Alexander Pasikuali (77), salah satu generasi “tukang” paling terkemuka dari pulau Sangihe. Siapa menyangka lelaki yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas III SD di sebuah desa, di pulau perbatasan Indonesia- Filipina itu dikemudian hari menjadi ahli rancang bangun kapal bertonase dari 100 hingga 600 GT (Gross Tonnage).
Diwawancarai BARTA1.COM di rumahnya, kelurahan Tuminting Lingkungan 3 Manado, Rabu (05/09/2018) putra kelahiran Lesa, Sangihe, 27 September 1941 ini mengatakan keahliannya membangun kapal tak lepas dari pelajaran pertukangan dari masa misionaris E.T. Steller.
“Sejak usia 13 saya mulai belajar kerja pertukangan dari orang-orang tua lepasan ‘Sekolah Gunung Manganitu’ yang didirikan tuang Pandita Stellere,” ujarnya.
Setelah menguasai teknik pertukangan rumah, lelaki yang akrab disapa Opa Pasikuali ini, mengatakan ia mencoba mengerjakan pembuatan perahu, lalu berkembang ke pembuatan kapal bertonase besar di Sangihe.
Sejak 1975 puluhan kapal buatan lelaki berjuluk “anak Ajaib” ini meramaikan jalur pelayaran rakyat Indonesia Timur yang pada masa itu masih dalam keadaan kekurangan sarana angkutan laut antar pulau.
Kapal-Kapal buatannya diantaranya, KM Patmos, KM Kalvari, KM Sentosa, KM Agape, KM Agape Jaya, KM Verolis, KM Agape Mulia, KM Agape 1, KM Agape 2, KM Monalisa, KM Teluk Tahuna (Cargo), KM Agape star, KM Agape Indah, KM Ave Maria, KM Teratai, KM Getsemani. KM Agape Sejati, serta puluhan kapal Pajeko, Kapal Ikan Viber, Kapal Pesiar, Kapal Puskesmas keliling, dan berbagai jenis perahu.
Sebagai orang pertama yang meletakkan pola pembangunan konstruksi Kapal bertonase besar di Sangihe, Opa Pasikuali mengaku telah mewariskan keahlian pertukangannya kepada para muridnya.
“Sekitar seratusan murid saya sekarang telah menjadi ahli pembuat kapal di berbagai daerah di Indonesia baik jenis kapal berkonstruksi kayu hingga yang berkonstruksi besi,” ujarnya.
Dikatakannya, ilmu pertukangan yang dimilikinya harus diwariskan karena hal tersebut merupakan salah satu misi dalam pelajaran hidup yang diajarkan para pendeta di masa lalu.
Tentang Sekolah Gunung
Pendeta A. Makasar,M.Th dalam sebuah artikelnya yang berjudul: “Jejak Petualangan Penginjil Tukang” mengatakan, kehadiran Steller telah membuat perubahan dan perkembangan luar biasa di wilayah Manganitu, Sangihe dan sekitarnya.
E.T. Steller membuka sekolah di Gunung Manganitu untuk “pemuridan”. Pada sekolah ini para pelajar dididik dengan berbagai disiplin ilmu pertanian, pertukangan dan pengetahuan pendalaman alkitab untuk menjadi penolong Injil guna membantu tugas pelayanannya.
Berkat semangat dan kerja Steller maka telah terjadi transformasi yang luar biasa, sehingga jemaat-jemaat yang diasuh sudah boleh membaca, menyanyi bahkan ada yang tampil trampil menjadi tukang dengan mengusai teknik pertukangan dunia Barat, menjadi ahli-ahli pertanian dan menjadi guru-guru penolong injil dan ilmu pengetahuan lainnya.
“Melalui penginjil tukang maka menjadi sebuah wacana umum yang telah terheriditas dalam konsep masyarakat pada umum bahwa orang-orang Sangir terkenal sebagai tukang yang trampil dan professional, baik membangun rumah maupun membangun kapal,” kata Makasar.
