Nilai-nilai leluri yang termaktub dalam mitologi — baik dalam teks dan konteks – kontennya (kadungan makna) mengalami pola baru yang sedikit menjauh dari keasliannya. Meski bukan hasil imitasi (mimetik) yang kasar, kontennya mitologi eksoteris, misalnya, telah berubah tampilan ataupun nilai-nilai wujud materialnya, baik dalam karya, karsa, hayat dan pranata. Hasil konten yang tampak sebagai outward appearance (lihat: Nordholt,2008) yang mengalami transformasi di antaranya pada masamper dan tulude.
Dengan mengedepankan pendekatan evolusi kebudayaan — dari diakronik masa purba hingga sinkronik pada era kerajaan seperti yang ditafsirkan secara leluasa oleh Iver — sejarah kebudayaan Nusa Utara pada umumnya rapuh dari pengaruh kuat dari sang liyan, terutama kolonialisme budaya sang liyan. Beberapa kodifikasi yang dilakukan baik oleh Steller hingga Brilman menunjukkan strategi kebudayaan sang liyan lebih kuat dipengaruhi dengan menghapus sedemikian rupa jejak bahkan legasi mitologi baik melalui tranlasi teks, konteks hingga penghapusan konten lama. Atau, apa yang ditafsirkan oleh Iver sebagai wawunian, penyamaran atau ekstrim penyembunyian konten. Kebudayaan di atas, kedatuan maupun kerajan, dengan sigap dilakukan wawunian dengan menempatkan penyamaran atas posisi raja Mokodompis (dari leluri Mokodoludut) di Manganitu dan Ponto di Talaud bahkan Wawontehu yang disamarkan di Manado menjadi Babontentu. Babontehu sendiri merupakan penamaan dari binatang Babon sebagaimana ditafsirkan oleh Graafland sebagai wilayah lama Manado Tua.
Kekacauan linguistik ini dengan sengaja disusupkan untuk mengubah paradigma kebudayaan asli Nusa Utara ketika itu, juga telah menerima bahasa Melayu yang diselundupkan dari Malaka ke Molucas (Maluku) dan dipertegas oleh kontrak-kontrak karya sejak Robertus Padtbrugge pada abad ke-17 ketika datang ke Minahasa, Manado dan Sangihe. Meski jejak linguistik itu tak sempat membentuk ikonografi setempat, kecuali beberapa yang membentuk toponim (nama lokasi) di Manado, misalnya pogidon, karangria, maasing, bunaken dan melimpah kosakata (vokabuler) yang menjadi lingua franca Manado: dudeso, sosoroka, gorango, bobara, cumigi, cukurungan, boboca, besae, keburek, gogohia, gogodu, dusu, kokotrek, pepeo, sorong, lome, gepe, keode, hobus dan daftarnya bisa dikamuskan.
Fakta-fakta lisan (orality) yang ikut membentuk teks (aksara) dan mengukuhkan dirinya dalam konteks — pranata, kebiasaan, karsa dan karya — masih harus ditelisik lagi secara dalam untuk menguatkan bagaimana konten-konten (kandungan makna), baik eksoteris maupun esoteris, yang sudah terserap dan membaur sedapat mungkin bisa dijelaskan asal-usulnya (genealogi). Karena keragaman dan kekayaan sejarah kebudayaan Nusa Utara yang secara strukturalis telah diuraikan oleh buku ini masih tergolong dalam upaya yang dikenal sebagai recalling culture. Sebagaimana banyak dilakukan oleh para pengampu yang hidup dari hibridasi budayanya sendiri, recalling culture merupakan suatu fase dalam kritik evolusi kebudayaan yang di antaranya pernah diuraikan oleh Leslie White dalam Evolution of Culture (1959).
Untuk meringkas limpahan teks yang dihasilkan oleh buku ini, pendekatan yang diambil untuk memberi titik masuk dalam memahami kronologi sejarah kebudayaan Nusa Utara harus dilakukan dengan apa yang diusulkan oleh teori poskolonial sebagai clearance space. Pendekatan ‘’bersih ruang’’ atau bisa disebut metode purifikasi ke dalam sejarah struktur sebuah komunitas budaya Nusa Utara, tidak lain untuk melakukan koreksi dan kritik atas struktur teks dan kemudian menjelajahnya pada kontektualisasi yang telah berbaur bahkan telah terintegrasi dalam jaringan makna (web of meaning) dari kontak dengan kebudayaan-kebudayaan sang liyan sepanjang perjalanannya.
