–buat Sahabat Katamsi Ginano
Karya: Iverdixon Tinungki
Di sebuah kamar perempuan itu menari
Ia menari mengikuti denting reranting di tengah angin
Ia menari menyusuri suarasuara hidup yang ajaib
Tak saja dengan tubuh, jiwanya ikut menari
Ia gelombang dan kuda betina
Gairah yang menerbit matahari di malam hari
Ia bebunga dan taman hidup dipenuhi gerak
Ia menari di ratusan bahkan ribuan panggung
Di hadapan ribuan mata riang dan terhibur
Sebagaimana dosa tak menjadi noda
Bagi mereka yang berada di hari yang salah
Di abad lain biarlah kita mengenangnya sebagai penari
Kau tahu, bagaimana pedihnya orang yang hidup
menjalani peran sebagai orang mati
tanpa harapan
tanpa keinginan
kecuali menjalani sesuatu dan mengambil resiko
Namun tujuan selalu punya pikirannya sendiri
Dulu kita banyak berbincang tentang kesekejapan hidup
Seksualitas, spiritualitas dan tragedy nihilistik
Kadang kita bertanya:
–Bagaimana mungkin Ikarus
punya gagasan, harapan dan impian setragis itu
apabila hidup adalah dolanan di tangan para dewa
bukankah ruang antara hidup dan mati
tak lebih kebenaran palsu yang tak patut dirayakan
Sambil menikmati kopi dan gorengan
di tengah udara malam penuh rahasia
kita kemudian menyimpulkan segala gerah hati dalam teologi
lalu penari lain mengisi panggung
mengunjungi kamarkamar sumpek kita
mereka mengulang detakandetakan indah
dalam jiwa kita yang buaya
mereka seperti penjinak kemurungan
Seperti bebungaan liar di pinggir jalan hutan
yang entah untuk apa mereka mekar
Atau benarkah setelah hidup tak ada tempat melarikan diri
Kecuali menjalani
kendati tak semua keinginan akan terwujud
Kita harus menerima dengan lapang data
Lihatlah, bagaimana pun daunan akan gugur
meski dulu kita gigih membuatnya abadi
Dalam beriburibu catatan
Dalam beriburibu hari
Sesekali kita berkata:
–Beruntung kita punya warna warni kenangan
Tubuhtubuh sintal
Wajahwajah yang membuat senang saat dikecup
Dan kenangan tak boleh mati
Kita menyadari sejak lahir diarahkan untuk suatu tujuan
Barangkali itu kekuatan yang menghubungkan
penulis dengan kebaikan
seakan kita bagian dari Ikarus dan dongeng kitab suci
semacam Nuh, Junus bahkan Lazarus
dan kita bangga punya bahasa sendiri untuk itu
punya kebahagiaan tersendiri merayakannya
lalu mengatakan satu hal tanpa keraguan:
Kita telah mendefinisikan hidup pada segala kealpaan itu.
Lalu kita merasa dengan puisi semua bisa dihidupkan kembali
bahwa hidup mengalir lewat katakata
dan diksi adalah katakata terpilih
Katakata yang kita cintai
Katakata yang membuat segala bisa tumbuh
bergerak dan terus berlangsung
bahwa hidup tak sekadar sesuatu dipinjamkan waktu
kita tak boleh menyerah
Tak boleh duduk dan menunggu
Waktu memercikkan belaskasihannya
Dengan kata kita bertindak dan mengubah
Seperti bunga hutan dan penari
Mekar mengikuti koreografi
walau tujuan selalu punya pikirannya sendiri
Kau tahu kawan
Antara Tuminting Malalayang
bangunanbangunan raksasa telah menghapus
semua jejak puisi masa lampau
Dan kau telah keliling dunia
Menikmati kotakota nan anggun
Sejarah antar bangsa
Patriotisme
Pertarungan ide
Dan semangat kapitalisme
Anehnya, kau tak berubah
Tak ada yang mengubahmu sedikit pun
Kau pikir kita masih di tahun 1980-an
Dua anak muda dengan semangat berapiapi
mau meninju kepongahan dunia
lalu tidur di pinggir pertokoan beralas kardus
seusai mengganjal perut dengan semangkuk mie bakso
kemudian pulas di atas mimpimimpi yang begitu api
berbantal bukubuku bacaan
karena menolak bodoh, dan berlomba menjadi cerdas
Empat puluh tahun kemudian, kau tahu
Di sini, dunia lebih membutuhkan Judas dan para penjilat
Tidak ada tempat belaskasihan dalam kekuasaan
Bahkan kemiskinan telah menjadi pasar para politisi dangkal
menjual isuisu sundal, bau comberan dan hina
dan kita ternyata sudah tua
kendati masih dengan semangat yang sama:
mau meninju kepongahan dunia
Sepelempar batu dari pesisir
Perahuperahu kecil baru saja melaut
