Alexander Pasikuali (79), sosok lelaki berjuluk “anak Ajaib”, dan pelopor dunia kebaharian Indonesia Timur itu meninggal dunia pada Minggu, (17/5/2020) dan dimakamkan pada malam hari itu juga sesuai protap Covid-19. Lebih dari sepekan kemudian hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan ia negatif Covid-19.
Oma Paulina Magdalena Bayang (70) meneteskan air mata. Hari ini Rabu (27/5), masih pagi sekali, perempuan sepuh itu seakan baru punya kekuatan untuk menelpon saya. Perasaan haru yang membucah di dada, terdengar dalam suara isaknya di ujung sana.
“Hasil pemeriksaan laboratorium sudah keluar. Opa negatif pirua,” ucapnya lirih. Mendengar kabar itu, sekilas saya tertegun. Namun kemudian mengucap syukur, karena keluarga Oma Paulina, anak-anak, dan cucu, akhirnya bisa bernafas lega dan punya keberanian untuk pertama kali membuka pintu rumah mereka.
“Matahari seperti baru bersinar kembali di rumah kami,” kata Oma yang sangat dikenal warga Sangihe di Manado ini karena, ia seorang pelatih seni tari tradisi “Gunde” dan pembuat kue tradisi “Tamo”.
Oma meminta kepada saya untuk memberikan seekor ayam kampung untuk dimasak, karena ia merasa pagi ini untuk pertama kali ia dan keluarganya punya keinginan makan kembali. Sebelumnya, kata dia, seluruh keluarganya dilanda kepanikan dan ketakutan yang hebat maka selera makan hilang.
“Sehari-harinya kami hanya boleh menangis dan terus berdoa meminta Tuhan menolong kepedihan hati kami,” ujarnya.
Nyaris dua pekan, rumah mereka di Tuminting Lingkungan III tertutup rapat. Mereka melakukan isolasi mandiri sejak Opa Alexander Pasikuali (79) meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Prof Kandou Malalayang, pada Minggu sore dan dimakamkan di lahan pemakaman Jemaat GMIM Nazaret Tuminting pada malam hari itu juga sesuai protap Covid-19.
Kendati Opa Alexander Pasikuali dimakamkan dengan protap Covid-19, warga sekitar sejatinya tak menjauhi keluarga mereka. Pimpinan Jemaat dan warga GMIM Nazaret Tuminting ikut mendukung, membatu, dan memberi penguatan ke keluarga ini. Dan saya adalah salah satu dari tetangga yang ditelpon Oma untuk menyampaikan kabar suka cita mereka atas hasil pemeriksaan laboratorium itu.
“Kami sekeluarga berterima kasih kepada semua tetangga, sahabat kerabat, warga jemaat, Kepala Lingkungan dan kelurahan, yang selalu ada mendukung kami. Kami juga berterima kasih kepada para tenaga medis yang telah merawat Opa selama ia di rumah sakit,” kata Oma Paulina.
Memang ada penyesalan mengenai cara pemakaman Opa, kata dia, tapi ketentuan yang ada sudah demikian, jadi kami hanya boleh mengucap syukur dan berterima kasih kepada pemerintah yang telah mengurus pemakaman Opa.
Diceritakannya, Opa Alexander sebenarnya sudah lama mengidap sakit ginjal dan komplikasi beberapa penyakit lain. “Sudah sejak tahun lalu Opa sering berobat ke dokter dan masuk rumah sakit”. Setelah beberapa bulan sembuh, sambungnya, pada awal Mei 2020, kondisi tubuh Opa kembali memburuk, beberapa kali ke dokter dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Umum Prof Kandau Malalayang pada hari Kamis (14/5/2020) dan empat hari kemudian dinyatakan meninggal dunia.
Kepergian Sang Anak Ajaib
Dua pekan sebelum kematiannya, sejumlah media nasional di antaranya The Jakarta Post, sebuah koran berbahasa Inggris dan Tribun Manado, telah melansir reportase mereka tentang sepak terjang Alexander Pasikuali sebagai sosok yang berjuluk “Anak Ajaib” dari Sangihe dengan karya-karya spektakulernya di dunia kebaharian Indonesia Timur. Siapa sebenarnya sosok anak ajaib yang videografer tentang dia ikut viral dalam tayangan Youtube ini?
Alexander Pasikuali, salah satu generasi “tukang” paling terkemuka dari pulau Sangihe. Siapa menyangka lelaki yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas III SD di sebuah desa, di pulau perbatasan Indonesia- Filipina itu dikemudian hari menjadi ahli rancang bangun kapal bertonase dari 100 hingga 600 GT (Gross Tonnage).
Saya sempat mewawancarai dia di rumahnya, kelurahan Tuminting Lingkungan 3 Manado, pada September 2018, putra kelahiran Lesa, Sangihe, 27 September 1941 ini mengatakan keahliannya membangun kapal tak lepas dari pelajaran pertukangan dari masa misionaris E.T. Steller. “Sejak usia 13 saya mulai belajar kerja pertukangan dari orang-orang tua lepasan ‘Sekolah Gunung Manganitu’ yang didirikan tuang Pandita Stellere,” ujarnya.
