(Di pekarangan rumah kontrakan Leamdale. Bermula dari suara kokok ayam, disambut teriakan histeris seorang lelaki yang mengidap penyakit jiwa. Lalu ditimpa suara nyanyian Leamdale, mencoba menenangkan hati suaminya.
Perempuan itu menyakikan lagu “Nyiur Hijau”, liriknya sudah berganti menjadi “Jagung Hijau”. Mendengar suara nyanyian istrinya, suaminya berangsur menjadi tenang. Tak berapa lama, Leamdaleyang berpakaian layaknya seorang lelaki muncul ke pekarangan sambil membawa setumpuk koran harian.
Meletakan dan mengaturnya di atas meja jualan korannya, ia ngomel sambil mencopot semua atributnya sebagai lelaki, termasuk kumis yang ditempal persis diatas bibirnya.)
LEAMDALE: Sial! Selalu seperti ini. Topi, kumis, kaket. Kostum-kostum penyamaran yang membuat aku jengkel. Benar-benar sakit jiwa yang membuat aku ikut jadi gila. “Yang sabarlah Leamdale! ”Begitu selalu bujuk mertuaku. Tahun pertama aku masih bisa kuat. Karena aku benar-benar mencitai suamiku. Tapi tahun kedua, tahun ketiga, siapa yang bisa bertahan mendampingi suami yang gila. Menceraikannya? Itu tak kulakukan! Menceraikan suami saat ia dalam keadaan sakit sangat tak manusiawi. Aku pasti dianggap perempuan jahat yang tidak punya hati nurani. Dan Tuhan pasti marah karenanya.
(Menarik nafas lalu dihempaskan sekenannya. Sebuah gelang karet dipakainya mengikat rambut. Ada bunyi serine di kejauhan. Leamdale menengok ke arah jalan lalu mendesah.)
LEAMDALE: Sejak suamiku merasa menjadi jangung, sejak itu pula ia takut kepada ayam. Bayangkan! Lelaki kekar dan tinggi, ya meski agak kampungan sih, namun ia cukup tampan dan macho, kok takut sama ayam. Gila ndak? Ia tak berani lagi pulang ke kampung. Ia tak lagi mau menginjak rumah kami. Ia tak mau bertandang ke tempat-tempat dimana ternak ayam dibiarkan berkeliaran, coba! Bahkan, sekadar membayangkan paruh ayam, ia langsung histeris. Ia selalu merasa sebagai jangung yang akan ditelan mentah-mentah oleh paruh yang sebetulnya kecil itu. Karena mengidap penyakit aneh itu, maka paramedis menyatakan suamiku sudah gila.Dan gilanya lagi, ia menganggap semua perempuan itu ayam. Ayam? Kok bisa begitu. Aku sampai pusing memikirkan penyebab penyakit suamiku. Makanya ia takut kepada semua perempuan. Setiap kali ia melihat perempuan, ia langsung gemetaran, ketakutan, dan berteriak-teriak histeris. “Jangan…jangan… jangan patuk aku…” begitu jeritnya. Makanya, setiap kali aku harus mengurus dia, mendekati dia, tidur dengan dia, aku harus berdandan seperti lelaki. Gila ndak! “Kamu harus tabah sebagai istri. Mengurus suami yang sakit akan menjadi berkah bagi dirimu. Surga cukup punya mata melihat pengabdianmu,” bujuk mertua perempuanku lagi.
(Leamdale duduk dengan wajah yang lemas dan kusut pada sebuah kursi.)
LEAMDALE: Tapi sampai kapan aku bisa tahan seperti ini. Aku selalu memohon kepada Tuhan agar menjaga hatiku. Meningkatkan kesabaranku. Aku berdoa setiap malam untuk memohon ampunan atas segala dosa dan lalai kami. Ada suatu ketika, aku membeli gado-gado kesukaannya. Karena ingin segera memberikan makanan kesukaannya itu padanya, aku lupa mengenakan kostum penyamaran, langsung masuk ke kamarnya. Tiba-tiba ia berteriak histeris dan menendang saya. Ia berteriak-teriak mengusir saya, seakan-akan saya ini seekor ayam yang ia musuhi.
