Oleh: Benni E.Matindas
Mengapa membaca puisi, yang [kata orang:] “bahkan bagi penulisnya sendiri sering tak jelas”, dan pasti tak menghasilkan uang apalagi kekayaan dan kemewahan yang kini kian diyakini sebagai kebutuhan obyektif manusia normal yang berarti mereka yang sibuk buang waktu dengan puisi tanpa menghasilkan uang bukanlah manusia yang normal?
Itu adalah pertanyaan yang sekaligus sudah mengandung jawaban-jawabannya yang paling lazim diberikan selama ini. Pertanyaan dan jawaban dari setiap anak manusia yang sedang mencari hakikat dirinya — yakni mereka yang kendati sejak Plato sudah dilihat sebagai insan-insan yang justru akan mengupayakan pencariannya itu melalui aktivitas berpuisi [ingat saja ketika usia remaja betapa gemar dan nikmatnya Anda mengisi lembaran diary dengan ungkapan rasa yang sedemikian puitis] tapi kemudian lantaran jawaban-jawaban yang lazim tadi telah membuat umumnya orang mesti menjauh dari puisi.
Apalagi bagi mereka yang merasa sudah menemukan hakikat hidupnya, misalnya mereka yang sudah meraih jabatan kadis, bahkan kadis kebudayaan maupun kadis pendidikan, pastilah itu sudah merupakan pertanyaan yang terlalu aneh sekaligus jawaban yang sudah teramat pasti.
Alasan yang sangat etis bahkan bernilai mulia dari seorang kadis kabupaten untuk menegaskan tak adanya waktu untuk puisi yakni kurangnya waktu, sibuk dengan tugas di kantor. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana bisa Ali Khamenei yang pemimpin tertinggi Republik Islam Iran sekaligus imam tertinggi agama di negaranya sepanjang hidup bisa dua kali seminggu aktif dalam diskusi puisi sepanjang masa.
Sejak tiga-puluhan tahun lalu setiap anak di pedalaman Malaysia yang memiliki ide puisi ataupun cerpen langsung difasilitasi oleh dinas terkait pemerintah di tingkat kecamatan untuk diterbitkan karyanya itu sehingga sangat mendorong setiap penulis untuk bertumbuh-kembang secara optimal. Apalagi dengan diiklimi pelbagai faktor penunjangnya, seperti perpustakaan selengkapnya di setiap distrik yang sekecilnya. Maka jangan heran kalau kekayaan uang dan ketahanan kurs nilai mata uang kita sedemikian kalah dibanding Malaysia yang kendati saat berdiri sebagai negara pada 1960-an dilihat oleh Indonesia sebagai “negara boneka” yang samasekali tak berkepribadian dan maka tanpa masa depan yang berarti.
Sekarang ternyata kita mengexport warga negara kita sendiri buat jadi babu mereka yang rawan penganiayaan, dan kita mengimport dari Malaysia para penganjur terror bom bagi bangsa kita sendiri yang padahal di sana sudah tidak laku. Berpuisi memang bukan untuk jadi miskin.
Apa manfaat puisi? Bagaimana puisi berproses memajukan peradaban? Untuk menjawabnya saya tidak menggunakan Rorty walaupun filsafatnya yang menyimpulkan status puisi sebagai juruselamat peradaban itu sedemikian kokoh berkat hasil pengembangan dari sekaligus sejumlah filsafat perkasa dari Amerika Utara maupun Eropa mutakhir.
Juga walaupun pengandalan Rorty pada puisi itu laksana penggenapan nubuat Adorno dan Horkheimer ketika mereka menyatakan bahwa dunia yang menuju kehancuran total ini sudah samasekali tak punya jalan keluar kecuali menemukan jalan yang samasekali lain (ganz andere) yang [menurut Adorno:] terlahir dari rahim seni. Rorty pun adalah penggenapan hasrat jiwa semesta yang kedatangannya sudah dinubuatkan sedemikian lama—yang tercatat secara monumental saja ada sangat banyak, antaranya Goethe, Coleridge, Shelley, Carlyle, sebetulnya juga Marx, Nietzsche, Bergson dan sangat banyak lagi suara yang berseru-seru di padang gurun zaman untuk meratakan jalan bagi kedatangannya.
Saya tak menggunakan teori Richard Rorty walaupun paling eksplisit menjelaskan bahwasanya puisilah juruselamat dunia dari kegagalan sistem rasio makhluk manusia untuk mencapai kebenaran. Kegagalan rasionalisme serta modernisme yang sudah lama ditunjuk dengan amat tegas oleh Goethe, Nietzsche, Simmel, Bergson, Horkheimer, Marcuse, Krishnamurti, sampai Derrida, Deleuze, Benjamin, dan Foucault, dan tentu saja Rorty sendiri.
