Bilamana perahu vassili sampai di teluk kahakitang// akan dilihatnya sebuah batu tepat di tengah pintu// ia harus memilih kiri atau kanan buat menyisih// dan vassili akhirnya akan gembira bisa berlayar di sini. Kendati sebentar ia barangkali akan mati// ia akan mati tanpa memikirkan harta benda// bau vodka, derit kereta es di tengah salju// atau nama agungnya dipahat di sebuah prasasti// hanya terbaca dimusim gugur dan semi. Di bentangan pasir putih itu// akan dilepaskannya khalat, jaket bulunya// lalu menikmati akhir usianya dengan riang// karena kini ia bisa mati sebagai vassili.
Saat pelepah nyiur menarinari di bulan November// di bawah matahari pulau yang selalu hangat// tak ada bising desing kereta// hanya burungburung menguji kekuatan sayapnya
terbang sejauh mungkin menimba pengalaman ke alam semesta//lalu kembali ke sebatang dahan menyanyikan suarasuara kemenangan// vassili akan lebih berbahagia jadi seperti orangorang pulau// tak punya tanah luas selain laut dengan sagala ombakombaknya// ombak membentuk wujud manusiamanusia sederhana// tapi tangguh mengarungi hidup nyata. tak menipu dan akan pulang ke rumah Tuhan tanpa memikirkan apaapa// kecuali cinta dan kebersamaan dalam perahu// selalu setia melintas di ujung teluk indah itu.
Ia akan berbaring dengan tenang// di antara semaksemak tak menyimpan pilu// sambil mendengar semilir angin yang diberikan laut// laut yang kadang teralas bagai minyak// minyak yang bisa dibayangkan dari getah kayu hutan teliantinsky// dulu memerangkapnya dalam kabut dan maut// lalu ia akan membagi kepada kaum miskin seluruh apa yang telah ditipu dan dirampasnya dari mereka// memilih murni mengalana meninggalkan cuaca suram// kebekuan hati mencengkramnya di astapovo// lalu hidup dalam kejernihan di sini// seperti anastasia ihklas memberi cinta// buat seseorang yang ingin hidup meski hanya sekali. (FRAGMEN 66: Vassili).
Narasi puitis di atas, saya tulis saat berperahu menuju Dalako, sebuah perkampungan kecil di pulau Kahakitang pada 1988. Saya membayangkan, andai kata Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky, sastrawan Rusia terbesar itu melintas ke pulau ini, maka pendiri eksistensialisme itu tak akan menampilkan tokoh-tokoh dalam cerpen dan novelnya dalam keadaan yang putus asa dan pikiran yang sangat ekstrem. Sebab, Siapa pun yang bersentuhan dengan negeri 124 pulau ini pasti akan meneguk keindahan nilai kebaharian mereka. Buah-buah ranum dari carang-carang pohon susastra yang subur dan bernas yang membentuk filsafat manusia Nusa Utara.
Mari sejenak menuju Dalako. Perahu kami harus memilih, kiri atau kanan untuk menyisih sebuah batu tepat di tengah pintu masuk teluk Kahakitang. Dan di pintu itu pula, lumba-lumba berhenti berlomba dengan perahu. Mereka kembali ke laut biru, ke tempat arus yang tak henti menciptakan balun gelombang di perairan antara Pulau Kalama dan Kahakitang.
“Lumba-lumba di laut ini selalu berpacu dengan perahu bila lewat di sini,” kata Madunde, lelaki asal pulau Para yang mengemudikan perahu. Perahu yang kutumpangi jenis Pamo yang berdaya muat 3-4 ton dengan dua mesin Enduro 75 PK tergantung di buritan. Sungguh suatu pengalaman yang menggetarkan. Ini sebuah pulau puitis dan menakjubkan di jazirah kepulauan Sangihe Talaud. Disebut puitis karena keindahan pulau ini seakan-akan bertabur imaji-imaji anonim yang menggairahkan untuk ditulis. Ada berbagai jenis batu terhampar di pesisir pantai. Ada tebing dan savana kecil yang indah. Disebut menakjubkan karena, untuk sampai ke pulau ini, perahu yang kutumpangi disambut kawanan lumba-lumba yang ikut berpacu menuju tepi. Aksi mamalia laut ini terasa mendatangkan riang tersendiri.