“jangan patuk saya… jangan patuk saya!” begitu lolongnya. Saking keras suara lolongan itu, para tetangga pada berdatangan menengok.Ini benar-benar penyakit paling aneh sejagat.
Dokter-dokter di rumah sakit jiwa kelabakan menangani suamiku. Apalagi banyak sekali dokter perempuan. Setiap kali dokter mencoba mendekati dia, suamiku langsung histeris, dia pikir dokter perempuan itu punya paruh dan siap mematuk dia. Gila ndak? Kontan dia tidak bisa tinggal nginap di rumah sakit jiwa untuk perawatan. Mau perawatan gimana dokter dan perawatnya melulu perempuan. Lucunya, kebanyakan pasien di rumah sakit jiwa itu lelaki. Mengapa lelaki masa kini rawan gila ya? Ngontrak di rumah gubuk inilah akhirnya jadi pilihan, biar masih dekat dengan rumah sakit jiwa. Aku tak terlalu repot mengantar suamiku berobat atau membutuhkan obat.Capek sebenarnya. Tapi mau apalagi, aku istrinya, ya tentu aku yang harus mengurusnya.
(Leamdale meraih koran, sejenak membaca beberapa judulnya. Sesaat kemudian ia merasa jengkel, lalu meletakkan kembali Koran itu pada susunan dagangannya dengan kesal.)
LEAMDALE: Beritanya melulu politik, criminal, korupsi dan dinasti. Apa sudah tidak ada berita lain ya di negeri ini. Mana orang mau beli koran kalau isinya itu-itu melulu. Apa sudah tak ada berita lain yang bisa menginspirasi kehidupan, memberi kekuatan, membangun ketenangan dan harapan.
(Meraih gelas kopinya yang sudah agak dingin kemudian menyesapnya.)
LEAMDALE: Harusnya suamiku cepat sadar dan sembuh. Ia harus tahu, belakangan ini sudah sangat susah mencari hidup. Tinggal berdagang Koran satu-satunya yang bisa kulakukan. Mau kerja apalagi di pinggiran kota semacam ini. Tapi kalau berita Koran melulu kayak itu: politik, criminal, korupsi, dinasti, lama-lama tak ada lagi yang mau beli. Lalu aku harus bayar kontrakan rumah dengan apa, mau beli makan dengan apa, mau beli obat dengan apa.
(Menarik nafas panjang lalu menghempaskannya dengan lunglai. Tiba-tiba terdengar suara kokok ayam, lalu teriakan histeris seorang lelaki. Leamdale pun berpaling arah rumah, lalu menyanyi menenangkan suaminya: Jangung Hijau, di tepi pantai, siar siur daunnya melambai. Jagung mengembang, kuning merayu, burung-burung kutilang bernyanyi. Tanah airku, tumpah darahku, tanah yang kaya, aman makmur.) (Suara teriakan suaminya berangsur surut)
LEAMDALE: Sebenarnya aku merasa tidak enak sama pencipta lagu itu. Aku merasa bersalah telah mengubah liriknya. Aku tahu ini kejahatan. Tapi bagaimana lagi, lagu itu satu-satunya yang bisa membuat suamiku redah dari histerisnya. Moga aku dimaafkan oleh si pencipta.
(Terdengar bunyi serine polisi yang melintas di jalan yang tak begitu jauh.)
LEAMDALE: Hu…serine lagi. ! Di kota besar seperti ini selalu terdengar bunyi serine. Hampir setiap jam ada serine. Itu sebabnya kadang aku bersyukur suamiku hanya merasa sebagai jangung. Andaikata ia merasa menjadi rakyat, ia pasti takut pada serine. Bayangkan serine sebanyak itu, sebanyak itu pula suamiku bakl mengalami hysteria. Ia bakal takut ke mana-mana. Karena dimana-mana pasti ada aparat melintas dengan serine. (berpikir sejenak) Kenapa ya, jangankan di kota, di kampung kami juga, aparat itu begitu menakutkan. Mereka bisa jadi sangat kejam kepada rakyat.
