tunggal
semacam Kain tak menyesal ia terusir
namun lewat sajak ini, aku ingin berbagi sebelah kaki
bukankah lebih baik kita punya waktu duduk
menikmati kesekejapan melaju seakan anak panah
tak usah kau tulis, Alice
karena sejarah tak pernah jujur
selalu berpihak pada warna kulit
Baca juga: Tiga Khotbah Lazarus Dalam Sajak-sajak Iverdixon Tinungki
kita samasama pernah berlayar
setidaknya di laut yang dulu membaptis kening kita
dan mengapungkan janin ke atas geladak
sebagai manusia tak sekadar torso
Karena ada yang terpancar dari jiwa
Alam melihat itu pada diri kita
saat kita mencintainya
apalagi ingin menjadi muridnya
Dan saat engkau memijaki laut
larungkan jiwamu ke ombaknya
karena seluruh eloknya akan mengajarimu
bernyanyi
atau menemukan dirimu
yang sejati
bahkan sebelum buku pertama kau baca
dan sebelum kritikus dilahirkan
Namun yang tersulit:
—Mengenali tanah airmu yang sejati!
Tak banyak yang berhasil
Dan tak sedikit tersingkir
Adakah orang hidup untuk menjelaskan itu?
Guru, politisi, bahkan pemimpin negara
Menganggap manusia adalah makhluk berhutang
Dan setiap orang ditagih sebuah kehormatan
Kita kemudian akan menjadi seseorang tak mudah diingat
Selain kita harus menjadi penjahat
Pabila engkau menjumpai seorang kelaparan, lalu,
mengabaikannya begitu saja
—begitulah cara kita melupakan Yesus.
Bahkan saat engkau mengumpatinya meskipun dalam hati
—Engkau telah berada satu langkah di depan pintu ketenaran Judas
Adakah seorang politisi tahu dimana makam Chairil Anwar?
Jawabnya: segala yang baik selalu mati di pintu pertama
aku menanti engkau, Alice
aku menanti engkau menyinggahi simpang empat,
jalan tikung dan hamparan portulaca
Menyinggahi harihari berseri
dan halaman tempat puluhan tahun aku menyulam
Kenangankenangan menakjubkan
Dari masa lalu tak boleh putus
Termasuk hal nampak sederhana
Kecupan istri dan anakanak
Juga kejenakaan cucu
Membuat harihariku bernyanyi
Mengarungi keharuman amsal
Bahwa rentah bukan tempat ingatan lusuh
Bisa jadi itu rumah indah
Dibangun dari batubatu keras
Di atas metafora cadas ratusan pulau
Tempat manusia menemukan kemanusiaan
Dan kefanaannya
Di rumah di kaki bukit itu
Ciuman adalah puisi
Senantiasa berderit dan kadang meraung
Atapnya yang tua melindungiku
Dari intaian langit tinggi tak bisa didaki sehari
Bahkan sepajang hidup
Entahlah bila setelah mati
Namun dari bukit aku melihat laut
Burungburung wallet beterbangan
Perahuperahu mengulang kesibukannya
Sabanhari hingga tahuntahun berlalu
Sungguh suatu tempat indah untuk menanti
Aku menanti engkau
Karena menanti adalah ketekunan
Hingga burungburung bisa berkatakata
Mengucapkan kebijaksaan lebih tinggi
dari intuisi manusia
Sebagaimana engkau mendandani sejarah
Perjalanan flora menemukan ujungujung dunia
Para penakluk
Gemerincing soraksorai dan tangisan
Bangkai dan mereka yang menarinari
Seakan yang baru harus tumbuh di atas retuhan yang lama
Sebagaimana ayahku berkisah
peperangannya dengan bangga
Namun kutulis sebagai tulah
“Karena kadang aku mengutuk peperangan”
Tapi kadang aku menyepakatinya
Karena kehormatan hanya untuk yang pantas
Tak jauh, ada veldbox dari era colonial
Begitu sejarah membentuk menusia
Dalam simbolsimbolnya ajaib
Agar amarah mememiliki api
Kebencian memiliki tepi
Sambil mendengungkan lagu kebangsaan,
Memacak bendera pusaka di sepanjang jalan kegembiraan
di sini, aku dan Ado menjalani
tahuntahun penuh rahmat
tanahtanah perkembunan
lambat laun menjadi kota
sumursumur pompa
bentangan kabel dan bising kendaraan
teriakan orang mabuk
lonceng kematian
semuanya mampir di sungai waktu
Dalam hirukpikuk semacam itu
Ado memelukku sebagai kekasihnya
Dan aku terbelengu airmatanya
Ditenggelami musik dentingan nadi
Lalu anakanak lahir
Dan beberapa cucu hadir
Di tengah mezbah nan ramai
Dan puisi tumpah ruah
Cinta membelit pelukan
Pucukpucuk gairah
Panas elnino dan debudebunya berhamburan
Sebagimana kekasih dalam kemanusiaan
Ia melunaskan keheningan
mengikhlaskan tubuh halusnya kupeluk
Di bawah pohon yang daundaunnya tahu bernyanyi
aku menanti engkau kekasih suci
Dan pabila engkau datang
Maukah engkau duduk bersejenak
menyaksikan tahuntahun kau izinkan ini
Karena aku tak mungkin lari darimu
Selain bersamamu mengubah kemurungan
Menjadi bab baru harus kutulis dengan penuh semangat
Sebagai nafas perjuangan
Dalam bilangan talenta akan kau hitung dan tagih
Discussion about this post