Pulau seluas 8,78 km2 ini merupakan pulau terbesar dalam klaster Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, dimana terdapat ibukota kecamatan Tatoareng. Tanah-tanah di pulau ini milik turun-temurun dari nenek moyang orang-orang Kahakitang. Ada tanaman kelapa, pala dan cengkeh di sekitar pemukiman. Masyarakatnya juga mengelola pertanian pola tumpang sari, terdiri dari tanaman ubi jalar, ubi kayu dan tanaman lain yang dihasilkan untuk keperluan sendiri. Jumlah penduduknya 2.088 jiwa atau sekitar 420 Kepala Keluarga (KK), tersebar dalam 4 Kampung yaitu Kampung Dalako, Bembanehe, Taleko, Batusaiki. Mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan, sebagian kecil Kristen Khatolik dan Islam.
Kehidupan sosial ekonomi pulau Kahakitang dapat dikatakan jauh lebih dinamis dibandingkan dengan pulau-pulau kecil di Pulau Sangihe karena lokasinya yang relatif dekat dengan Kota Tahuna dan Kota Manado. Di sepanjang tebing pantai Pulau Kahakitang terdapat gua sarang burung walet yang berpotensi sebagai objek wisata dan bernilai ekonomis. Kahakitang termasuk juga salah satu pulau penghasil ikan Cakalang terbesar. Selain itu, terdapat pantai Sowang, salah satu objek wisata dengan terumbu karang yang sangat indah dan masih alami.
Sebagaimana ke pulau-pulau lain di gugusan Nusa Utara, perjalanan ke Dalako bagi saya adalah perjalanan ke semesta sastra. Semacam barisan ombak yang mewariskan citra kepribadian dan keunikan budaya sebuah bangsa yang mengafirmasi nilai-nilai kebaharian. Di jazirah 124 pulau ini, filosofi, impian, harapan, lekuk sejarah, tatanan nilai, kerajaan, legenda dan mite mengilhami hidup masyarakatnya sebagai manusia yang berumah di pulau dan lautnya. Semua itu tumbuh dalam rentetan relasi yang menggoda aktivitas sastrawi sejak masa lalu hingga kini yang menuntut pemaknaan kembali.
TAUMATA
sasĕba taumata kalu tamata
simipu mĕdaukalu
simindu mubua
daukalune pĕsĕsirungan
buane pĕbawiaheng
wawahaning sukuihi
sukuaneng pangangimangeng
su tembo imatĕling
su tiang upĕdaᶅahiking
paᶅahana lulĕto
bĕmbang tampane
isĕba taumata
manuwo paᶅahĕntone
Puisi di atas, bercerita tentang hakekat manusia Nusa Utara. Disimbolkan sebagai pohon yang berbagi pernaungan dan nafas kehidupan antar generasi. Sebuah intuisi dunia sustra masa lampau yang selalu punya cara membentuk jalinan sejarah antar peradaban yang satu dengan yang lainnya. Dan tak sedikit narasi dari masa lampau Nusa Utara yang memancarkan kilau semacam itu.
Tentang diskursus ini saya jadi ingat Ikeda dan Toynbee. “Jika pemberian makan sebagai tujuan, maka sastra tak memberikan apa-apa”. Sastra adalah pemberi inspirasi bagi manusia untuk melakukan kebaikan. Inilah jawaban atas pertanyaan Jean Paul Sartre: “apa yang dapat dilalukan kesusastraan bagi kaum kelaparan? Pertanyaan Sarte adalah salah satu topic menarik dalam diskusi Daisaku Ikeda, pemimpinan Soka Gakkai, organisasi keagamaan Budha terbesar, dan Arnold Toynbee, ahli sejarah dan ahli filsafat barat, pada pertengahan 1970-an saat bertemu di Inggris.
Kendati tak serta merta dipandang sebagai representasi masyarakat Timur dan Barat, tapi dua pesohor ini telah dipertemukan dalam sebuah diskusi dikotomis alam pemikiran Timur-Barat yang paling relevan menjelang akhir abad 20. Keseluruhan isi diskusi mereka telah dibukukan pertama kali pada 1976 oleh Kodansha Internasional Ltd, Tokyo dengan judul “ Man Himself Must Choose”, lalu diterbitkan kembali oleh Oxford University dengan judul “Choose Life”. Pada tahun 1987, edisi Indonesia diterbitkan P.T. Indra dengan judul “Perjuangkan Hidup, Sebuah Dialog”.
Keduanya berkesimpulan di mana salah satu bahaya terpenting abad modern diakibatkan manusia kehilangan rasa keselarasannya dengan alam sekelilingnya, sementara alam semesta menghendaki keselarasan itu. Mereka menyerukan sebuah komitmen dan kesungguh-sungguhan dalam menghadapi kehidupan lewat nilai-nilai baik yang terseliput dalam sastra.