Tapi saya tak menggunakan Rorty karena penjelasannya untuk pengandalan puisi itu masih merupakan puisi. Belum sebuah teori yang cukup konvensional agar kita semua, termasuk para kadis dikbud, bisa duduk bersama dengan bahasa praktis programatis buat membuahkan hasil-hasil konkret.
Maka saya menggunakan Dewey. Ada sampai beberapa alasan mendasar untuk memilih John Dewey (1859-1952). Ia scientist tulen — presiden pertama asosiasi para professor se-Amerika — yang bahkan mengajurkan saintifikasi iman. Menulis seratusan buku filsafat, ilmu pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain. Karya-karya ilmiah berupa makalah dan buku hanya dari selasatu periodenya saja, yakni yang ia hasilkan semasa di New York, daftar judulnya saja sudah berupa satu buku setebal 125 halaman! Menurut saya, pragmatisme Dewey adalah materialisme-materialistis, materialisme yang lebih materialis daripada Feuerbach, Marx ataupun Hume.
Kalau Marx adalah meterialisme yang terpaksa harus memaksa diri, sehingga pasti hasilnya melantur; Hume adalah empirisme yang justru[!] spekulatif atau bahkan empirisme[yang justru]idealis. Dewey adalah struktur fondasi-kokohnya benteng materialisme. Saya memilihnya karena sejumlah faktor yang membuat ia boleh ternilai ‘berseberangan’ dengan alam intuisi seni, sehingga omongannya tentang seni pasti sudah merupakan hasil saringan berlapis-lapis dan sukar salah.
Dalam teori estetikanya, “Art as Experience” (1934), Dewey yang ahli pikir tentang pikiran manusia itu menyimpulkan seni sebagai alat prediksi yang mampu memberikan apa yang tak mampu ditemukan oleh pemetaan ataupun statistik, mampu menyinggung pelbagai kemungkinan hubungan antar-manusia yang tak mampu dicapai oleh hukum, aturan, tatanan, maupun segala wejangan. Bahwa Dewey banyak merujuk pada estetika dari penyair Romantik Inggris Percy Bysshe Shelley itu saja sudah berbicara terlalu gamblang betapa tingginya seni ia andalkan bagi peradaban umat manusia.
Selasatu fungsi utama puisi untuk pembebasan. Membebaskan manusia dari segala bentuk dominasi kesadaran [yang menurut Marx sampai Habermas: proses alienasi, manusia memenjarakan sendiri kemanusiaan sejatinya], segala bentuk belenggu ideologis [yang menurut Adorno sampai Illich: proses subhumanisasi serta reifikasi, manusia mencacatkan sendiri keutuhannya], segala bentuk hegemoni budaya [yang menurut Gramsci sampai Fanon: manusia mengutuk diri sendiri sebagai niscaya bukan makhluk yang layak berpikir], segala bentuk pembekuan nalar oleh sistem kepercayaan [yang menurut Kant sampai Toynbee: manusia menghentikan evolusi alam sehingga tak pernah mampu mencapai peradaban yang dewasa, selamanya terbenam dalam kegelapan].
Betapapun tidak benarnya suatu falsafah yang mendominasi kesadaran, dari dalamnya penyair toh dapat memunculkan kebenaran. Puisi Yehuda Amichai (1924-2000) berikut ini adalah khas falsafah post-modernisme yang bukan saja salah namun sesungguhnya sudah terlalu memuakkan. Tetapi, berbeda dengan uraian para filsuf posmo, sang penyair bisa sempat menyisipkan ke dalam sistem keinsafan kita bahwa setiap klaim kebenaran memang mengandung potensi bahaya bagi kebenaran yang sebenarnya kita butuhkan.
Simaklah Yehuda Amichai, penyair Israel itu:
Dari tempat dimana kita benar kembang tak pernah tumbuh [bahkan] pada musim semi Tempat dimana kita benar keras dan dipadatkan.
Seperti pekarangan. Tapi keraguan dan cinta
menggemburkan bumi, seperti tikus tanah
seperti bajak. dan ada bisik yang akan terdengar di tempat ini di celah-celah puing rumah.
Betapapun sulit mengais setitik kebenaran dari tempat dimana segala sesuatu serba artificial, terbungkus kosmetika gemerlap kemewahan kota, budaya yang termanipulasi, dan bahkan ketika pribadi kita sendiri terlanjur hanyut tergulung di dalamnya, seorang penyair tetap sanggup memetik kristalan hikmat dari kejernihan yang barangkali hanya tampil sekilas di pojok kesadaran.
