Oleh : Glen Latuni
Mungkin masih banyak yang belum tahu kisah ini. Namanya Ernst Traugott Steller seorang terpelajar dari negeri Prusia. Hidup dipertengahan hingga akhir abad 19. Seorang pemuda terdidik kreatif, trampil dan mandiri khas pemuda bangsa Aria. Diberi gelar Meistersinger ahli Seni Liris dan Tukang yang kreatif terdidik. Motto abdikan hidup sesuai Kasih Allah kan tercermin dari kasih kepada manusia, mengebu dalam lubuk hati seorang Calvinism Pietisme.
Di usia 20 tahun bersama 3 sahabatnya sangat bergembira menyambut tantangan hidup ke suatu pulau misteri yang orang menamakan kepulauan tangis atau menangis (Sangihe). Pulau dimana masyarakatnya sering meneteskan air mata oleh banyaknya tantangan hidup yang harus dihadapi. Arus dan gelombang laut yang besar bahkan Tsunamipun pernah menyerang mereka. Amukan abu panas percikan Gunung Api selalu mengacam kehidupan. Penculikan orang dari para gerombolan Bajak Laut Mindanau yang seakan pagar duri trus mengintai pergerakan mereka. Selain suku bangsa kuat seperti Cina, Portugis, Spanyol, bahkan Belanda sering membodohi dan memperalat mereka agar patuh dan mau berkorban untuk kepentingan kekuasaan mereka.
Bahkan gelar bangsawan dan agamapun digunakan sebagai alat memperkuat kekuasaan para penjajah. Inilah negeri yang mereka akan tuju. Negeri yang dilaporkan terdapat sekolah namun tak mengenal huruf dengan baik. Negeri yang masih hidup dengan poligami, kekasaran, jorok, buta huruf, dan sistem purbudakan. Negeri yang gantungkan kekuatan para dewa dengan ritus-ritus sebagai ekspresi penyembahan bergerak dalam bunyi permohonan lewat sesajen. Jikapun ada sekolah itu sudah terbengkalai karena tak ada guru atau orang yang mau melatih dan mengajar mereka.
Dengan bekal seadanya mereka berempat melakukan perjalanan menelusuri Ganasnya lautan atlantik melewati tanjung harapan lebih dari 3 bulan. Maut terus menghantui itupun baru di Batavia. Lebih dari 3 tahun mereka baru bisa menginjak negeri Sangi tepatnya 25 Juni 1857 itupun kedua temannya sempat merasakan ganasnya straat Talise yang sempat menenggelamkan perahu mereka. Menginjakan kaki di Pantai Manganitu dan disambut suara merdu nyanyian kelompok anak Sangihe seakan menjadi obat rindu dan membangkitkan inspirasi perjuangan bagi Ernes Steller sang ahli cipta lagu dan syair Jerman Meistersinger untuk abdikan hidupnya bagi mereka.
Sang guru mendirikan sekolah di Manganitu dengan sistem anak piara dan tinggal dididik di rumah asrama. Sang Guru kemudian mendirikan sekolah berasrama di dataran tinggi Manganitu yang disebut Gunung. Untuk mendukung misi ini ia didatangi sang pacar adik sahabat seperjuangan di Sangihe Schroder menikah dan berjuang bersama membangun kembangkan sekolah 2 tahun sesudah ia berada di sana.
Gunung bagi masyatakat Sangihe sangat bermakna religi. Tempat bersemayam Aditinggi Sang Penguasa Langit, tempat berlindungan, pembawa berkat. Tetapi Gunung juga dapat menjadi murka jika kita tidak patuh padanya, tradisi masyarakat percaya jika gunung meletus disebabkan amarah Sang Kuasa karena kesalahan yang telah dilakukan, untuk menetralisir bahaya itu tradisi masyarakat biasanya membuat ritual-ritual pemujaan.
Dipilih Gunung oleh Sang Guru Ernes sangat bermakna religi bagi pendidikan. Di samping kesuburan tanah dan ketentraman tempat belajar. Sang guru menanjapkan suatu prinsip bahwa I Gheghonalangi adalah Allah Pencipta langit dan bumi penguasa atas lautan. Takut akan Tuhan adalah permulaan Pengetahuan. Makanya pasca gunung Awu meletus akhir abad 19 banyak masyarakat yang bertobat dan menitipkan anak-anaknya didik dan dibina di sekolah Gunung. Maka mulailah proses inkulturasi kepercayaan tradisi dan ritualitasnya lewat pendidikan bertumbuh.