Manusia Nusa Utara sebagai sebuah komunitas kultural, dalam sejarahnya telah mengalami perjumpaan, perubahan dan transformasi. Baik itu terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Bersamaan dengan itu pula, sepajang sejarahnya, Nusa Utara telah merumuskan prinsip dan identitas kulturalnya.
Ribuan karya sastra warisan tradisi dalam bentuk Sasalamate, Sasambo, Kakalumpang, Nalang, Beke-Beke, yang bersumber dari rahim Budaya Laut (Sasahara) dan BudayaPulau (Sasalili) terus ditutur dan disenandungkan hingga kini.
Nuansa dan ragam karya budaya itu seakan mau mengungkap dimana setiap ladang, pohon-pohon yang rimbun berbuah lebat, laut yang berlimpah ikan, bintang dan bulan yang menandai musim, suara satwa yang berkabar pesan rahasia dari alam, cerocok dan tanjung sekeramat puncak-puncak gunung, perahu-perahu yang harus dibangun dan dilarung dari dasar ritual dan doa, waktu pasang dan surut juga kisah arus badai yang menerjemahkan gelombang ke dalam pelayaran, mau mengisahkan cerita masa lalu masyarakatnya serta hubungan transendental dengan ilahi pencipta kehidupan. Semua itu terus tersembul seperti mata air spiritual dalam sumur sejarah peradaban bahari negeri ini.
Dari pulau Siau, penulis Barat W. Aebersold, dalam buku “Sangirese tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1959) menangkap senarai kanon puitik yang kuat dan dalam, pada Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola).
“Dala Ulu, dala Ulu,
Indala, dala Indala”
(Sana Ulu. Sana Ulu
begitu Indah, di sana begitu Indah)
Sasahola adalah sebuah ragam (lagung) dalam syair-syair Sasambo (puisi). Dalam bait Sasahola di atas, dapat diinterpretasikan ungkapan cinta tanah air, kerinduan pada kampung halaman yaitu kota Ulu, di pulau Siau, dan doa bagi sanak saudara agar hidup senantiasa dalam kebaikan.
Ada 88 bait yang sempat direkam Aebersold pada bukunya. Sasahola Laanang Manandu, adalah semacam senarai panjang yang mengajak pembaca melakukan tamasya historis cultural dari masa migrasi pertama suku bangsa Nusa Utara oleh klan Humansa Dulange – Tendeng Sehiwu (klan Sangil—Philipina Selatan), hingga ke masa berdirinya kerajaan – kerajaan orang Sangihe yang membentang dari Mindanao hingga Buol, Toli-toli. Suatu identifikasi entitas cultural, bahkan untold story yang bisa direposisikan sebagai politik identitas bangsa bahari Nusa Utara.
Disyangkan, kejayaan bahari Bangsa kita pada masa lalu, pada saat ini mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Akibatnya budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa bahari.
Pada era kolonialisme terjadi pengikisan semangat bahari Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot masyarakat Indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke Eropa. Di tengah ringkih, dan redupnya semangat bahari kita itu, menelusuri jejak moyang Nusa Utara, menjadi perkara yang tak begitu mudah.
Nusa Utara, adalah sebutan untuk kawasan pulau-pulau yang saat ini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di provinsi Sulawesi Utara. Luas keseluruhan kepulauan ini 2.290,76 km².
Sebagai sisi terutara, kepulauan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Di masa VOC- Belanda pada abad ke-17, disebut dengan menggunakan istilah ‘Noordereilanden’ bermakna pulau-pulau Utara (Ulaen, 2016). Namun yang popular disebut sebagai kepulauan Sangihe Talaud. Sebutan itulah yang dipakai sebagai nama kabupaten kepulauan tersebut sebelum dimekarkan menjadi 3 Kabupaten.
Berbagai literatur Eropa, terutama catatan para eskader Spanyol dan Portugis, mencantumkan kepulauan ini dalam peta pelayaran mereka sebagai jalur lintasan perdangan atau “Jalur Rempah”. Namun sebelum pelaut Spanyol dan Portugis melabuhkan kapalnya di pantai-pantai kepulauan ini pada abad 16, satu abad sebelunya, Nusa Utara telah dikunjungi kapal-kapal para pelayar dari China. (Ulaen, 2016).
