Oleh: Solaiman Bakir
Sebuah pertanyaan akan selalu menarik selama jawabannya belum ditemukan. Setidaknya bagi seorang ilmuwan, sebuah pertanyaan merupakan Hypothesis, terhadap semua kemungkinan jawaban sebelum ia merumuskan formula yang final. Curiosity!
Ilmuwan, dan juga, saya kira semua orang, akan selalu menyelidiki segala seluk beluk dari sebuah pertanyaan tergantung dari tingkat curiosity-nya masing-masing. Semakin tinggi tingkat keingin-tahuan(curiosity) seseorang, maka semakin menarik bagi sebuah pertanyaan untuk dijawab, ditelusuri atau diselidiki. Nyata, bahwa rasa keingin-tahuan adalah sifat dasar manusia. Meski harus diakui, tentu tidak semua pertanyaan mesti dijawab atau ada jawaban.
Kira-kira lima tahun lalu, di suatu geladeri kampus tertua di Indonesia, dekat halaman parkir yang koridor pejalan kakinya ada tiang yang dilapisi batu-batu alam, usia batu alam ini mungkin tidak muda lagi, meski kalah tua dari usia batu alam pada dinding bagian bawah bangunan di sampingnya yang barangkali sudah terpatri sejak Bung Karno kuliah di tempat ini.
Kami, beberapa teman dan saya, duduk di bangku beton yang sengaja dirancang untuk mengelilingi pohon di tengahnya. Sambil menunggu jam pergantian kelas berikutnya, tak dinyana teman saya berujar, “seperti apa wujud rumah tradisional Sangihé itu? Sontak saja pertanyaan ini membuatku gelagapan. Saya belum tahu, tepatnya tidak tahu seperti apa wujudnya. Rasa malu menghantui perasaanku. Kalah pamer dengan teman di sebelah yang dengan fasih dan jernih mampu menggambarkan bentuk rumah tradisional daerahnya.
Namun, selang beberapa saat, segera rasa malu itu terbayar dengan, “meski saya tidak bisa menggambarkan wujud rumah tradisional daerah kami, tetapi kami masih menjaga bahasa tradisional, kami punya upacara tradisional, punya musik tradisional dan bla… bla.. bla…” jawab saya untuk menghindar dari maksud pertanyaan sesungguhnya. Satu demi satu disebutkan menggantikan jawaban atas pertanyaan wujud rumah tradisional Sangihé, bahkan sampai pada segala sesuatu yang memungkinkan gelar tradisional dilekatkan padanya, saya sebutkan.
Dapat dibayangkan bukan? Pikirku, tak mengapa, toh saya masih dalam tahap pencarian juga. Sebab apa yang ditanyakan oleh teman saya adalah pertanyaan yang sama, yang selama ini masih belum terungkap dan perlu pembuktian sejarah, setidaknya buat saya.
Pertanyaan ini kemudian yang mengantarkanku waktu itu pada pilihan untuk mengambil mata kuliah Arsitektur Vernakular. Pilihan yang berbeda dari pilihan mata kuliah teman-teman seangkatan pada umumnya. Dapat dikatakan, waktu itu hanya saya dari teman-taman seangkatan yang memilih mata kuliah ini.
Dan sekali lagi, entah motif apa yang mendasari mengapa teman saya bertanya demikian, namun bisa disimpulkan, mungkin pertanyaan teman saya berhubungan dengan pilihanku tadi. Padahal kuliah perdana untuk mata kuliah Arsitektur Vernakular di awal semester itu belum lagi dimulai, malahan sudah dibuat pusing dengan pertanyaan demikian.
Mestinya, ditempuh dulu kuliah Arsitektur Vernakularnya agar dapat menjawab pertanyaan teman saya tadi. Namun, kenyataan selalu penuh kejutan, bukan? Saya didahului oleh pertanyaan yang mungkin hanya bisa terjawab ketika sudah tuntas mengikuti kelas yang di ampuh oleh salah satu profesor terbaik di jurusan kami. Kelas Arsitektur Vernakular.
Di penghujung Januari tahun ini, kebetulan saya mendapat kesempatan, barangkali, lebih tepatnya dipercayakan menjadi lawan bicara pada salah satu program Radio Republik Indonesia (RRI) di kota kecil kami. Program ini boleh diakses melalui radio dan dipancarkan tidak hanya pada ibu kota kabupaten, tapi ke semua penjuru desa-desa baik di daratan bahkan di pelosok pulau yang ada di Kepulauan Sangihe.
