Manado, Barta1.com – Banyak hal perlu belajar dari keteguhan dan optimisme petani dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi terkait perjuangan menyekolahkan anak-anaknya.
Melky Dewangga (53) seorang petani kelapa serabutan asal Tinoor, Minahasam mengisahkan perjalanan hidupnya. Setiap hari ia pergi ke kebun jam 8 pagi hingga jam 4 sore.
“Berkebun itu mudah tinggal keinginan dan niat harus ditingkatkan. Di tengah pandemi Covid-19 selain bekerja mengarap kelapa, saya membuat kebun untuk kebutuhan dapur dengan menanam rica, sayur bayam, poki-poki, pepaya, kacang panjang, bawang merah dan ubi-ubian,” katanya sembari memperlihatkan kebun milik orang lain tapi digarapnya di Kamanta Lingkungan 1, Minahasa, Sabtu (27/6/2020).
Kebutuhan dapur yang ditanam ini jadi ‘proyek’ jangka panjang karena waktu panen sekitar 45 hari. Dan puji syukur beberapa hari ini kebutuhan dapur keluarga tercukupi, tinggal mengeluarkan uang membeli ikan.
Melky menyebutkan, selalu menyisipkan pendapatan dari hasil jualan kelapa untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Diketahui dari perkawinannya dengan Rahima Lawe (46), mereka memiliki tiga orang anak, Feybi Dewangga, Marianti Dewangga dan Putra Dewangga. “Anak tertua sudah selesai kuliah dan saat ini sudah bekerja. Kemudian anak kedua dan ketiga masih sekolah,” katanya.
Dirinya mengaku bekerja sebagai petani kelapa sejak umur 13 tahun. “Puji Tuhan dengan penghasilan tersebut bisa biayai perkuliahan anak. Anak tertua sudah selesai dan tinggal menanggung anak kedua yang saat ini sedang kuliah. Pendapatan dari kelapa dalam seminggu paling tinggi Rp 1 juta. Akan tetapi ada yang di bawah itu, tergantung kelapa yang saya bawa,” tuturnya.
Penjualan kelapa bukan berupa kopra, tapi kelapa yang sudah dikupas kemudian dijual dan dihitung per kilo yang dihargai Rp 1.600. “Kebun kelapa yang saya garap ini milik orang lain. Begitu pun kebun yang ditanami untuk kebutuhan dapur, lahannya milik orang lain,” ujar Melky lagi.
Pokoknya dikerjakan saja apa yang bisa dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan berjuang menyekolahkan anak. “Cukup orang tua bekerja berat atau kasar seperti ini. Jangan anak. Dan saya akan terus bekerja agar anak bisa selesaikan studinya. Dan harapan orang tua agar anak bisa mendapatkan pekerjaan,” kata pria kelahiran Tinoor, 28 Agustus 1967 ini.
Marianti Dewangga (19), anak kedua Melky Dewangga, hari itu terlihat setia menemani berkebun. Baik saat menaiki kelapa, menanam hingga tahapan memanen.
“Kalau saya punya waktu selalu membantu papa di kebun,” ujar Marianti, mahasiswa Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Manado.
Papa kata dia, merupakan sosok pekerja keras. “Demi mencari uang kadang beliau lupa makan. Sebagai anak sangat berterima kasih dan bangga punya papa pekerja keras yang bisa memotivasi. Apa yang papa buat hari ini, ketika Tuhan memberikan kesuksesan pada kita, pasti papa dan mama kita utamakan,” ujar Marianti.
Peliput : Meikel Pontolondo
Discussion about this post