Langgabua adalah sebuah film produksi daerah Gorontolo dengan latar manusia dan budaya Gorontalo dan dibintangi aktor dan aktris lokal yang berhasil tayang di gedung bioskop XXI.
Ini boleh dikata langkah berani sutradara Syarief Hamzah, sejak terjun total ke dunia perfilman. Bekerjasama dengan pemerintah dan berbagai pihak di Gorontalo, peteater asal Wawonasa Manado itu, berhasil menggeber “Langgabua” yang dikerjakannya sejak 2016 dan berhasil menembus layar lebar XXI.
Di Gorontalo sendiri, “Langgabua”, memanen ledakan penonton. Dan sebuah prestasi penting telah diukir peteater era 1980-an dari Manado ini, di tengah kelangkaan film produksi lokal di Indonesia.
Alip, sapaan akrab dramawan Syarief Hamzah. Era 1980-an, ia cukup dikenal di Manado sebagai aktor sekaligus sutradara teater. Sebagaimana kelaziman panggung teater di awal kehidupan teater modern Manado ketika itu, ia lebih banyak ikut pentas dari kampung ke kampung. Selebihnya, ikut main dalam panggung teater penerangan (Deppen) diberbagai desa di kabupaten di Sulawesi Utara.
Tak sedikit karya drama lahir dari tangan peteater kelahiran Manado, 2 Februari 1960 ini. Belajar teater pertama kali dari sang pelopor teater modern Manado Husen Mulahele di Teater Manado pada pertengahan 1970-an.
“Selepas dengan Hussen, saya sempat bergabung dengan Sanggar Alit Muara yang dibina Kamajaya Alkatuuk. Di sanalah saya banyak belajar prinsip dan dasar-dasar teater,” ungkap dia, saat diwawancarai, belum lama di Manado.
Pada tahun 1982, ia mendirikan grup Teater Bijak di Kelurahan Wawonasa. Grup teater binaannya ini boleh dikata hanya melewati sedikit tahun berkiprah di panggung. Ketika Stasiun TVRI berdiri di Manado, Syarief putar haluan menggarap drama-drama televisi untuk program tayangan stasiun TVRI Manado.
Puluhan karya drama televisi disutradarainya bersama Teater Bijak, di antaranya “Mereka Yang Ditinggalkan” yang diangkat dari lakon karya Kamajaya Alkatuuk, dan “Saat Yang Dinantikan”, sebuah skenario yang ditulisnya sendiri.
Pada 1989, ia pindah ke Jakarta, mengikuti kursus perfilman di Yayasan Citra, Pusat Perfilman Usmar Ismail yang berhasil ditempunya hingga tahun 1990.
Sejak kedatangannya di Jakarta, ia mendirikan Sanggar Mutiara di Jati Waringin Antilope, Perumahan Pertamina Jakarta. Bersama kelompok sanggarnya, pada tahun 2000, di antaranya ia memproduksi film cerita anak “Biarkan Dia Jadi Kenangan” dan “Cermin-cermin” bekerjasama dengan TVRI Pusat Jakarta.
Ia juga menggarap Film Televisi (FTV) hingga 2013, di antaranya “Jerat” dan “Ditelan Gelombang” yang dibintangi aktor Torro Margens, serta FTV “Hatimu Sebening Wajahmu” produksi 2015.
Kariernya di dunia film juga tertempa baik saat terlibat dalam sejumlah Rumah Produksi di Jakarta, di antaranya bekerja sebagai Asisten Sutradara dengan sutradara kawakan Chaerul Umam.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post