Bacaan menggelitik membuka pagi hari ini adalah metafora tikus ala Ances, yang mencoba mendeskripsikan secara metaforis kehidupan masyarakat Kota Manado saat ini, selain harga babi yang dijual dengan murah hati.
Ances, seorang aktivis berdarah Sangihe. Entah bagaimana ia sebisa-bisanya bernama Frans Eka Kurniawan. Selain frasa Frans yang ke barat-baratan, nama akhir Kurniawan jelas-jelas bukan diksi dari Nusa Utara. Namun bukan hal itu yang ingin saya tuliskan. Sumpah! Saya lebih tertarik dengan kelakarnya yang jenius di tembok facebooknya.
Bagi kalangan anak muda Manado yang militan, –bukan kaum milenial cengengesan penggila drakor dan sisiran rambut serta gestik mimic ala bintang Korea—Ances dipandang sebagai ideolog sekaligus agitator. Ia pengajar dan pembakar semangat kaum militan untuk melihat kebenaran yang dikesampingkan atau yang tersumpal.
Dan baiklah saya mencomot penuh tulisan yang baginya barangkali hanya sekadar remeh temenya di tengah nalar sungsang dalam deraan gurita Covid-19 yang kini menggapai-gapai tentakelnya ke mana-mana.
Gagal Menanusiakan Manusia
Panas terik tak seperti biasanya. Langit terlihat cerah tanpa polusi yang biasanya menutupi. Hidup terasa berhenti. Ketika menengok ke jalan, seperti ada kedamaian walaupun perlahan-lahan ada titik-titik didih di beberapa sudut.
Hampir 2 bulan dibuat gempar oleh hadirnya wabah Corona virus (Covid-19). Rakyat dibuat (atau dipaksa) bersembunyi dalam rumah. Yang tak ada rumah pun dibuat getir sembunyi di kolong-kolong jembatan, di balik kardus-kardus bekas barang-barang elektronik, mungkin di gua-gua atau d ilubang tanah secara terburu-buru dihampiri kelaparan.
Himbauan-himbauan makin gencar tak berbanding lurus dengan apa yang bisa dikunyah oleh setiap mulut yang terperangkap di sarang masing-masing. Himbauan-himbauan tak berbanding lurus dengan susu yang harus diminum oleh balita. Himbauan-himbauan akhirnya mirip doa-doa yang tak mendoakan hilangnya sepiring nasi maupun segelas susu buat generasi yang akan datang.
Kemudian, dalam perangkap ketakutan dan kecemasan yang terkurung dalam rumah, mulailah kita tak seperti manusia lagi. Kita dalam kurungan. Kita dipaksa untuk sadar hidup dalam kurungan.
Himbauan-himbauan terus-menerus menjaga kita, bahkan ketika hendak meratapi toilet di mana pencernaan kita sudah tidak biasa lagi menjadikan tempat merenung karena tidak ada lagi yang bisa dibuang dalam perut. Kosong bak kaleng ditabuh tak berisi.
Suatu ketika, dalam kurungan kesadaran, terdengar kabar tentang mereka yang bebas berkeliaran keluar bahkan jauh keluar negeri. Mereka tentu kebal himbauan-himbauan, tidak seperti yg berada dalam kurungan kesadaran. Mereka seperti punya “imun” sendiri yang membuat kebal dari berbagai himbauan atau aturan.
Mereka jelas orang-orang terpuji, berpangkat, bahkan berhati mulia berdasarkan foto-foto di media sosial yang mereka miliki.
Dalam perangkap kurungan yang diciptakan kesadaran, berbagai tafsir berterbangan di dunia Maya, di laman-laman medsos, betapa kesalnya kesadaran mengurung diri menjadi sia-sia belaka.
Sia-sialah generasi yang akan datang mengurangi asupan gizi dalam kurungan kesadaran. Hanya karena mereka yang merasa “imunitas”-nya sungguh kebal dari himbauan.
Dalam kurungan kesadaran, di rumah maupun di kolong jembatan, kesal dan marah tanpa bisa menyalurkannya. Satu-satunya cara bisa melintasi batas-batas nyata adalah dunia Maya, dunia media sosial masing-masing, tempat berjam-jam mengintip dunia nyata yang sama sekali kadang tidak nyata.
Sampai di sana tulisan Ances. Tulisan yang ditutupnya dengan keterangan bernada celoteh karena ia terkenang kekasihnya. Tapi, sepanjang hidup saya berteman dengan Aces, saya belum pernah tahu apakah Aces itu punya kekasih atau tidak. Nyaris tak pernah saya liat ia bersisihan mesra dengan gadis. Ances bagi saya adalah paduan bayang Kahlil Gibran yang kesepian dan Che Guevara yang penuh ambisi perang.
Dan saya tak ingin menambahkan titik koma untuk tulisannya itu, karena sudah pasti saya tak lebih tajam dan tak lebih tengik dari dia dalam melihat persoalan kemanusian yang terasa terabaikan di tengah kota kita, Kota Manado. Dalam kata lain, saya tak perlu lagi mendramatisir apa yang sudah nyata digambar Ances dengan jenius.
Mungkin seperti juga Ances, saya merasa beruntung masih punya stok kopi dan gula di rumah sebagai penghibur saat pagi atau petang, Sebab rokok telah berganti lintingan tembakau murah. Tapi selama tiga hari, keluarga saya telah memulai memakan sayuran dan umbi-umbi di kebun belakang rumah kami, sebagai bagian dari strategi penghematan di tengah kesulitan.
Dan di tengah kesulitan hidup masyarakat Kota Manado hari ini, pagi betul saya dikagetkan beberapa tetangga yang mampir menawarkan daging babi dengan harga super murah. Beberapa tetangga memotong ternak mereka untuk ditawarkan kepada tetanggga-tetangganya. Untuk lapis Rp. 40. 000 per kilo, sementara tulang Rp. 30. 000 per kilo. Harga ini tentu separoh dari harga daging babi yang di jual di swalayan-swalayan.
“Kita semua dalam kesulitan, jadi saya menjual daging ini dengan harga semurah-murah. Apalagi di tengah suasana jelang perayaan Jumat Agung,” ujar John Ambon, dengan ekspresi wajah penuh kemurahan hati.
Dan saya dengan berat hati saya tak bisa membeli sekilo atau dua kilo, karena tak ada lagi uang yang bisa saya peruntukan untuk itu.
Anak-anak saya memandang dengan wajah aneh ke arah saya. Setelah John Ambon pergi, saya berbisik, “kan papa masih punya beberapa ekor ayam”. Mereka tersenyum. Dan saya menangkap kesan, dunia dan kehidupan masih terus berlangsung di mata mereka. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post