Sejauh mana azas keadilan diterapkan pada proses peradilan tindak pidana korupsi? Laporan pdf Indonesia Corruption Watch yang disusun Kurnia Ramadhana dan Wana Alamsyah bertajuk “Trends in Corruption Court Trials During 2019”, menunjukkan nilai rata-rata vonis hakim pada koruptor selama 2 tahun 7 bulan penjara. Lantas apakah ini sudah memenuhi ekspektasi publik pada pemberantasan pidana jenis luar biasa tersebut?
Dalam laporan tersebut yang datanya diambil selang 2019, ICW mencatat setidaknya 1.019 kasus korupsi dilakukan di berbagai tingkatan pengadilan. Dari total kasus tersebut, 1.125 orang ditetapkan sebagai terdakwa. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.053 kasus dengan 1.162 terdakwa. Temuan itu terbagi dalam tiga ranah pengadilan, yaitu: 941 kasus diadili di pengadilan pertama, 56 kasus banding dan 22 kasus banding dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Mengacu pada Pasal 10 KUHP yang menyebutkan tentang pidana pokok (pidana penjara dan denda) temuan ICW rata-rata pidana penjara bagi koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan penjara. Adapun denda sebesar Rp.116.483.500.000. Temuan terkait putusan tersebut menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun lalu, 2018 yang hanya 2 tahun 5 bulan penjara.
Kemudian untuk tindak pidana tambahan berupa uang pengganti Rp.748.163.50.0.055. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan nilai kerugian negara yang mencapai Rp 12.002.548.977.762. Praktis kurang dari 10 persen dari nilai aset bisa dikembalikan ke kas negara. Sedangkan untuk suap sendiri, jumlah perkara yang dominan sepanjang 2019 ditemukan sedikitnya Rp. 422.712.229.450.
Selama tahun 2019, setidaknya tiga profesi teratas adalah pejabat pemerintah daerah, di tingkat provinsi, kota dan kabupaten sebanyak 334 orang; kemudian perangkat desa sebanyak 228 orang; dan swasta sebanyak 183 orang. Sedangkan dari bidang politik, sedikitnya terdapat 58 anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, dan 20 kepala daerah.
Maraknya praktik korupsi di sektor pemerintahan daerah menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang digaungkan oleh pemerintah masih belum menuai hasil yang maksimal. Selain itu, fungsi inspektorat juga harus diperkuat agar menjadi bagian utama pencegahan korupsi. Belum lagi sektor pengadaan barang dan jasa yang kerap dijadikan sumber korupsi.
Di tingkat desa, praktik korupsi paling banyak melibatkan alokasi dana desa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengawasan dari otoritas terkait dan rendahnya partisipasi masyarakat. Tahun ini jumlahnya meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 158 perangkat desa.
Selanjutnya, pengaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengenal konsep pidana minimum yang tidak terdapat pada tindak pidana lain. Berdasarkan hal tersebut, ICW membagi kategorisasi kalimat menjadi beberapa bagian, yaitu:
Vonis Ringan (0-4 tahun).
Dalam temuan sepanjang 2019, 842 terdakwa dijatuhi hukuman ringan oleh Pengadilan di berbagai tingkatan. Secara persentase dibanding total kasus keseluruhan, vonis ringan mencapai 82,2 persen. Angka ini cukup meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya berkisar 79 persen.
Vonis Sedang (> 4-10 tahun)
Untuk hukuman moderat, Pengadilan di berbagai tingkatan hanya menghukum 173 Tergugat. Persentasenya juga rendah, hanya 16,9 persen.
Vonis Berat (> 10 tahun)
Jumlah terdakwa yang divonis di atas 10 tahun penjara sebanyak 9 orang dengan persentase 0,8 persen.
Pengambilalihan
Pengambilalihan meningkat tajam dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 41 terdakwa, sedangkan tahun sebelumnya hanya 26 terdakwa.
Putusan pemberhentian
Untuk putusan yang berupa terbukti adanya terpidana tetapi tidak dianggap sebagai tindak pidana, terdapat 13 orang terdakwa
Sepanjang 2019 pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan memutuskan putusan pemberhentian untuk 13 terdakwa. Membandingkan data, ada sekitar 5,2% dari total putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Ini adalah angka tertinggi, dibandingkan hingga data 2018 sebanyak 27 terdakwa dan data 2017 sebanyak 35 terdakwa.
Ringkasnya, vonis dalam bentuk bebas sudah biasa dalam penegakan hukum. Terkait dengan Pasal 183 KUHAP, apabila Hakim tidak dapat menemukan dua alat bukti yang relevan dengan tindak pidana tersebut dan tidak yakin bahwa terdakwa bersalah maka menurut undang-undang terdakwa harus dibebaskan dari setiap dakwaan.
Juga dengan putusan pemberhentian yang dakwaannya terbukti tetapi tidak dianggap sebagai tindak pidana. Namun persoalan tidak hanya bisa dilihat secara normatif, potret transaksional di lembaga peradilan juga harus mendapat sorotan. Tak hanya itu, jaksa dalam aspek dakwaan dan verifikasi harus dievaluasi secara serius. (*)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post