Menyadari akan peran dan dampak Pers bagi masyarakat, membuatku begitu antusias. Saya sadar sepenuhnya bahwa apa yang akan disampaikan nanti pasti dapat memancing reaksi orang banyak, entah reaksi mendukung atau menolak. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, belum terdengar ditelinga saya reaksi penolakan orang banyak. Atau mungkin belum ada orang yang dengan terang-terangan menolak. Serta “mungkin-mungkin” yang lain, entahlah.
Kami, pemandu acara, saya dan satu teman lagi bicara soal yang sama, yaitu soal pertanyaan yang persis telah ditanyakan oleh teman kuliah saya lima tahun lalu. Sepanjang program tanya-jawab berlangsung, sebisa mungkin semua pertanyaan dari si pemandu acara boleh terjawab meski dengan tartatih-tatih dan payah menyederhanakan istilah-istilah teknis. Sesekali melemparkan humor ditengah definisi yang sukar. Suatu dialog, diskusi, atau sejenisnya jika diselingi dengan humor hampir dipastikan akan sangat berkesan dan sejurus dengan itu seolah-olah kita dibuatnya lupa dengan waktu. Lupa waktu! Dan hal ini persis terjadi pada kami bertiga. Dialognya tanggung karena dibatasi waktu. Sepertinya terlalu tinggi kadar humornya. Namun demikian, dapat disimpulkan, apa yang telah didiskusikan tidak mengurangi esensi dialog kami saat itu.
Sejak kejadian itu, saya mulai menengok kembali bukan pada objek arsitektur tradisional yang memang belum terjawab eksistensinya, tetapi lebih kepada sebuah kegelisahan, perlukah menanyakan arsitektur tradisional Sangihé, jika yang dimaksud dengan arsitektur tradisional Sangihé itu sebenarnya tidak ada!
Tak perlu disangsikan lagi bahwa para tetua adat, budayawan atau penjaga tradisi akan marah besar mendengar pertanyaan seperti ini. Tapi tunggu dulu! Sepertinya kita perlu mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan arsitektur tradisional Sangihé. Tepatkah term arsitektur tradisional Sangihé itu? Jangan-jangan apa yang mereka (tetua adat, budayawan dan penjaga tradisi) maksudkan sebagai arsitektur tradisional Sangihé bukanlah tradisional dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena kalau sesuatu dikatakan tradisional, berarti ada suatu cara, kebiasaan atau pengetahuan yang diwariskan turun temurun sehingga segala sesuatu tetap terjaga dalam bentuk aslinya.
Perubahan terhadap bentuk aslinya tidak signifikan atau dapat dikatakan hampir tidak ada. Jelas konsekuensi dari term tradisional seperti ini adalah wujud tradisional dalam bentuk aslinya yang hampir tidak pernah berubah. Paralel dengan term arsitektur tradisional Sangihé adalah adakah wujud arsitektur tradisional Sangihé yang belum mengalami perubahan bentuk aslinya sampai pada hari ini, di tahun 2020? Tidak ada.
Memang ada upaya-upaya dari beberapa orang, termasuk saya sendiri, untuk merekonstruksi kembali arsitektur tradisional Sangihé. Namun semua upaya itu hanya mewujud dalam bentuk sketsa dan miniatur yang diperoleh dari hasil membaca sumber-sumber referensi yang akurat, tidak lebih dari itu. Sebatas pada menyadur keterangan dari catatan-catatan referensi, memprosesnya dalam imaji lalu diwujudkan menjadi sketsa atau miniatur/model. Kenyataanya, hari ini tidak akan kita jumpai arsitektur tradisional di seluruh pulau dan daratan Sangihé. Tidak seperti di Toraja, Papua, Bali, Padang, Minangkabau, Jawa bahkan tempat-tempat lain yang tradisi membangunnya begitu kuat dan masih terjaga sampai hari ini. Bangunan mereka pantas menyandang gelar Tradisional. Karena bentuk aslinya masih awet dan tetap dapat ditemui sampai hari ini. Di masyarakat seperti itu, ada sebuah tradisi yang dijaga, terpelihara.
Lalu, mengapa di tanah Sangihé tidak demikian? Atas dasar inilah, mengapa kita perlu kembali lagi pada definisi tradisional. Jangan-jangan isitilah tradisional yang disematkan pada bangunan-bangunan kita dahulu kala menjadi tidak tepat bahkan seperti sebuah judul lagu, “salah alamat.”