Juga kendati bagi Jufry Suak yang menjalani krida kepenyairannya dengan kredo seorang pelukis sketsa —hanya mengambil impresi yang baginya paling menghujam — sehingga sebetulnya kian sukar kita mengharap untuk ia bisa memetikkan butir kebenaran itu buat kita, karena untuk itu ia harus melakukan kontemplasi khusus dan tidak sekadar menggoreskan sketsa. Tetapi terbukti ia sudah petikkan hikmat yang penting itu, buat kita dan peradaban sejati masyarakat kita. Simaklah puisi Jufry Suak “Mimpi-mimpi di Kalibata City”:
Di Kalibata City kita bangun mimpi bersama
Penuh warna-warni dan harapan berdarah
Seperti dunia hanya punya kita
Di Kalibata City kita merangkai mimpi mimpi
Dengan kepedihan dan dusta yang tak pernah berakhir
Tapi kita sepertinya suka semua itu bagai kanak-kanak
Kita menulis apa yang kita suka dan apa yang kita benci
Tapi dunia tak semudah menyusun sebuah kalimat
Kita perlu keringat dan airmata pada setiap tapak
Agar jalan tetap lempang dan harapan tetap ada
Ah, kita segerombolan kanak-kanak
Menulis mimpi-mimpi di kafe kafe Kalibata City: mungkinkah?
Budaya yang terhegemoni adalah malapetaka kemanusiaan, karena nyaris mustahil disembuhkan. Berbeda dengan segala panyakit jiwa yang bisa tertolong oleh terapi psikoanalisis, mengungkapkan sejarah penyakit itu, yang memang beralur relatif sederhana bahkan cenderung linear, di dalam kesadaran pasien itu sendiri. Dalam hegemoni budaya sejarah sudah sedemikian panjang, amat kompleks dan sudah kusut malimbuku, bahkan sering pelaku terapi itu sendiri yang mengalami ketersesatan hermeneutis. Yang mereka kira terapi adalah langkah politis, atau budaya tapi sekadar budaya-kontra, ataupun semacam langkah eskapis ke dalam reideologisasi.
Hampir dua dekade akhir ini sejumlah budayawan Minahasa bertekad mewujudkan renaissance budaya bangsanya, tapi yang mereka lakukan bukan terutama seperti yang dicanangkan Petrarca dkk pada masa Renaissance Italia dulu, tapi malah sebaliknya, itulah akibat parah dari budaya yang terhegemoni.
Selasatu alur dari gerakan Renaissance Minahasa itu mewujud berupa budaya kontra (counter culture); antara lain dengan menerbitkan sejumlah puisi dengan bahasa Manado – yang kendati pula hanyalah lingua-franca regional di kawasan Timur Indonesia yang dikonstruksi dari dalam budaya Ternate dengan mengambil sebagai bahan baku sejumlah kosakata Melayu yang pula sudah dikacau-balaukan oleh Portugis dan Walanda, sehingga hasilnya jauh lebih payah dibanding hasil konstruksi orang gunung Minahasa pada bahan baku yang sama karena sebagaimana kata pakar bahasa Remy Silado bahwa bahasa Minahasa sudah sangat canggih bahkan melampaui struktur bahasa Inggris. Orang gunung Minahasa mengkonstruksi kata ganti orang pertama tunggal dan jamak serta orang kedua tunggal dan jamak secara amat tertib sehingga sesuai asas bahasa sebagai alat komunikasi. Dari bahasa pendatang “aku”, “kami”, “kau” dan “kamu” lahirlah “niaku”, “nikami”, “nikou” dan “nikamu”. Tidak seperti Melayu Manado: “kita”, “torang” (dari “kitorang” dari “kita orang”), “ngana” dan “ngoni”. Padahal “kita” bukan orang pertama tunggal.
Akibatnya penutur bahasa Manado sangat sering mengalami kecanggungan dalam mengucap “kita”, sampai para pendatang dari Ternate dan Sangihe-Talaud di Karame, Kampung Ternate, Sindulang dan Tuminting meng-create bahasa slang Manado dan menyumbang kosakata “atik” [ejaannya dibalik] dan orang Kampung Slam di Singkil menyumbang kosakata “ana” [dari bahasa Arab] yang harus langsung diterima sampai hari ini lantaran canggungnya “kita”. Begitu pula sekarang orang Manado mengalami kecanggungan menyapa orang tuanya dengan “ngana”; sementara orang gunung Minahasa bisa dengan mesra dan khidmat menyapa Tuhannya dengan “Nikou” — “Nikou mokan kumehe lalan, sa aku lewo wia Nikou….”