Andai saja suamiku merasa sebagai anggota dewan, bukan jagung. Pasti dan pasti ia selalu bepergian dengan pakaian necis, dasi, bertukar stelan, gonta-ganti kendaraan. Ia akan sangat sibuk ngurus banyak hal, bicara banyak hal menyangkut visi politiknya, tentang masa depan bangsa, nasib kaum bawah yang harus dipihakinya. Ia akan begitu kritis memikirkan banyak hal yang berhubungan dengan kemaslahatan hidup banyak orang. Iya kan! “Aku tidak suka mengidap penyakit itu,” bantah suamiku saat ia agak sadar. “Aku tidak suka jadi pembohong ulung. Lihat saja, sudah ratusan kali para anggota dewan itu bertandang ke kampung kita, apalagi pada musim pemilu. Banyak janji mereka tebarkan, namun takada satu pun dari janji-janji itu terealisasikan. Aku tak mau jadi pembohong ulung!,” teriaknya padaku.Aku kaget mendengar argumentasinya yang cukup akurat itu. Dipikir-pikir, benar-benar mengerikan juga bila suamiku ketularan penyakit itu.
(Tiba-tiba terdengar suara kokok ayam, lalu teriakan histeris suaminya. Leamdela tampak agak jengkel. )
LEAMDALE: Woi diamlah. Ayam itu jauh di sana. Dia tak akan mematuk kau. Diamlah! (Teriakan suami belum juga surut. Leamdela mendekati pintu rumah mereka, lalu menyanyi “Jagung Hijau” dengan suara keras, mengalahkan suara teriakan suaminya.Suara teriakan surut. Leamdale kembali ke tempat dagangannya.)
LEAMDALE: Benar-benar gila, setiap hari seperti ini. Dari situ berjalan ke sini, dari sini berjalan ke situ hanya untuk menyanyikan lagu “jagung hijau”. (Marah)“Kukuruyuk! Kenapa sih ayam selalu berkokok?”(disambutteriakan histeris suaminyalagi.) “kukuruyuk…kukuruyuk…kukuruyuk…”(timpal Leamdale marah.)
(Teriakan histeris suaminya kian menjadi-jadi.Leamdale terpaksa menyanyikan lagi Jagung Hijau. Teriakan suaminya surut.)
LEAMDALE: Ingatlah kalian para petani, jangan sekali-kali menjual kebun kalian. Suamiku begini gara-gara menjual kebun jagungnya. Lima hektar kebun jagun warisan orang tuannya dijual, gila ndak? “Aku akan pergi ke kota, untuk membuka usaha yang lebih menjanjikan bagi hidup kita Leamdale, istriku,” begitu ujar suamiku padaku. Penuh rayu. Penuh optimisme.Ya aku mengiyakan saja. Siapa perempuan yang tak mengimpikan peningkatan taraf hidup. Suamiku berangkat ke kota bersama Gegor, teman sekampung. Gegor sudah lama hidup di kota. Dia yang membujuk suamiku untuk menjual ladang jagungnya. Dia yang meyakinkan suamiku bahwa berusaha di kota itu lebih menjanjikan dari pada berudik diri di kampung yang hanya diliputi bau tanah dan rumput. Dia meminta suamiku meninggalkan tanah becek di kampung demi meraih masa depan yang gilang gemilang di kota.
Hanya satu tahun! Hanya satu tahun saja aku langsung dapat kabar dari Gegor, suamiku sudah jadi gila di kota. Semua uang hasil penjualan ladang jangung ludes digarap sama perempuan-perempuan peliharaan Gegor. Gegor itu ternyata germo. Aku sangat terpukul mendengar kabar itu. Aku harus meninggalkan kedua anakku yang masih SD kepada mertua. Berat rasanya meninggalkan kedua anak perempuanku itu. Tapiapa yang bisa kubuat. Aku harus pergi mengurus suamiku.