Di gunung anak didik dilatih dengan pekerjaan berkebun, berternak, dan menjual hasil kebun. Anak lelaki dibekali dengan ketrampilan pertukangan. Para wanita dilatih dengan ketrampilan masak dan menjahit. Tidak heran sejak pendidikan sekolah Gunung, tukang kayu dari Sangihe sangat terkenal ketrampilan dan kehalusan hasil pekerjaan mereka.
Perabot bahkan perahu nelayan dibuat rapi karena filosofi bahwa lakukan siatu pekerjaan seakan lakukan untuk Tuhan. Hasil kaum wanita Sangihe kan terlihat dari ketrampilan membuat kue, kualitas masakan, dan ketrampilan menata rumah terlebih kebersihannya. Hasil pendidikan gunung menghasilkan budi pekerti yang halus, santun bicaranya. Cara berpakaian, kebersihan rumah, dan banyak sikap hidup yang terlihat hingga sekarang ini. Padahal sebelumnya pendeta Brilman mengatakan masyarakat Sangihe mencerminkan masyarakat seakan tak beradap.
Kurikulum Gunung selain pelajaran sikap dan pengetahuan yakni perubahan pola hidup berdasarkan takut akan Tuhan, mereka juga diajarkan apresiasi untuk pujian pada Tuhan lewat nyanyian. Konsep Cronos Protos peninggalan Yunani yg dihidupkan di perancis lewat Minnesanger dan nyanyian Traubadors yang terus dikembangkan Sach di kota Numberg lewat para Meistersinger terus terlihat pada karya – Karya nyanyian Sangihe saat itu.
Proses akulturasi dalam pola sastra liris khas terserap dalam musikalitas masyarakat Sangihe. Hymmologi Kaum Maestersinger Jerman yang dengan pola Strofik (Pola Syair A – B) berbaur dengan pola sastra pada nyanyian Sasambo. Sastra-sastra ratapan dan cerita sejarah pada Kakalanto, Kakaumbene, dan Sasahola khas tradisi terkait dengan pola terbait . Pola silabis (satu nada untuk satu kata) mulai mewarnai menghiasi dan mengantikan gaya melismatis (gaya menyanyi dgn 1 kata gunakan beberapa nada) nyanyian tradisi Sangihe yang sering dinyanyikan dengan musik Tagonggong. Sastra liris dimana kalimat musik dan syair berjalan bergandengan tangan makin kental kelihatan. Semua diajarkan Sang Guru Ernes Steller di Gunung. Masyarakat Sangihe mulai bertrasformasi.
Muncul juga nyanyian berasaskan cinta phileo, cinta Eros dan Stroge mewarnai nyanyian rakyat di sana. Selain itu kepahlawanan terus diapresiasi dalam nyanyian-nyanyian masyarakat Makantari hingga berbalas sastra mebawalase Sambo. Semua bergembira. Berubah dari Sangihe menjadi Masyarakat penyanyi dari orang Sangihe menjadi orang Sanger. Karakter ini terus berkembang hingga banyak mengistilahkan dengan Masamper. Semua tercetus dalam seni menyanyi mebawalase Sabuah dan perlombahan pasca hidup sang guru.
Berada jauh dari rumah sangat menyiksa bagi seseorang juga bagi Pak Guru Ernes, tetapi cinta akan pendidikan dan perubahan pola hidup masyarakat Sangihe yang menjadi Sanger begitu cepat membuat sang guru tak mau menerima tawaran cuti untuk kembali. Pikirannya hanya satu cinta akan pendidikan dan cinta akan masyarakat Sangi.
Beberapa kali ia mengalami kesusahan yang sangat mendalam keterlantaran, kekeringan, perjuangan hidup dalam keluarga, sakit penyakit, bahkan ancaman Gunung Api, perombak Mangindanao, dan ganasnya laut Sulawesi yang pernah hampir merengut nyawanya masih belum ia utarakan dalam bentuk tulisan, tapi keberlangsungan pendidikan di gunung itulah yang membuat sangat sedih. Terlihat dari surat yang tulis pada 12 Mei 1862 saat situasi seakan meninggalkan mereka tersirat dalam nyanyian Sangihe Dalawulude Kimondo dan Karaung Pinemmembangeng yang karakteriatik musiknya bentuk dan struktur model karya Meisterainger dengan ide ciptaan adalah karya Sang guru.