Pada tahun 1969, seorang penulis besar di bidang arsitektur pernah menulis bahwa dalam perkembangan arsitektur saat ini (baca: tahun 1960-an), telah terjadi pengkotak-kotakan karya arsitektur. Baik di daratan Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan dunia. Yang pertama adalah karya arsitektur yang dirancang oleh arsitek untuk dan oleh kaum bangsawan, kaum elite. Dan yang berikutnya adalah karya arsitektur yang hadir tanpa sentuhan tangan seorang arsitek dan umumnya karya seperti ini dapat ditemui pada semua tingkatan lapisan masyarakat dan lintas generasi, sehingga lebih populer dari yang pertama. Sayangnya, karya-karya arsitektur semacam ini tidak pernah dibahas bahkan mungkin tak pernah ada dalam buku-buku sejarah arsitektur arus utama saat itu. Golongan yang terakhir ini dalam kaitannya dengan karya arsitektur dinamakan Folk Tradition.
Folk Tradition dipilah menjadi Primitive Building dan Vernacular Building. Meski istilah primitive mendapat sorotan di kemudian hari, namun demi kepentingan tulisan ini, saya tetap menggunakannya. Untuk Vernacular Building juga dapat diperas lagi menjadi Preindustrial Vernacular dan Modern Vernacular. Tentu, semua istilah ini menuntut uraian lebih dalam agar dapat dipahami. Namun agar tidak terlalu panjang dan melebar dari maksud sebelumnya, maka sekiranya cukup kalau hanya ke dua istilah yang akan diuraikan, yaitu Primitive Building dan Vernacular Building.
Primitive Building adalah bangunan yang dibangun oleh masyarakat primitive. Masyarakat primitive menurut pakar antropologi adalah masyarakat yang belum mengenal budaya baca-tulis seperti yang ada saat ini. Istilah primitive tidak merujuk pada intellegentsia dan kemampuan seseorang, namun cenderung merujuk pada organisasi sosial masyarakatnya, tingkat perkembangan ekonomi masyarakatnya bahkan kemampuan teknologi yang dimiliki suatu masyarakat tertentu, di masa lampau. Dalam masyarakat primitive ada nilai-nilai yang dipegang, disepakati bahkan dijalankan secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakatnya. Juga ada pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap hal atau permasalahan di dalam masyarakat seperti ini, akan menjadi urusan atau permasalahan bersama semua anggota masyarakatnya. Tak keliru rasanya jika tradisi membangun bisa hidup dan bertahan dalam masyarakat primitive. Tradisi membangun inilah kemudian terwujud dalam model bangunan yang telah disepakati dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga di kemudian hari model bangunan ini yang tanpa perubahan sedikitpun disebut dengan bangunan tradisional atau arsitektur tradisional. Konsep ini yang saya tangkap dari penulis besar yang sudah saya sebutkan tadi. Arsitektur tradisional tetap bertahan, meskipun masyarakat yang menjaga tradisi membangun ini sudah tidak pantas lagi disebut sebagai masyarakat primitve dalam arti yang sebenarnya.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Vernacular Building? Seperti yang diakui Amos Rapoport, penulis besar itu, bahwa belum ada satu definisi yang tepat dalam menggambarkan Vernacular Building. Cara yang paling baik dalam memahami Vernacular Building adalah dengan melihat pada proses bagaimana bangunan itu dirancang dan kemudian dibangun.
Pada tahun 1964, lewat sebuah pameran arsitektur yang berlangsung selama 3 bulan di the Museum of Modern Art, New York, Bernard Rudofsky telah menggemparkan dunia arsitektur, dengan menampilkan (display) sejumlah karya-karya arsitektur yang lahir tanpa campur tangan arsitek, di tengah-tengah hingar-bingar dan gemerlapnya trend arsitektur arus utama kala itu. Sebuah pameran yang merupakan simbol perlawanan sekaligus perjuangan untuk menempatkan karya arsitektur tanpa arsitek sejajar dengan karya arsitektur yang dirancang oleh arsitek.
Sesuai dengan tema pamerannya, yang kemudian menjadi judul sebuah buku, Architecture Without Architects, definisi Arsitektur Vernakular Rapoport kurang lebih sama dengan definisi Rudofsky tentang Architecture Without Architects, yaitu, suatu karya arsitektur yang tidak dibuat oleh arsitek tetapi dibuat karena berangkat dari sikap spontan yang umum ada dalam masyarakat. Arsitektur jenis ini dibangun oleh tangan tukang-tukang yang tidak mendapat pendidikan arsitektur.