Dari Jerman ke Sangihe
Berbarengan dengan ekspansi VOC ke negeri rempah nusantara, di Eropa pada tahun l848 Badan Zendeling yang menangani urusan pekabaran Injil membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda untuk menjadi misionaris.
Memanfaatkan kesempatan yang ada, Erens T. Steller seorang Jerman ingin memberi diri menjadi tenaga misionaris dibawa Badan Zendeling tukang. Zendeling Tukang adalah sebuah Badan yang didirikan oleh Lembaga Misioner Gereformmed untuk mengantisipasi kekosongan tenaga misionaris dibeberapa tempat yang sulit.
Para tenaga misionaris ini datang dari latar belakang status sosial yang rendah sehingga mereka mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dimana mereka ditugaskan. Melalui keterampilan pertukangan yang dimiliki Steller maka diapun diutus ke Pulau Sangir setelah ditahbiskan pada l7 Desember l854 di Jerman.
Dalam kurun waktu 3 bulan setelah mereka tiba dari Jerman kemudian diberangkatkan dengan kapal “Stad Scheveningen” dari Rotterdam menuju Hindia. Kemudian Steller bersama kawan-kawannya menempuh pelayaran selang 95 hari menuju Batavia dan tepat pada tanggal 3 Juli 1855 kapal yang mengangkut mereka tiba di Batavia.
Pada bulan Oktober 1856 Gubernemen memberikan izin kepada mereka untuk menjadi tenaga zendeling di pulau-pulau Sangihe dimana pada tanggal 5 Nopember 1856 mereka menerima dari pengurus Gereja Protestan di Batavia qualificatie-acte (surat hak sebagai pendeta), kemudian barulah pada tanggal 24 Oktober 1856 mereka dapat meneruskan perjalanan ke Manado.
Tepatnya pada malam Tahun baru mereka tiba di pelabuhan Kema, dan langsung menginjakkan kaki perdana di daratan Minahasa. Selama kurang lebih setengah tahun mereka menetap di Minahasa dan membantu melakukan pekerjaan pelayanan, selanjutnya melakukan pelayaran ke pulau-pulau di Sangihe Talaud dengan menumpang kapal raja-raja hendak pulang setelah mengantar upeti kepada Gubernemen (gubernur).
F.Keling dan A. Grohe di utus ke Siau dan Tagulandang. Keling bertugas di Ondong (Siau Barat dan Tagulandang), Grohe bertugas di Ulu Siau. Terbentur dengan masalah-masalah politik dan juga sikap raja-raja yang kurang toleran, maka pada tahun 1867 Grohe pindah ke pulau Sangihe Besar yang bagian selatannya masih termasuk wilayah Siau.
Sementara itu E.T. Steller dan C.W.L.M. Schroder di utus ke Sangir Besar pada tanggal 20 Juni 1857 dari pelabuhan Manado bersama-sama dengan raja Manganitu menuju lapangan kerja mereka di Manganitu.
Kedatangan mereka rupanya sudah diketahui oleh penduduk, sehingga pada tanggal 25 Juni ketika mereka tiba penduduk/masyarakat menyambut mereka dengan begitu hangat melalui nyanyian anak-anak sekolah. Steler tinggal di Manganitu yang merupakan wilayah pelayanannya sendangkan Schroder ditugaskan di wilayah Tabukan.
E.T. Steller menikah dengan Auguste Paulina Schrode (11 Mei 1859). Dari hasil perkawinannya ia dikaruniakan 5 orang anak dan sesuai dengan permintaan pemerintah Hindia Belanda maka, anak-anaknya di sekolahkan di Belanda.
Selama 40 tahun ia melayani sebagai penginjil tukang di Sangihe, dan tutup usia pada 3 Januari 1897 di Manganitu, sedangkan istrilnya meninggal pada 25 Mei 1889. Keduanya dimakamkan di Kompleks rumah Pastori Gereja Manganitu sekarang Jemaat Petra Manganitu. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post