Matahari hanya nampak pada jam-jam tertentu di Modoinding. Kecamatan milik Kabupaten Minahasa Selatan di Sulawesi Utara (Sulut) itu berada pada ketinggian 1600 dpl, membuat hawanya sejuk cenderung dingin. Menjelang sore hari, awan putih mulai menyelimuti sepuluh desa yang letaknya berjejer mengikuti ruas jalan utama. Halimun turun perlahan dari puncak Wulurmaatus dan bukit sekitarnya yang membentengi lembah itu.
Kecamatan Modoinding seluas 6.640 hektar, cuma 5 persen saja yang dijadikan pemukiman penduduk. Selebihnya merupakan lahan tanaman holtikultura. Kawasan itu mulai ditinggali sepenuhnya atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda pada 1930. Mereka membawa sub etnis Kakas dari Minahasa induk untuk pindah ke daerah lembah di sisi Selatan.
Dulunya wilayah desa dibahagi dengan sebutan letter A untuk Wulurmaatus, letter B untuk Palelon, C untuk Makaaroyen, D untuk Pinasungkulan, E untuk Sinisir, F untuk Linelean dan letter G untuk Kakenturan.
Sekitar 4 ribu penduduk mayoritas adalah petani yang menanam berbagai jenis sayuran, terbanyak kentang dan kubis. Daerah itu kemudian menjadi sentra penghasil sayur yang bisa menutupi kebutuhan 80 persen penduduk Sulut, termasuk provinsi lainnya di Indonesia Timur.
Di masa kini masyarakatnya telah beranjak dari segmen tradisional ke wujud industri holtikultura dalam upaya menjadikan sayur sebagai sumber rejeki terbesar. Sebagai industri, alur hidup komoditas itu adalah tanam-panen-jual, tidak lebih. Tapi semuanya mulai berubah ketika Wailan Posumah datang ke Modoinding.
Lelaki asal Tondano Minahasa induk itu adalah pendeta yang diutus Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) untuk melayani jemaat gereja Sion di Desa Pinasungkulan, pusat pemerintahan Modoinding. Saat pertama datang beberapa tahun lalu, Wailan dengan model pelayanan kontekstual melihat ada perspektif lain yang bisa dikembangkan warga gerejanya. Dia menggagas Festival Kentang Modoinding.
“Awalnya festival merupakan bentuk apresiasi gereja terhadap jerih lelah petani, mereka sejatinya memproduksi bahan makanan yang menjadi berkat bagi banyak orang, nah apa yang mereka lakukan itu harus dihargai,” kata Pdt Wailan di pastori gereja Sion Pinasungkulan beberapa waktu lalu.
Festival Kentang menuai sambutan positif. Denominasi gereja lain dan pemerintah ikut dilibatkan. Hingga pelaksanaan keempat pada 2016 lalu Festival ini bisa mentransformasi industri holtikultura Modoinding ke segmentasi pariwisata. Festival kentang sudah menghadirkan beberapa turis dari Eropa dan India, juga wisatawan lokal dari daerah-daerah sekitar Modoinding.
(baca juga: Agroindustri Modoinding: Dapurnya Indonesia Timur)
Ada juga peserta luar yang ikut ambil bagian pada konvoi mobil hias yang jadi ciri khas iven tersebut. Dalam jejaknya festival itu terutama menampilkan kendaraan berhias komoditi sayur mayur yang diproduksi petani. Juga ada pameran kuliner khas Modoinding berbahan dasar kentang dan labu kuning. Pie labu nampak menarik karena diukir membentuk manusia dan hewan.
Pelaksanaan kelima 2017 lalu, Wailan dan jemaat setempat merancangnya dengan side-iven, seperti pameran kuliner hingga Fun Bike. Sementara Festival Kentang di pertengahan tahun. Strategi pun disusun supaya lebih banyak lagi wisatawan datang dan menghabiskan waktunya di Modoinding.
Wailan melihat butuh banyak pembenahan supaya industri Holtikultura bisa menjadi agrowisata. Untuk kuliner misalnya, gereja menggelar pelatihan buat masyarakat agar bisa dikemas semenarik mungkin kendati belum pada tahap dibisniskan. Wisatawan juga harus dibuat nyaman dengan penunjang lainnya, sehingga perlu ada standardisasi rumah makan. Pembangunan penginapan pun turut dipikirkan, supaya turis betah berlama-lama.