Dan budaya kontra oleh kelompok mayoritas jelas adalah ironi, sudah mengalahkan diri sebelum bertarung. Hendak menyembuhkan malapetaka dengan menambah parah malapetaka itu sendiri. Tapi ternyata penyair Jenry Koraag — yang sempat ikut menulis puisi bahasa Manado — bisa membebaskan diri dari malapetaka hegemoni serta ironi kultural itu. Ia tampil menyeruak dari dalam tindihan hegemoni itu, dan dengan jernih menemukan jalan bijak, realistis dan terukur. Simak puisi “Mawale” Jenry Koraag yang luarbiasa ini, yang jelas-tegas sudah pula terbebas dari sekadar counter culture, apalagi segala reideologi (mengenakan kembali kesadaran palsu). Puisi yang an sich sempurna bagi perspektif estetika saya: aku ingin pulang tapi bukan kepada batu karena batu tak mampu mengisahkan segala kisah tentang sejarah aku ingin pulang tapi bukan kepada pohon karena pohon tak bisa tuturkan liku jalanan panjang cermin lalu aku ingin pulang tapi bukan kepada gunung karena gunung hanya diam tak dapat cerahkan coretan alam.
Aku harus pulang kembali ke pangkuanmu
dimana ibu selalu menjaga dengan cerminan yang tak akan retak membawa aku di tengah sodara bermain dan menyanyi sebagai bagian cerita alam.
Aku ingin pulang dengan membawa kegetiran untuk kurajut pada dinding rumah dan kupaku pada tiang sejarah bahwa kemarin telah usai tanpa bekas.
Aku ingin pulang dan membangun rumah hati
di antara gunung dan pohon di atas batu moyangku
sebagai awal hari sisa dari perjalanan ini.
Apalagi kalau kita hanya terjebak dalam soal teknis yang kurang tepat. Itu masalah amat kecil, dan penyair tak pernah terhalangi untuk tetap bisa menyuntingkan bunga anggrek kebenaran genuine dari rimba belantara kemurnian. Misalnya Jamal Rahman Iroth. Walau ia mirip dengan Iverdixon Tinungki dalam hal keduanya terobsesi untuk jadi ilmuwan melalui puisi. Tentu saja memperkaya data dalam setiap tulisan itu penting, tetapi puisi pantang dijadikan ruang pameran pengetahuan. Banyak sekali sastrawan besar Indonesia yang pernah mengidap penyakit kronis ini (Sitor Situmorang sampai hari tuanya tak pernah sembuh). Sekadar meminjam sepotong konstruksi nalar dari estetikus Susanne K. Langer bahwa seni adalah “the obyectification of feeling, and subjectification of nature”, maka sajak-sajak Jamal dan Iver sering terperangkap dalam keasyikan memperkaya data tentang nature yang memang harus obyektif, sehingga akibatnya imbangan sentuhan subyektifikasinya jadi tak berarti, laksana menghiaskan sekadar sesendok kecil ice cream di atas pisang goreng yang baru diangkat dari dalam rumping minyak mendidih. Apalagi untuk sempat mengilmupengetahuankan perasaannya sendiri, itu semestinya sudah jauh-jauh tergusur sedari awal proses kreatif. Pada akhirnya sang penulis hanya selesai sebatas pengrajin kata-kata.
Namun ternyata tidak begitu. Sajak-sajak Iver dan Jamal, kendati sering tampil mirip informasi kaya data, namun tetap kokoh menancapkan keindahan dari kebenaran melalui bahasa mereka, seraya selalu trampil memperindah bahasa mereka itu.
Nikmatilah keindahan dari kebenaran Jamal Rahman Iroth dalam “Malam Yang Terpagikan”: biar kupikul segenap desah masih bersarang pada ringkih ranting-ranting
agar senja hari ini tak melengkungkan tekadmu dan mari bincangkan senja baru senja teduh sedamai kuncup- kuncup padi hijau usai badai menggeleparkan anganmu usai petani membakar sekaligus sekam dan lumbung mereka agar jiwa-jiwa sudi ditanami benih keringat
dan segenap harap mekarlah lalu berbuah bahkan sedikit riak di kolam nilaku mengabarkan abjad-abjad itu belum terhapus dari keningmu sederet aksara menetas dalam dekapmu lalu tunas-tunas puisi berangsur tumbuh lalu pada daun-daun dengan sisa bias cahaya kutitipkan kenangan singkat ini biar membekas rindu di altar semesta untuk malam yang terpagikan bersamamu
[*]
Discussion about this post