“Karaung pinemmembangeng,
aha Taikasilo
Haghing susah Kahombangeng
Dudalairo
Su sangi, Mang su sangi
Sangi Suendumang
Marenggu Sarung Pesombang
Mawu rendingan”
(sungguh jauh di perasingan, tak mungkin terlihat, banyak susah yang dialami menimpa diriku. Menangis dan bersedih, tangis di dalam hati, lama lagi akan berjumpa, Tuhan sertailah) terjemahan Pdt. C. Tanaumang. Rimen 5.
Pendidikan gunung kian tahun kiat berkembang, walau tekanan dan ketidaksukaan pemerintahan Belanda terhadap orang Jerman juga sangat kuat akibat perbedaan politik hingga bermuara pada permusuhan saat perang dunia 1. Tetapi Sang guru telah mengabdi, telah berkorban segalanya. Waktu, tenaga, masa depan, bahkan keluarganya terus mengabdi dan berkarir melanjutkan perjuangan kedua orangtuanya. Nilai-nilai pendidikan telah tertanam dalam konsep masyarakat sangihe yang berstranformasi menjadi Sanger.
Para alumni dan terpelajar Sekolah Gunung mulai mengembangkan diri mewariskan nilai-nilai ini ke beberapa tempat lain di pulau Jawa, Toraja, Papua, Halmahera dan tempat- tempat lain sekitar Sulawesi utara, bahkan para alumni sekolah ini menjadi meistersinger pencipta nyanyian Masamper bakkan ada yang sudah ribuan karya. Sebagian memproduksi sastrawan hingga penghasilkan pujangga-pujangga hebat baik yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi, salah satu pujangga Nasional bertaraf J.E. Tatengkeng anak seorang alumni sekolah gunung. Pernah hasilkan karya nyanyian Gadis Taruna bersama Ismail Marzuki. Semua inipun hasil didikan Sang Guru Ernes.
Sekarang ia telah tiada tapi meninggalkan banyak karya. Penyalinan Kitab Injil ke dalam bahasa Sanger, cerita alkitab karya bersama sang Momo anaknya Steller serta kamus bahasa Sangihe karya Opo Steller dan banyak tulisan dan penelitian tentang tata bahasa dan kehidupan masyarakat Sanger telah di bantu. Mereka sekarang tinggal batu nisan di Pulau sangihe, jejak fisik pendidikan hampir tak terlihat lagi. Kamus hasil kerja siang dan malam tidak banyak dijadikan sumber belajar lagi. Tatanan dan tingkatan bahasa makin tak karuan, malahan ada yang tak bisa berbahasa daerah lagi. Haruskah semua ini kan menghilang? Dapatkah buku-buku ini dicetak lagi menjadi bahan belajar sekolah?
Hampir tak ada penghargaan bagi sang guru. Jangankan nama jalan, lorongpun tak sempat menghiasi. Jangankan nama gereja, pastoripun lama tak tertulis namanya. Jangankan nama perguruan tinggi nama TKpun belum dijumpai. Nanti akhir tahun 2019 baru terdapat nama gereja Steller. Sebulan lalu saya tersentak saat seorang petugas pemerintahan di Sangihe mengatakan bahwa diduga kuburan keluarga Steller telah kosong, tulang-belukang Sang Guru telah tiada. Jika ini benar sangat miris rasanya.
Tahun awal 1897 Sang Guru telah beristirahat. Sang guru tak pernah rasakan melihat lagi tanah kelahirannya. Ia mati dan berkorban bagi pendidikan di pulau Sangihe. Katanya seorang Brandenburg yang baik takkan meninggalkan tempat tugasnya. Seperti Gerbang Brandenburg di Berlin yang sempat ditahlukkan Napoleon Bonaparte, lambang Dewi Victoria digantikan oleh Dewi Nike dari Yunani, yang pernah terpisahkan oleh tembok Berlin dan sekarang telah runtuh kembali. Sekarang Gerbang itu menjadi gerbang perdamaian. Seperti hidup Sang Guru menjadi pendamai bagi pendidikan masyarakat Sangihe. Sangihe sekarang telah menjadi Sanger. Negeri tangisan telah berubah menjadi negeri penyanyi. Makanya pantaslah dalam Batu Nisan dari Sang guru menyatakan.
“Sebab itu kami menjadi utusan bagi pihak Kristus, seolah-olah Allah minta dengan lidah kami. Maka kami mintalah bagi pihak Kristus: Biarlah kamu diperdamaikan dengan Allah,” 2 Kor 5: 20.
Glen Latuni adalah dosen seni di Fakultas Bahasa dan Seni UNIMA
Discussion about this post