“Ada 18 rumah yang disiapkan, merupakan swadaya jemaat dan namanya Griya Holtikultura, ini nantinya bisa difungsikan sebagai lokasi pelatihan dan pusat kegiatan, tapi juga tempat inap bagi wisatawan,” jelas Wailan.
Konsep lainnya adalah membangun Gereja Holtikultura, tempat ibadah dengan nuansa sayur mayur. Untuk infrastruktur satu ini jemaat sudah menyiapkan dana Rp 1,5 miliar. Wailan mulai memikirkan ada lokasi tetap yang bisa menjadi objek agrowisata.
“Ini penting supaya yang datang bukan hanya turis musiman, dengan adanya objek tetap setiap saat mereka bisa singgah,” terang dia.
Mengupayakan hal terakhir sebenarnya bukan hal sulit. Ini karena komoditi sayuran yang ditanam telah menciptakan pesonanya sendiri. Lahan tanam petani dengan nuansa hijau beraksen warna-warni cerah lainnya adalah daya tarik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Warna-Warni Modoinding
Hijaunya daun bawang yang berdiri tegak, hijau kubis dan ulir tanaman kentang yang rebah ke tanah jelas berbeda. Pun hijau daun sawi, labu siam yang menggantung serta dedaunan jahe yang menjulang terlihat kontras kala bersanding dengan jingganya wortel, tomat dan cabe yang merah ranum.
Kawasan holtikultura itu membentang di lembah Modoinding dikelilingi perbukitan berseling Danau Moat di sebelah Selatan. Pemandangan penuh pesona dan magis, bakal membuat pengunjung betah berlama-lama.
Beberapa desanya bahkan punya keunikan tersendiri, sehingga cerita tentang Modoinding tidak melulu hanya soal kentang dan kawan-kawannya. Mokobang adalah desa pertama di pintu masuk kecamatan itu. Agak berbeda, masyarakat di situ tidak hanya menyandarkan hidup dari hasil perkebunan. Sejak puluhan tahun mereka adalah pengrajin kayu yang getol menghasilkan rumah panggung khas Minahasa.
Produk rumah panggung Mokobang terkenal karena bahan bakunya merupakan kayu kelas satu dari Selatan sehingga hasilnya tak lekang termakan zaman.
Desa berikutnya, Wulurmaatus, adalah nama yang sering disebut dalam legenda bangsa Minahasa. Konon di Gunung Wulurmaatus terciptalah Karema, walian perempuan pertama yang menyatukan Toar dan Lumimuut —nenek moyangnya orang Minahasa. Namun beberapa warga lanjut usia yang ditanya mengaku beberapa saat terakhir situs-situs itu sudah tidak lagi dijumpai. Kemungkinan besar ada yang memindahkan, kata mereka.
Satu lagi Desa Makaaruyen yang identik dengan budaya seni Minahasa. Makaruyen adalah sebutan jenis musik yang liriknya melankolis, sering dilantunkan dengan iringan gitar jug dan banyo. Dulunya Desa Makaruyen sempat menghidupkan kesenian musik bambu klarinet. Tapi seiring waktu grup bambu klarinet Makaaruyen sudah tidak terdengar lagi.
Modoinding juga punya pasar unik di Desa Pinasungkulan. Selain sayur-mayur, pusat belanja tradisionil ini menyediakan bahan dasar kuliner ‘horor’ yaitu daging ular piton dan kelelawar. Hewan-hewan ini memang masih banyak ditemukan di kawasan bukit sekitar desa yang memiliki hutan perawan.
“Ular dan paniki (sebutan kelelawar dalam bahasa lokal) nanti ada kalau hari Minggu,” kata salah satu penjual di Pasar Pinasungkulan.
Selebihnya desa-desa lain; Palelon, Pinasungkulan Utara, Sinisir, Kakenturan Barat, Kakenturan dan Linelean memiliki bentang tanam Holtikultura yang luas. Seluruh potensi ini bila disatukan akan menjadikan pondasi agrowisata Modoinding menjadi kokoh. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post