Berdirinya sejumlah kerajaan maritim juga mewarnai sejarah Nusa Utara sejak awal Abad 16 hingga pertengahan abad 20. Dari sembilan kerajaan yang pernah eksis di sana, setidaknya ada 5 kerajaan yang bertahan dan kemudian ikut melebur dalam negera kesatuan Republik Indonesia sejak proklamasi 1945, yaitu Kerajaan Siau (1510-1956), Kerajaan Tagulandang (1570-1942), Kerjaan Tabukan (1530-1953), Kerajaan Kendahe-Tahuna (1600-1953), Kerajaan Manganitu (1600-1942). Tentang kerajaan-kerajaan ini dicatat jelas dalam dokumen pemerintahan Hindia Belanda juga dalam tulisan para misionar Eropa yang pernah bertugas di sana.
Sebagai wilayah yang masuk dalam peta sejarah niaga dunia, yang diwarnai persaingan dagang internasional dan perebutan hegemoni kekuasaan di masa lalu, orang-orang Nusa Utara boleh dikata telah ditempa sejarah panjang yang penuh intrik dan kekerasan. Sebagai jalur niaga, Nusa Utara tak lepas dari aksi para perompak. Bahkan hingga kini, pulau-pulau terutara itu masih saja dirubung berbagai persoalan kejahatan transnasional.
Nusa Utara sebagai daerah yang dalam sejarahnya berada di area zona panas berbagai kepentingan internasional sejak abad 16 menjadi menarik diperbincangkan. Terutama, mengenai system nilai budaya masyarakatnya yang terbukti mampu membimbing dan mengarahkan manusia Nusa Utara dalam mempertahankan eksistensi mereka dari gempuran intrik masa lalu itu, bahkan membentuk jati diri.
Sebelum dan sesudah era kerajaan-kerajaang di Nusa Utara, masyarakat kepulauan ini hidup dalam tradisi dan budaya mereka yang disebut “Sasahara” dan “Sasalili” (Budaya Laut dan Budaya Darat atau Pesisir). Sasahara dan Sasalili yaitu budaya yang kaya akan nilai kearifal lokal. Di sana akan ditemukan petuah, aturan dan tata cara menjalani kehidupan yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya mereka.
Nilai-nilai luhur itu tersirat dan tersurat dalam beragam mitos dewa-dewi di antaranya, dewa laut “Mawendo”, dewa samudera “Tagaroa” (Taghaloang), dan dewa gunung “Aditinggi”. Juga dalam legenda dan kisah sejarah, sastra serta beragam genre seni dalam tradisi mereka. Lewat kekayaan budaya itu, masyarakat Nusa Utara memiliki ingatan bersama (Collective memory) yang merekam gagasan, pandangan hidup, dan apa pun bentuknya tentang keberadaan atau eksistensinya.
Pada awal abad 20, kearifan lokal masyarakat Nusa Utara juga telah tertuang dalam Hukum Adat yaitu: “Atoeran Adat Oentoek Orang-Orang Masehi Boemi Poetera di Poelau-Poelau SANGI” tahun 1917 maupun penyempurnaanya tahun 1932 yaitu “ADAT – REGELING voor Inlandsche Christenen de, Sangihe en Talaud- Eilanden.
Ladang budaya penuh isi itu telah mendorong sebuah proses perubahan perilaku masyarakatnya berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), dan keterampilan (psikomotoric). Sebuah kearifan lokal yang berbentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis itu. Dalam kurun yang panjang seluruh kearifan tradisional ini telah dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Masyarakat Nusa Utara adalah masyarakat yang berciri paternalis. Hal tersebut dapat dilacak dalan frasa yang menyatakan “Yakang ganting ghaghurang, Ghaghurang ganting Mawu” artinya “Kakak (yang lebih tua) adalah penganti orang tua, dan Orang Tua adalah pengganti Tuhan”. Dari sekian banyak ragam Sasambo, frasa berikut ini juga menggoda disimak: “Ketang manu mengkilo su darorokang” artinya hanya ayam yang mengotori rumah tempat tinggalnya. Di sini dapat dilihat bagaimana kultur bahari dan kultur pesisir Nusa Utara telah menjadi pedoman masyarakat tersebut.