Setelah menguasai teknik pertukangan rumah, lelaki yang akrab disapa Opa Pasikuali ini mengatakan, ia mencoba mengerjakan pembuatan perahu, lalu berkembang ke pembuatan kapal bertonase besar di Sangihe. Sejak 1975 puluhan kapal buatannya meramaikan jalur pelayaran rakyat Indonesia Timur yang pada masa itu masih dalam keadaan kekurangan sarana angkutan laut antar pulau.
Kapal-Kapal buatannya diantaranya, KM Patmos, KM Kalvari, KM Sentosa, KM Agape, KM Agape Jaya, KM Verolis, KM Agape Mulia, KM Agape 1, KM Agape 2, KM Monalisa, KM Teluk Tahuna (Cargo), KM Agape star, KM Agape Indah, KM Ave Maria, KM Teratai, KM Getsemani. KM Agape Sejati, serta puluhan kapal Pajeko, Kapal Ikan Viber, Kapal Pesiar, Kapal Puskesmas keliling, dan berbagai jenis perahu.
Sebagai orang pertama yang meletakkan pola pembangunan konstruksi Kapal bertonase besar di Sangihe, Opa Pasikuali mengaku telah mewariskan keahlian pertukangannya kepada para muridnya. “Sekitar seratusan murid saya sekarang telah menjadi ahli pembuat kapal di berbagai daerah di Indonesia baik jenis kapal berkonstruksi kayu hingga yang berkonstruksi besi,” ujarnya. Dikatakannya, ilmu pertukangan yang dimilikinya harus diwariskan karena hal tersebut merupakan salah satu misi dalam pelajaran hidup yang diajarkan para pendeta di masa lalu.
Tahun 1979, Sinar Harapan menjulukinya “Anak Ajaib” dari Kepulauan Nusa Utara. Lansiran berita salah satu harian terkemuka Indonesia ini selain mengejutkan dunia Bahari dan Kemaritiman Indonesia, juga sampai ke telinga Presiden Soeharto. Istana Negara akhirnya menyiapkan penghargaan untuk sosok di balik layar yang berjasa memupus keterpencilan pulau-pulau di Indonesia Timur lewat kapal-kapal pelayaran rakyat buatannya. Tak banyak orang mengenal lelaki bersahaja yang kini berusia 77 tahun ini. Bahkan penghargaan yang diberikan Istana Negara tidak pernah sampai ke tangannya. Kendati jasa dan karya besarnya terkesan telah dilupakan begitu saja, Alexander tampak menjalani masa tuanya dengan penuh suka cita di rumahnya, bilangan Tuminting Lingkungan 3 Manado.
Di era 1970 hingga awal 1990, aktivitas pelayaran laut di Indonesia Timur baru dilayani beberapa Kapal Niaga yang dioperasikan PT Pelni. Pulau-Pulau Talaud hanya dikunjungi kapal antara 2 minggu hingga 1 bulan sekali. Kondisi semacam ini juga terjadi wilayah Indonesia Timur pada umumnya. Kurangnya sarana angkutan antar pulau ini menyebabkan aksesibilitas manusia dan denyut ekonomi kawasan Timur sulit merangkak naik.
Di era itu, sebut beberapa sumber, banyak wilayah pulau-pulau terluar di perbatasan Timur dan Utara Indonesia mengalami masalah kekurangan pangan, bahkan kelaparan, apalagi dalam kondisi cuaca estrim yang berkepanjangan. Kondisi muram dunia kemaritiman Timur ketika itulah yang mendorong Alexander Pasikuali – juga akrab dipanggil Opa Pena, karena pernah menjabat Penatua pada salah satu Jemaat GMIST di Sangihe ini— merintis pembangunan kapal-kapal kayu bertonase besar. Delegasi peneliti dan insinyur perkapalan dari ITB di tahun 1990 dibuat terkejut, bagaimana mungkin seorang lepasan kelas 3 SD (Sekolah Dasar) mampu membangun kapal niaga hingga bertonase 600 GT. “Saya jawab, kami berguru pada alam,” ulang Opa Pasikuali, saat menjawab pertanyaan para ahli perkapalan itu diseputar keseimbangan struktur kapal.
Ia mengaku tak mengerti dengan berbagai istilah dalam teknik pembuatan kapal. “Saya ini cuma sempat sekolah sampai kelas 3 SD. Jadi saat para insinyur itu bertanya menggunakan berbagai istilah saya tidak mengerti, saya cuma jawab, pengetahuan saya tentang pembuatan kapal ada di sini (menunjuk kepalanya dengan jari telunjuk),” kata Opa Pasikuali.
Saat memulai pengerjaan sebuah kapal, tuturnya, dia menggambar bentuk atau model beserta struktur hanya di atas tanah, lalu menjelaskan kepada pihak pendana atau pengontrak. Bila terjadi kesepakatan kedua belah pihak, gambar itu pula yang dijelaskannya kepada para anak buahnya yang disebutnya sebagai para murid didikannya.