Sumpah! Betapa pahit kenyataan yang kudapatkan di tempat Gegor tinggal. Di sana suamiku benar-benar menjadi gila. Ia menganggap dirinya jangung. Ia takut pada ayam. Ia takut pada perempuan-perempuan yang telah menguras duitnya. Ia menganggap mereka semua ayam yang telah mematuk hidupnya.
Aku sedih! Betapa malangnya hidupku. Betapa malang hidup anak-anakku nanti. Tiga bulan aku dan suamiku numpang di rumah Gegor untuk berobat. Uang yang kubawa dari kampung kupakai untuk biaya pengobatan suamiku. Gegor sahabat suamiku bukannya membatu, bangsat itu malah meminta saya melayani para pelanggannya dengan alasan biar dapat duit untuk pengobatan suamiku. Aku kontan menolak. Masa aku disuruh jadi pelacur.Aku marah besar ketika itu. Benar-benar marah. Aku ajak suamiku segera berangkat ke kambung. Dia berkeras tidak mau kekampung, dia tidak mau bertemu dengan dua anak kami yang disangkanya juga sudah menjelma jadi ayam juga.
Aku menangis tak berdaya. Aku melolong sesukaku untuk melepas semua kekesalan dalam pikiranku. Betapa buntu hidupku. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa untuk semua ini. Aku marah sama Gegor, aku marah sama semua perempuan yang telah mengubah hidup suamiku menjadi biji-biji jangung itu. Aku marah sama suamiku yang begitu lugu dibodohi semua orang. Aku marah pada diriku yang menyetujui begitu saja niat seamiku menjual ladang jangungnya.
Dan apa kalian mau tahu? Di tengah situasi yang kalut itu si bangsat Gegor memperkosahku. Untung aku bisa brontak. Aku melawan. Kami berkalahi seperti dua musuh yang sudah berniat saling bunuh. Perempuan-perempuan datang melarai kami. Kuseret suamiku seperti menyeret anjing meninggalkan tempat Gegor. Aku benar-benar telah merasa ikut jadi gila.
(Leamdale diam sejenak menahan tubuhnya yang gemetar, menarik napas untuk melegakan perasaanya.)
LEAMDALE: Setiap kali aku teringat peristiwa itu, tubuhku langsung gemetar, rasa mual memenuhi dadaku.
(Leamdale meraih mangkut didekatnya lalu minum. Namun ia langsung muntah. Tiba-tiba terdengar suara kokok ayam, lalu teriakan histeris suaminya. Leamdale tampak panik.)
LEAMDALE: O Tuhan, tolong aku. Aku tak kuat lagi… Berhentilah berterik! (Teriakan histeris suaminya terdengar lagi. Tubuh Leamdale kian gemetar.)
LEAMDALE: Berhentilah… berhentilah berteriak!
(Teriakan histeris suaminya terdengar lagi. Leamdale jadi histeris. Ia berjalan ke sana ke mari dalam kebingungan, mengepak kedua tangannya ke pinggulnya selayaknya ayam, lalu menimpali teriakan suaminya dengan teriak “Kukuruyuk”. Suasana jadi gaduh tak terkendali. Leamdale membuang semua jualan korannya hingga bertebaran ke mana-mana. Leamdale benar-benar bertingkah seperti ayam. )
LEAMDALE: tolong…tolong aku… akurasanya ingin bertelur…aku ingin bertelur!
(Leamdale masuk ke sebuah loyang besar di halaman itu dekat tong air lalu bertelur di sana. Suara teriakan suaminya masih terdengar. Tak berapa lama, Leamdale berkotek seperti ayam yang selesai bertelur. Suara kotek itu membuat terikan histeris suaminya kian kencang. Sambil berkotek Leamdale seperti terbang merangsek masuk ke dalam rumah. Lalu sesaat terdengar suara barang yang berhamburan begitu berisik, kemudian sunyi.)
TAMAT.
Manado, 17 Maret 2018.
Iverdixon Tinungki, Kontak HP 085343976992. Dilarang dipentaskan tanpa seizin pengarang
Discussion about this post