Ketika orang-orang di selatan (Sangihe dan Sitaro) memetaforkan praktik kekuasaan tirani sebagaimana perangai raksasa, orang Talaud justru memfabelkannya sebagai babi. Hal tersebut dapat ditelusuri lebih dalam pada cerita rakyat masyarakat pulau Karakelang yang sangat popular, tentang seekor babi bernama “Yologe”. Kekuasaan tirani digambarkan sangat merusak tatanan hidup masyarakat. Sifat rakus yang memangsa apa saja milik masyarakat di kebun kehidupannya. Ini barangkali sebabnya, seorang pelaku kejahatan disebut secara leceh “Wawi” (Babi) dalam tradisi setempat.
Talaud sebuah kepualaun seluas 1.288,94 km2. Diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan membentuk kultur manusia kepulauan, kental dengan nilai kebaharian; “Sinsiote Sampate-pate”, menginspirasikan simbol kebersamaan, keberanian dan harapan di hadapan kesulitan. Semua nilai luhur tradisi budaya itu seakan terrevitalisasi ke dalam diri masyarakatnya.
Dari 20 pulau, yang terbesar Karakelan, disusul pulau Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan dan pulau – pulau tidak berpenghuni lainnya. Daratannya seluas 1.288,94 km2 dan lautan 25.772,22 km2. Seperti halnya pulau-pulau di bibir lautan Pasifik, Talaud adalah zamrud khatulistiwa yang cantik. Pantai-pantai bersih berpasir putih. Air laut jernih berpadu keindahan terumbu karang tempat ikan dan aneka biota laut berumah.
Seperti juga umumnya tradisi masyarakat Nusa Utara, orang-orang Talaud sejak masa purba telah dibimbing oleh suatu ajaran keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungan. Masyarakat perbatasan ini menjaga identitas tradisi dan budaya mereka dalam suatu solidaritas organik yang dipelihara oleh keberadaan suatu sistem nilai kebersamaan yang secara historis dibangun melalui tradisi. Praktik kebudayaan yang menjamin terjaganya sebuah komunitas yang lebih besar.
Secara empiris, kepatuhan warga masyarakat Talaud kepada adat dan pada pemuka-pemuka adat atau tokoh masyarakat lainnya sangat kuat. Hal itu terlihat pada keberadaan lembaga adat seperti “Ratumbanua” dan “Inangngu wanua” serta “timmadde ŗuanga” yang mengatur pelaksanaan tradisi dalam kampung seperti pelaksanaan budaya “Eha” atau pantang berkala, yang diberlakukan pada tanaman kelapa pada setiap periode kuartal. Eha, dan tradisi menangkap ikan “Manami dan Mane’e” adalah cermin terbening dalam eksistensi budaya orang Talaud yang masih terpelihara, yang mengatur masyarakat itu dalam mengelola hidup dan sumber penghidupan mereka.
Tradisi, kesenian tradisional, bahasa, aturan-aturan adat, dan beragam budaya yang terus hidup dalam masyarakat, sejatinya adalah modal bersama dalam membangun, menjaga dinamika kehidupan masyarakatnya.
Dalam 412 tahun kerajaan Tagulandang yang bermula pada tahun 1570 didirikan oleh Ratu Lohoraung, dan berakhir pada 1942 di masa Raja Willem Philips Jacobz Simbat, tak sedikit jejak sejarah dan warisan tradisi budaya yang menarik. Di pulau Tagulandang, masyarakatnya masih memelihara tradisi “Meliku Wanua” artinya berkeliling pulau. Tradisi berjalan kaki mengelilingi pulau Tagulandang ini –yang dalam tradisi Sasahara pulau ini disebut dengan nama “Mandolokang– dimaksudkan untuk menjalin silaturahmi dengan sanak saudara serta para kerabat.
Sejak era kerajaan Tagulandang, Maliku Wanua dilaksanakan seiring perayaan Tahun Baru. Dalam kegiatan budaya ini samua penduduk saling bertemu, berbagi cerita, saling memberi petuah yang berakar dari tradisi budaya mereka dengan harapan di tahun yang berjalan semuanya boleh meraih kesuksesan hidup dalam kondisi aman dan tentram.
Sementara di pulau Siau ada budaya “Palose” atau “Mapalose”. Palose adalah tradisi budaya bekerja sama antar penduduk dalam melakukan suatu pekerjaan, di antaranya, dalam membangun rumah, perahu, atau mengerkan ladang, serta beragam pekerjaan lain yang membutuhkan keterlibatan banyak orang. Ini sebabnya di Siau ada sejumlah komunitas “palose”. Palose sendiri adalah sebuah kearifan lokal yang mengajarkan masyarakat agar bisa bekerja sama, bahu-membahu melakukan sesuatu, tolong-menolong antar sesama. (*)
Discussion about this post