Rudofsky bahkan belum tau harus menamakan apa Architecture Without Architects ini, apakah rural architecture, indigenous architecture, anonymous architecture atau vernacular architecture? Apapun istilahnya, kurang lebih, definisi ini sejurus dengan definisi yang dirumuskan oleh Rapoport, meski tidak selalu sama.
Pameran di MoMA, merupakan milestone atau momentum bagi Arsitektur Vernakular untuk menancapkan eksistensinya di dunia arsitektur. Berawal dari sini pula, Arsitektur Vernakular beroleh posisi yang sejajar dengan karya arsitektur arus utama, setidaknya mulai dibicarakan pada level literatur arsitektur atau wacana arsitektur yang berkembang di tahun-tahun berikutnya.
Vernacular Building atau Vernacular Architecture digambarkan sebagai sebuah model yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sehinga tidak dapat dihindari, dalam Arsitektur Vernakular akan banyak ditemui variasi-variasi bangunan dan perbedaan-perbedaan yang dilakukan oleh individu atau tukang. Variasi bentuknya lebih banyak dan beragam dari variasi yang ada pada bangunan tradisional. Selain itu, karakteristik dari Arsitektur Vernakular adalah kurangnya keinginan untuk membangun berdasarkan teori dan kurang mempertimbangkan nilai estetika. Terdapat juga kualitas “additive”, yaitu kebiasaan menambahkan sesuatu pada bangunan untuk meningkatkan kualitasnya. Serta, tidak khusus, maksudnya tidak terbatas pada satu tipe tertentu, malah sebaliknya, Arsitektur Vernakular bersifat terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan.
Sampai sejauh ini, perbedaan mencolok antara Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Vernakular dapat diamati pada dua hal berikut ini: variasi bentuk bangunan dan orang yang membangun. Pada Arsitektur Tradisional, variasi bangunannya sangat sedikit atau hampir tidak ada sama sekali dan umumnya dibangun oleh seluruh masyarakat atau komunitas di satuan wilayah tersebut. Lain halnya pada Arsitektur Vernakular, meski masih terbatas dalam jumlah yang sedikit, tetapi sudah ada variasi bangunan, dan umumnya yang membangun rumah atau bangunan adalah tukang-tukang yang terampil. Sebenarnya masih ada satu lagi yang perlu diungkapkan dalam kaitan dengan Arsitektur Vernakular, yaitu Modern Vernacular. Namun, alangkah baiknya kalau hal ini nanti diungkapkan pada kesempatan yang lain. Namun yang jelas, ada hubungan yang erat antara Arsitektur Vernakular dan Modern Vernacular.
Dengan memakai “kaca mata” Primitive Building dan Vernacular Building, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kita, generasi penerus, diharapkan mampu melihat bahkan memetakan letak arsitektur tradisional Sangihé apakah masih relevan dengan gelar Tradisional atau malahan telah beringsut pada Vernakular?
Konteks hari ini, kecuali bahasa tradisional, upacara adat tradisional, musik tradisional, tari-tarian tradisional dan segala sesuatu yang memungkinkan predikat tradisional dilekatkan padanya, boleh diimani bahwa rumah tradisional Sangihé sudah tidak akan dijumpai lagi. Tidak bersisa lagi. Kita mesti menerima kenyataan bahwa kita tidak dengan sungguh-sungguh menjaga dan merawat tradisi dari leluhur. Terlepas dari faktor kolonisasi, kita lemah pada tradisi membangun, tapi begitu kuat pada tradisi lainnya yang tetap lestari sampai hari ini. Mengapa begitu?
Semua teori punya peluang untuk berkembang dan terus berubah! Segala sesuatunya berubah! Persepsi manusia juga pasti berubah!
Akhirnya, permintaan maaf saya teralamatkan kepada semua tokoh adat, budayawan dan penjaga tradisi atas kelancangan pertanyaan yang dilontarkan. Harapan saya, pertanyaan seperti itu perlu disikapi dengan cara-cara dewasa dan terbuka demi membangun cara berpikir dan sikap kita agar semakin matang dalam berkebudayaan. (*)
Penulis, Magister Arsitektur dalam bidang Perancangan Arsitektur lepasan Institut Teknologi Bandung 2016. Dalam kesehariannya menjalankan praktek arsitektur. Menulis dan melukis adalah kegiatan yang dilakukan ketika senggang dari kerja profesi. Selain itu, menaruh minat juga pada dunia sastra yang mana, sedikit atau banyak telah mempengaruhi proses kreatif di bidang arsitektur. Tamat dari jenjang pendidikan Sarjana Arsitektur di Universitas Sam Ratulangi pada tahun 2012.
Discussion about this post