Lendu, jenis burung merpati hutan yang dibicarakan dalam syair Lide atau Oli. Di pulau-pulau Nusa Utara, suara burung ini diartikan sebagai kabar duka cita. Ini sebabnya Lide disebut musik beragam kesedihan.
Demikian musik, susastra dan tari dari era pra sejarah di kepulauan ini selalu berhubungan dengan ritual. Sebuah dunia kearifan manusia masa lampau yang terkadang sulit diterima dan dimengerti dalam logika modern.
Di masa lampau para penganut ritual Sundeng, lagu-lagu lide akan mengiringi gerakan penari-penari perempuan. Mereka menari mengelilingi korban manusia yang akan dibunuh dalam ritual itu.
Mereka menari dalam gerakan masing-masing, imajinatif dan spontan. Tangan bergoyang dan kaki disentak-sentakan ke tanah sambil mengelilingi korban sebagai tradisi mengantar roh perempuan muda yang dikorbankan kepada sang pencipta, agar dosa dan salah termaafkan dan hidup terhindar dari bencana.
Sumber lokal mengatakan, Lide telah dikenal sejak zaman kerajaan atau sekitar tahun 1300 silam. Namun menurut para peneliti, musik tradisi ini sudah ada sejak 5.000 tahun. Secara fungsi, musik Lide mempunyai makna yang luas seiring sirkulasi kebudayaan lokal pada masa purba (dinamisme) hingga era masuknya agama-agama semitik.
Di Nusa Utara, musik Lide sudah jarang di dengar dan jarang dipertunjukkan. Sebuah paduan irama Arababu, Bansi, Sasesaheng, Salude dan Oli. “Lide berasal dari masa yang jauh,” ungkap Rendy Sasela, salah seorang seniman Sangihe. Bahkan sebelum kerajaaan-kerajaan di Nusa Utara berdiri pada abad ke 16. “Lide adalah music untuk ritual Sundeng dan upacara adat lainnya. Sebagai music ritual, Lide dipandang sebagai media penghubung manusia dan sang penguasa alam,” kata dia.
Data yang dikemukakan laman Yayasan Sampiri mengatakan, musik Lide — yang popular disebut musik Oli– saat ini masih dimainkan oleh masyarakat di Desa Manumpitaeng, Kecamatan Manganitu. Sementara di daerah lain di Nusa Utara, Lide telah punah. Atas ancaman kepunahan itu, Yimbure Kalenghigang, salah seorang pewaris musik Oli yang masih ada, sejak lama telah menyatakan kekhawatirannya.
Dalam Lide, selain unsur music, juga terdapat seorang perempuan yang menyanyikan syair-syair lagu tua berupa Papantung atau Medenden. Tradisi music semacam ini menurut I Wayan Dibia, penciptaannya lahir sebagai bagian dari keperluan ritual atau upacara adat. Dalam tata kehidupan seperti itu rasa dan semangat kebersamaan menjadi titik sentral.
Musik lide adalah sejenis musik ansamble terdiri dari 8 jenis irama lagu purba. Jenis irama yang masih ada di antaranya, Lagung Lide, Lagung Laogho u Lendu, Lagung Elehu Ake, Lagung Sangi u Wuala. Di laman Kebudayaan Indonesia ORG, Malomboris, seorang pemerhati music Lide dari kampung Manumpitaeng, mengatakan kendati sudah dinyatakan punah, di Sangihe masih ada orang yang bisa membawakan lagu-lagu Lide. “Selain lagu, terdapat juga tari pada ritual sundeng yang sudah dinyatakan punah, tari tersebut bernama Tari lide,” ungkap Malomboris.
Jenis irama lagu yang merupakan pengembangan dari lagu purba, kata dia, diantaranya, Lagung Bowong Buas, Lagung Balang, Lagung Sahola. Dikatakannya, setiap jenis lagu memiliki latar belakang penciptaan yang berbeda. Yang unik dari irama musik lide yaitu, irama yang sudah diturunkan secara turun-temurun tanpa perubahan secara signifikan. Perbedaan musik lide hanya terdapat pada tempat di mana musik itu dikembangkan. Irama lagu musik lide di daerah sekitar pulau Mahumu sebagaimisal, hanya menggunakan 3 irama lagu, sementara di daerah lain menggunakan 4 irama.
Musik lide merupakan paduan dari beberapa jenis alat musik yang dimainkan secara bersamaan menjadi sebuah ansambel. Pada perkembangan salanjutnya musik lide mulai dipadukan dengan gong atau dalam bahasa Sangihe disebut Nanaungang. Kegunaan gong adalah pengendali tempo lagu.
Dari keempat jenis lagu yang ada, pada dasarnya mempunyai nuansa kepedihan. Lagu lide merupakan lagu inti atau lagu pembuka yang dapat menyertai penyembahan agar cepat sampai kepada sang penguasa alam dalam bentuk permohonan.
Lagu Elehu Ake, mengetengahkan tentang bentuk permintaan dan permohonan seperti air yang mengalir. Lagu Sangi U Wuala (Tangisan Buaya) berkisah tentang ancaman terhadap kehidupan manusia yang digambarkan sebagai rupa Buaya. Masa lalu orang-orang Sangihe meyakini adanya Upung (leluhur) Manusia dan Upung (leluhur) Buaya. Upung buaya berjalan dengan dua kaki menggunakan ikat kepala merah. Upung buaya ini disebutkan memiliki kekuatan yang sangat sakti sehingga apa yang dia minta harus diberikan. Jika permintaannya tidak dipenuhi maka akan ada korban yang ditelan.
Lagu Laogho u Lendu , berkisah tentang kematian kerabat terdekat. Lagu lendu diambil dari nama salah satu jenis burung yang hidup di Sangihe. Burung ini adalah satu-satunya burung dalam kehidupan budaya Sangihe dianggap sebagai perpanjangan tugas penguasa alam untuk mengabarkan kematian. Selain Lendu ada juga Kaliyaow, burung yang memberi tanda kehadiran kerabat dekat dari tempat jauh.
G. Makamea mengatakan dasar dari tari lide adalah tari tunggal yang ditarikan bersama. Dilihat dari unsur tari maka tarian ini dikelompokan sebagai tari komunal. Tari komunal adalah suatu peristiwa pertunjukan tari yang melibatkan masyarakat besar. Tari komunal mengandung prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan atau solidaritas terhadap kepentingan bersama.
Setelah masuknya agama Islam dan agama Kristen di Nusa Utara maka pengorbanan manusia dalam ritual Sundeng diganti dengan binantang berupa babi. Seekor babi dengan persyaratan yaitu babi tambun besar berwarna hitam keseluruhan dari unjung kepala sampai ujung kuku. Pengorbanan binantang kemudian diganti lagi dengan sajen berupa ketupat jenis bebatung kambing, salah satu jenis ketupat dari 16 jenis ketupat Sangihe. Ketupat kemudian diganti lagi dengan nasi kuning yang disajikan di atas piring besar yang disebut dulang.
Editor: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post