Dari kategori teks ke konteks dan membentuk konten-konten ‘’baru’’ kontemporer menunjukkan bahwa sejarah panjang (long duree) keabsahan sejarah kebudayaan Nusa Utara bisa menghasilkan apa yang disebut para kritikus kebudayaan sebagai ideas guide behavior. Gagasan menuntun perilaku ini akhirnya akan meneguhkan bahwa kebudayaan apapun sumber dan asal-usulnya akan terungkap pada konten-konten yang dijadikan panduan bagi agen dan struktur yang membentuknya. Jika keragaman dan keanekaan yang melimpah hanya bisa dikanalisasi pada performans dan praktik yang dimobilisasi oleh birokrasi dan administrasi modern, maka wujud-wujud purifikasi kebudayaan tersebut akan bernasib seperti sebuah museum kebudayaan bahkan pada kebudayaan populer hal itu bisa berakibat hadirnya melimpah konteks dan konteks persis dalam etalase pasar kebudayaan. Dengan kata lain, agen dan struktur kebudayaan produk moblisasi itu bukan sebagai produsen yang canggih. Tapi, akan bernasib seperti dalam sajak penulisnya Lohoraung yang sangat tragis: derap lelaki berbaris di pelabuhan/menjadi buruh pengangkut/barang milik orang lain.
Tragis. Para pemangku, pengampu dari daseng-daseng kebudayaan masa silam berderap dalam nasib perempuan Sundeng atau Moliere yang harus dikorbankan sebagai ‘’piramida korban’’ homo sangi homo tala dalam ritus modernisasi yang terlanjur diterima sebagai nasib kebudayaan. Apakah konten tragedi ini memang menjadi karakter yang bersifat given atau justru dipaksakan oleh hasil perselingkuhan dengan kebudayaan-kebudayaan sang liyan yang secara tidak disadari telah merampas keaslianya sejak dari pundak mitologi dan berakhir di kaki rasionalisasi kolonial?
Jika kebudayaan tragedi masih terus dipelihara dengan mengubah teks-teks lama dan merekayasanya ke dalam konteks-konteks mutakhir, maka deskripsi panjang dan melimpah dari tulisan ini harus diinterpretasikan ke dalam subyek pendukungnya. Ihwal etik-emik yang terkandung dari struktur teks-konteks dan konten harus disayat lewat heuristik, hermeneutika bahkan dekonstruksi.
Dengan mengikuti kritik Umberto Eco dalam Serendipities: Language and Lunacy(1989) bahwa kesalahpahaman yang terjadi di dalam suatu kebudayaan tertentu bisa disebabkan oleh faktor-faktor kebetulan timbal balik yang meliputi:
Penaklukan: para anggota kebudayaan A tidak dapat mengakui anggota kebudayaan B sebagai manusia-manusia normal (dan sebaliknya). Suatu kebudayaan terpaksa harus dimusnahkan jika tak mengikuti arus kebudayaan yang dianggap berada di atas kebudayaan tertentu.
Penjarahan budaya: para anggota kebudayaan A mengakui anggota kebudayaan B sebagai pembawa kebijaksanaan yang tidak dikenal. Kebudayaan A mungkin mencoba menaklukkan para anggota kebudayaan B secara politik dan militer, tetapi pada saat yang sama menghormati kebudayaan eksotisnya dan mencoba untuk memahami dan menerjemahkan unsur-unsurnya ke dalam kebudayaan mereka sendiri.
Pertukaran: proses saling memengaruhi dan menghormati dua arah ini tentu tercermin dalam kontak awal. Misalnya, antara Eropa dan Cina pada masa Marco Polo dan Matteo Ricci. Dua kebudayaan tersebut saling bertukar rahasia.
Umumnya yang tampak dari kesalahpahaman itu, Eco sangat menolak pengaruh eksotisme yang menimpa banyak sekali kebudayaan-kebudayaan asli di timur, termasuk Nusa Utara pada zaman klasik pun justru sudah mengalami apa yang disebut dengan pertukaran.
Dengan demikian, fase tragis itu bisa dipurifikasikan kembali dengan menemukan teks-teks otentik yang di segenap buku ini telah diuraikan sedemikian rupa. Kemudian, dari penelusuran teks-teks itu akan diperiksa lagi konteks-konteksnya, baik yang sudah membaur, misal dalam tradisi tulude, maupun yang bersembunyi atau menyamar di sela-sela migrasi kebudayaan kontemporer. Pelacakan ini musti tak selalu berlandaskan dekontruksi Foucaulian dalam the order of things (tatanan hal-hal) arkeologi pengetahuan sejarah kebudayaan Nusa Utara.
Akhirnya, sebagai simpulan ringkas atas purifikasi mitos Nusa Utara ini memberi kita banyak sumber-sumber pengetahuan kebudayaan yang telah ditimbun dan ditimpa oleh keterpaksaannya keluar dari zona otentik dan kesahihannya sebagai kebudayaan dengan kekuatan esoteris dan kehandalan sakralitas yang telah dijarah oleh kekuatan liyan yang hanya terpukau pada eksotismenya. Dari bau rempah, laut dan rites of passage tercermin pada ‘’klenik-masade’’(Tabukan) serta ‘’klenik-musi’’(Melonguane), purifikasi itu justru masih terjaga. Bahkan pada kain koffo dan musik ori, ruh kebudayaan Nusa Utara masih menyimpan esoterisme dan kesakralannya. Dan untungnya, saya telah menikmati itu lebih dari sepuluh tahun silam. Asli, di ranahnya. (*)
Discussion about this post