Hari ini, 31 Januari 2021, Sangihe merayakan HUT ke 596 tahun. Banyak hal menarik yang patut menjadi buah renung tentang kepulauan ini, baik dari sisi sejarah dan juga budaya yang telah menuntun detak jantung peradaban manusia Sangihe sejak ribuan tahun. Berikut ini sebuah catatan ringkas dirangkum Barta1.com dieditori Iverdixon Tinungki.
Tak saja pada zaman Horace (Horatius) di Yunani ditemukan apa yang disebut sebagai dulce dan utile. Kecerdasan sastrawi dan kecerdasan musikal pun telah hidup dalam ribuan tahun Sangihe. Keindahan dan kebergunaan sastra telah menjadi akar sejarah dan filsafat kehidupan mereka. Di negeri kepulauan itu, masyarakatnya memandang bahwa Sasambo (puisi) sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat atau ilmu pengetahuan kebijaksanaan dan memiliki persamaan dengan kebenaran atau jadi mirip kebenaran.
Saat masyarakat bergerak dengan begitu tenang ke arah modernitas, budaya telah dianggap sebagai pustaka dari masa lampau yang sudah tidak punya makna dalam kehidupan social abad modern. Dalam masyarakat modern, sains dan teknologi diandaikan –secara berlebihan—akan mampu menjawab banyak pertanyaan menyangkut asal muasal alam dan pertanyaan eksistensial lain. Pandangan itu kemudian dibantah dalam diskursus masyarakat pascamodern yang menganggap sains dan teknologi tidak mampu menjawab semua perkara, terutama menyangkut makna hidup manusia. Ini sebabnya, secara global masyarakat etnik mulai membangun gerak eksodus kembali merambah dan merefleksikan bentuk-bentuk pencarian spiritualitas yang baru, yang ditandai pengkristalan kembali bahkan bangkitnya semangat berciri etnik yang digambarkan secara sempurna oleh John Naisbitt dalam; “Global Paradox” sebagai fenomena yang akan menderas di aras abad 21. Ia menyebutnya sebagai fenomena tribalisme. Suatu exodus besar kembalinya umat manusia ke nilai entitas kultur masing-masing masyarakat.
Ketika Giacomo Gastaldi mencatumkan Sangil (Sangihe) dalam peta yang dibuatnya pada tahun 1528, Kerajaan Siau sudah berusia 18 tahun sejak diproklamasikan oleh Raja Lokongbanua II pada tahun 1510. Sementara kedatuan di pulau Sangihe yang didirikan Datu Gumansaļangi dan Permaisuri Ondaasa sudah berusia 178 tahun sejak berdiri pada 1350. Bahkan kedatuan ini sudah berusia 63 tahun saat Cheng Ho dalam ekspedisi ke IV tercatat sebagai pengelana laut pertama yang melintasi kepulauan Sangihe Talaud dalam 2 tahun pelayarannya sejak 1413 hingga 1415. Pada era inilah sejarah mulai ditulis oleh para pendatang. Pada masa sebelumnya, sejarah lebih banyak tersimpan dalam mite dan legenda.
Demikian mitos dan legenda dalam ribuan tahun Nusa Utara menyajikan jejak tua asal-usul manusia. Bila masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, kita dipertemukan dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Salah satu Ampuang tertua yang disebutkan sumber-sumber Siau adalah Tatetu. Ia diriwayatkan sebagai perpanjangan tangan dewa Aditinggi yang bersemayam di puncak gunung Karangetang. Sebuah kutipan sastra purba yang diperkirakan berasal dari masa Tatetu yaitu “Meno-meno Makisembah” (Menyala-nyala minta disembah). Dari sanalah pada masa yang panjang, masyarakat era para Ampuang, akan memilih seorang gadis perawan untuk dikorbankan sebagai sesembahan kepada dewa Aditinggi.
Selain para pendatang ini juga disebut, ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa), dan Apapuhang (manusia kerdil). Kisah hidup manusia-manusia raksasa hingga kini masih populer di tengah masyarakat setempat, di antaranya sanak keluarga raksasa Bakeng di pulau Sangihe, raksasa Linsaha di pulau Biaro, dan raksasa Onding di pulau Makalehi. Namun untuk dua jenis manusia terakhir itu, hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukan terhadap keberadaan mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat fenomena alam. Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda, ataukah bagian dari karya artistik yang mewakili jiwa zaman di kurun waktu yang lebih mudah? Ini masih sebuah pertanyaan.
Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun, pulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu diyakini berasal dari kata Sangi (tangis). Dalam tradisi sastra, “Tatimongang” adalah syair doa pengharapan (penolak bala) orang Nusa Utara. Tatimongang biasanya dinyanyikan saat hati merasa putus asa. Sastra Titimongang yang terindah berasal dari abad XIII karya putri Kulano Wowontehu, Uringsangiang berjudul: “Tatimongang Umboļangi”. Syair itu dituturkannya saat Bininta (perahu) kerajaan yang ditumpanginya hanyut terbawa arus angin selatan. Dalam Tatimongang itu ia memohon agar ayah ibunya serta rakyat kerajaan mendoakan keselamatannya.
Uringsangiang adalah putri dari datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu. Dikisahkan, ia dan perahunya hanyut dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga diperkirakan nama Sangihe di ambil (Sangi=Tangis). Namun yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusa Utara, menangis punya tradisinya sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa, serta tangisan duka, sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapa pun yang menangis, mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya kedengaran seperti nyanyian. Di masa itu tangisan adalah nyanyian. Barangkali dari akar budaya itulah Brown, seorang penulis Eropa menamakan kepulauan Nusa Utara (Sangihe Talaud) sebagai “Archipelago of Tears” (Kepulauan Air Mata).
Di pulau-pulau di Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan di mana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistik justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis. Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang Abaka secara mistis menjadi manusia. Kepercayaan terhadap dewa dewi dan sistem nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menunjukan adanya persinggung dengan sistem nilai di tempat lain, seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno, sebagaimana diperbincangkan Toynbee dan Ikeda.
Tentang kepercayaan “Manna” orang-orang Sangihe Talaud, ungkap misionaris D. Brilman, merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang memengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan simbol darah manusia yang dipukul sampai mati, di Sangihe Talaud masa lalu. Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata, Ruata”, juga dinamakan ”Ghengghona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahaya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana.
Eksplorasi yang lebih dekat terhadap asal usul orang-orang Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500, disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678, dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951. Asal usul orang Sangihe Talaud juga diceritakan penulis Amerika Kheneth. Saat dipresentasikan di Universitas California, disebutkan, Gumansaļangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunganglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Kila). Istrinya adalah keturunan dari Humansanduļage bersama istrinya Tendensehiwu, berasal dari Filipina yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Gumansaļangi melakukan pelayaran kembali dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanao-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, di mana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunganglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan. Pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Saudara Gumansaļangi, Bulango, bermigrasi dari Bowontehu menuju Tagulandang di mana keturunannya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang pada tahun 1570 dan berkuasa hingga 1609. Lohoraung adalah putri Raja Mokodompis cucu dari Raja Binangkang dari Kerajaan Mangondow.
Lokongbanua II, mendirikan kerajaan Siau pada 1510. Ia adalah keturunan dari kerabat Gumansaļangi, raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu. Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga keturunan Mokoduludut. Hal ini menyebabkan adanya kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik, (Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu.
Untuk wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansaļangi hingga keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu. Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga di Kendahe yang didirikan oleh Mehegaļangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif Mansur dan istrinya Taupanglawo dari Mindanao. Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua) pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi. Tetapi hal terpenting dalam hubungan kekeluargaan orang Sangihe Talaud dan Bolaang Mangondow, dipercaya karena berasal dari migrasi Bowontehu.
Berdirinya sejumlah kerajaan maritim juga mewarnai sejarah Sangihe sejak awal Abad 16 hingga pertengahan abad 20. Dari sembilan kerajaan yang pernah eksis di sana, setidaknya ada 5 kerajaan yang bertahan dan kemudian ikut melebur dalam negera kesatuan Republik Indonesia sejak proklamasi 1945, yaitu Kerajaan Siau (1510-1956), Kerajaan Tagulandang (1570-1942), Kerjaan Tabukan (1530-1953), Kerajaan Kendahe-Tahuna (1600-1953), Kerajaan Manganitu (1600-1942). Tentang kerajaan-kerajaan ini dicatat jelas dalam dokumen pemerintahan Hindia Belanda juga dalam tulisan para misionar Eropa yang pernah bertugas di sana.
Sebagai wilayah yang masuk dalam peta sejarah niaga dunia, yang diwarnai persaingan dagang internasional dan perebutan hegemoni kekuasaan di masa lalu, orang-orang Sangihe dan juga Talaud boleh dikata telah ditempa sejarah panjang yang penuh intrik dan kekerasan. Sebagai jalur niaga, Nusa Utara tak lepas dari aksi para perompak. Bahkan hingga kini, pulau-pulau terutara itu masih saja dirubung berbagai persoalan kejahatan transnasional. Nusa Utara sebagai daerah yang dalam sejarahnya berada di area zona panas berbagai kepentingan internasional sejak abad 16 menjadi menarik diperbincangkan. Terutama, mengenai sistem nilai budaya masyarakatnya yang terbukti mampu membimbing dan mengarahkan manusia Nusa Utara dalam mempertahankan eksistensi mereka dari gempuran intrik masa lalu itu hingga membentuk jati diri. (*)
Discussion about this post