Raja Simbat adalah korban pertama kekejaman fasisme Jepang di negeri Mandolokang, saat tentara negeri para ‘samurai’ itu mencengkram Sangihe Talaud sejak tahun 1942.
Enam tahun pemerintahan Raja Willem Philips Jacobz Simbat, kerajaan Tagulandang boleh dikata dalam keadaan yang muram diterpa dampak perang dunia II yang pecah sejak tanggal 1 September 1939.
Ketika harga kopra anjlok hingga tingkat terendah, ekonomi kerajaan Tagulandang benar-benar terpukul dan terpuruk. Apalagi, kerajaan kecil dengan penduduk 11.401 jiwa ini bergantung hidup pada sektor partanian terutama komoditas kelapa, tulis Adrianus Kojongian dalam artikelnya tentang kerajaan Tagulandang.
Penduduk Landschap Tagulandang ketika itu, sebagaimana catat Ensiklopedia Hindia-Belanda 1939 sebanyak 10.967 pribumi, 433 Cina, 1 timur asing (vreemde oosterling).
Untuk mengantisipasi kesulitan, kebijakan yang terbilang kontroversial pertama Raja Willem Philips Jacobz Simbat yaitu ‘Titah Raja’ di awal tahun 1939 yang melarang lebih dari sepuluh ribu penduduk kerajaan Tagulandang mengkonsumsi gula dan teh.
Sejumlah sumber mencatat, kebijakan Raja Simbat ini didasarkan pada pertimbangan penghematan. Bahkan, kue kering pun ditabukan apabila disiapkan dari tepung.
Raja menyarankan, perayaan pesta oleh penduduk cukup dengan menyediakan lemper dan sejenisnya, sementara untuk ulang tahun sekedar minum. Menu pokok yang diresepkan adalah kiha.
Sementara dalam kondisi ekonomi yang sangat parah itu, penduduk dituntut harus membayar pajak. Kebijakan yang dinilai membebani rakyat ini mendapatkan kritik pedas sejumlah Surat Kabar yang terbit di Batavia (Jakarta). Pejabat raja disebut terlalu khawatir dan bertindak demikian untuk lancarnya pemasukan pajak dari penduduk.
Sementara itu di seluruh tanah jajahan, pihak pemerintah kolonial Belanda tengah gencar menganjurkan penduduk untuk lebih banyak mengkonsumsi gula dan teh.
Raja Willem Philips Jacobz Simbat naik tahta pada tahun 1936 dan berkuasa hingga tahun 1942 mengantikan ayahnya raja Hendrik Philips Jacobz yang berhenti atas permintaan sendiri awal bulan Maret 1936. Ia adalah raja ke 19 yang pelantikannya hanya diposisikan sebagai akting (waarnemend) raja atau regent atau wakil raja oleh pihak kolonial.
Cakupan luas kerajaan Tagulandang di era Raja Simbat meliputi pulau-pulau: Tagulandang, Pasige (Pasigi), Ruang dan Biaro. Kemudian pulau-pulau kecil Selangka, Seha, Sehakadio, Batutombonang, Kauhagi dan Tandukuang. Kerajaan ini di utara berbatas kerajaan Siau, timur dengan Laut Maluku. Selatan Selat Bangka dan Talise; serta sebelah barat dengan Laut Sulawesi.
Di pulau Biaro, terdapat tiga kampung, yakni Biaro, Karungo dan Buang, sementara pulau vulkanik Ruang tidak berpenghuni. Begitu pun dengan Pulau Pasige, tapi sering didatangi nelayan yang mengambil tripang.
Ruas jalan hanya dua di Pulau Tagulandang. Satu di sepanjang pantai, dan satunya di seberang, dari Minanga-Boweleu-Tagulandang. Jalan pesisir antara Tagulandang dan Haas lumayan untuk kendaraan ketika itu .
Ketika pada tahun 1942, sebagaimana ungkap situs Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia, tentara fasisme Jepang mulai mencengkramkan kukunya di bumi Sangihe Talaud , Wakil Raja Willem Philips J Jacobz Simbat ditahan Jepang bersama raja-raja Sangihe Talaud lainnya. Simbat dituduh pro-Belanda.
Pada 19 Januari 1945 ia dipancung di Tahuna. Meski tulis Kojongian, ada versi lain yang menyatakan peristiwa itu terjadi pada 7 Juli 1942, atau 9 November 1944. Selain Raja Simbat, jogugunya B.L.P. Jacobz ikut dibunuh oleh Jepang.
Tragedi itu mengakhiri riwayat Kerajaan Tagulandang atau Mandolokang. Selanjutnya beralih pemerintahan ke tangan fasisme Jepang yang mengangkat Paul Adriaan Tiendas, anak Penolong Injil Tiendas, diangkat Jepang menjadi Syutjo (raja) pada 1944. Kemudian pemerintahan Tagulandang dijalankan Jogugu Hermanus Obed Hamel sejak 1946. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post