“Satu kapal membutuhkan waktu pengerjaan antara satu sampai dua tahun. Kecepatan pengerjaan tergantung pada ketersediaan bahan yang dibutuhkan,” ungkapnya. Dikisahkan, ia memimpin langsung semua proses pekerjaan dari pemilihan bahan baku kayu di hutan, pebuatan struktur, interior dan pengecatan. “Kayu sebagai bahan baku kami dapatkan dari kepulauan Sangihe, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Saya sendiri ikut masuk hutan untuk memilih kayu yang tepat,” kata dia.
Kapal-Kapal buatannya itulah yang kemudian meramaikan jalur niaga laut antar pulau Indonesia Timur sekaligus merintis jalur yang menghubungkan Sulawesi Utara dengan pulau-pulau di Maluku hingga Papua. Jasanya sebagai perintis awal pembangunan kapal-kapal kayu bertonase besar yang berhasil menguak keterpencilan pulau-pulau di Indonesia Timur inilah yang menginspirasi Harian Sinar Harapan menjuluki Alexander Pasikuali sebagai “Anak Ajaib” putus sekolah namun berotak kelas insinyur.
Dulu, banyak orang bertanya kepada saya, termasuk para insinyur perkapalan, kisah Opa Pasikuali, bagaimana caranya kamu membangun sebuah kapal dengan hanya berlandaskan desain dan perhitungan struktur yang tersimpan di kepala saya sendiri? “Nuh juga membuat kapal seperti cara saya membuat kapal,” jawab saya.
Orang-orang pulau seperti saya, ungkapnya, sejatinya telah akrab dengan laut sejak masa kecil. “Kami berguru di tengah alam yang keras itu. Nuluri dan perasaan kebaharian kami ditempa dan diasah di sana. Kami sangat mengenal laut, seperti laut juga sangat mengenal kami,” ujarnya. Di lain sisi kata dia, anak suku Sangihe Talaud punya tradisi bahari. “Nenek moyang kami mampu berlayar hingga mencapai benua-benua yang jauh. Semua keahlian bahari itu diturunkan secara turun-temuran. pengetahuan saya dalam membuat kapal berasal dari ajaran tradisi bahari ini,” ungkapnya.
Sejak awal pengerjaan sebuah kapal paparnya, kami telah dituntun oleh ajaran tradisi berupa cara-cara pemilihan kayu, waktu penebangan, pengeringan, hingga pengerjaannya. Tradisi orang laut Nusa Utara sudah jaya sejak masa lalu. Sementara modal lain yang dimilikinya adalah keahlian pertukangan.
Andai era itu adalah masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Alexander Pasikuali barangkali telah diundang ke Istana Negara untuk menerima penghargaan, kendati ia bukanlah sosok yang berharap penghargaan dari karya-karya besarnya. “Penghargaan tertinggi sudah saya terima dari Tuhan yang mengaruniakan umur panjang sehingga saya bisa hidup baik-baik saja sampai setua ini,” ujar dia. Menikah dengan Paulina Magdalena Bajang, dikarunia 4 orang anak, adalah juga karunia indah yang lebih tinggi nilainya dibanding kertas penghargaan dari mana pun, ungkapnya lagi.
“Pengusaha perkapalan di Indonesia Timur era 2005 ke atas mana yang tak kenal bas kapal Simon Kumbe, yang mampu membangun kapal-kapal niaga dan cargo berkonstruksi besi baja. Simon adalah salah satu anak didik saya,” kata Opa Pasikuali.
Sebagai orang pertama yang meletakkan pola pembangunan konstruksi Kapal bertonase besar di Sangihe, Opa Pasikuali mengaku telah mewariskan keahlian pertukangannya kepada para muridnya. Dikatakannya, ilmu pertukangan yang dimilikinya harus diwariskan karena hal tersebut merupakan salah satu misi dalam pelajaran hidup yang diajarkan para pendeta di masa lalu.
Hanya yang menyedihkan dia di hari-hari tuanya adalah kebijakan pemerintah saat ini yang melarang para tukang pembuat kapal yang tak punya ijazah insinyur mengerjakan kapal-kapal bertonase besar. “Simon Kumbe mampu membangun kapal berkonstruksi besi baja yang besarnya di atas 1000 GT. Jangankan ijazah insinyur, Simon Kumbe bahkan tidak tahu membaca sama sekali. Saya mendidik dia keahlian membangun kapal sejak Simon masih remaja. Dialah yang paling pintar dari murid saya. Bayangkan bila kemampuan sehebat ini lalu dihadang oleh kebijakan pelarangan itu,” ucapnya. Menurut saya yang bodoh ini, kata Opa Pasikuali, pelarangan itu setara dengan upaya membunuh kearifan tradisi bahari yang sudah hidup ribuan tahun di benak bangsa kepulauan kita.
Kini Sang Maestro ini telah berpulang keharibaan Tuhan Penciptanya. Dan sebagaimana keluarganya, saya ikut meneteskan air mata.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post