Dan ombak mendebum
Apa yang spectacle dari nelayan yang ingin menjalani hidup
“Setiap orang pulau pada akhirnya akan melewati laut
Setiap orang akan mengikhlaskan semua hal
Setiap orang akan punya opini tentang segala hal
termasuk menjalani hidup yang tidak benarbenar aman”
Aku jadi ingat Oslo
Kota Christiania dalam novel Knut Hamsun
Dulu kau mengisahkannya padaku
saat uap asin tertiup dari lautan Pasifik
Pohonpohon kelapa bergetar terdorong ke belakang
Menandahkan kita pemilik negeri laut
Dengan pulaupulau yang harusnya jadi berkah
Namun sungguh betapa pedih perbudakan kehidupan
Saat manusia dianggap gema kosong sebuah suara
Sekali waktu dari satu kota di Afrika kau menelpon rindu
makan gorengan pisang goroho bersama
seperti masa muda
Di saat lain, dari hutan Kalimantan kau membacakan
sajaksajak tentang manusia sederhana
Yang belajar pada kesekejapan hidup kupukupu
Untuk mengindahkan dunia
Di lain hari kau narasikan novelnovel Eropa
Tentang sungai menakjubkan sebagai muara para petualang
Juga kisah manusia nan saleh menapaki hidup sebagai anugerah
dalam perumpamaan hosti dan tubuh Kristus
tercabik dalam kelaparan dunia
Berkalikali kau mampir ke rumahku
Membawa apel, roti dan segepok uang untuk penerbitan buku
Kau tahu kawan, kadang aku berpikir
Ketika Engels menyantuni Marx
Mertuaku benar:
–puisi tak memberi istriku sekilo beras!
Lantas, siapakah penari, bunga hutan dan Ikarus?
Pernahkah kau melihat bunga berwarna violet?
Baiklah aku akan bercerita:
–Sembari meneteskan air mata
Seorang perempuan mencium setangkai bunga berwarna violet
Ada semacam kesedihan dan kegelapan
Kendati ia masih sangat muda dan cantik
Adakah ide lebih ceria untuknya?
Ketika orangorang kota membicarakan pulaupulau terpencil
Bisa jadi orangorang di pulau jauh itu sedang menakik hujan
untuk ditanak sebagai air hangat
diolah menjadi segelas teh, atau kopi
Bisa jadi mereka sedang menatap dengan putus asa
ombak yang garang sedang menghempas
Sementara seseorang sedang hanyut diterpa arus entah ke mana
Bisa jadi mereka sedang menggali umbiumbian
di ladang bertanah keras
Barangkali ada bocah kecil baru saja meninggal
oleh karena gizi buruk atau malaria
Tak ada yang gegap gempita merisaukan kehilangan
termasuk air mata punya caranya sendiri untuk menetes
Dan bisa jadi juga mereka beranggapan sebagai yang paling paham
tentang apa yang disebut kitab suci;
“Hidup itu anugerah Tuhan.”
Bagi seorang penyair, menulis gagasan:
–Seorang perempuan mencium setangkai bunga berwarna violet–
Karena ia ingin mengungkap kesedihan dan kegelapan
Sebab tak ada yang lebih rendah hati dari bunga violet
Namun seorang raja akan menjadikannya sebagai lambang kekuasaan
Dan hidup semacan sebuah dagelan!
Saat aku mulai menulis, aku berharap rokok terakhir tak habis
Aku kian sulit beradaptasi
Dan belakangan harihariku agak berat
Kau tahu aku seperti seorang penunggu di taman kecil
dengan pemandangan pohon belimbing
daunnya yang kuning kadang jatuh tertiup angin
Aku pernah menghitung setiap kali ia jatuh
menghitung rahasia terus mengulang itu
sebuah hari yang salah
aku terperangkap seperti sisifus
Sementara kadangkala upacara peringatan orang mati di sini
telah menjadi pesta basabasi
Orangorang hanya purapura menangis
Tapi tak ada yang menyesalkan seseorang telah pergi
Keadaan telah terlihat berbeda kawan
Apakah kau punya frasa untuk ini?
Di titik mana aku akan sampai, inilah pertanyaan
Pertanyaan paling gila namun sublim
Pabila hidup adalah bab, bagaimana aku mengakhirinya
Sangat menjemukan!
—Apakah menulis puisi adalah upaya
supaya tak terlihat sebagai pencundang?
Beberapa kawan sangat percaya bahwa puisi
adalah cahaya spiritual
sebagaimana orangorang laut percaya, ia adalah karang
teguh, karena ditempa oleh gelombang
Namun ketika Engels menyantuni Marx
Mertuaku benar:
–puisi tak memberi istriku sekilo beras!
Tapi memilih menjadi Judas, lebih sial lagi!
Discussion about this post