Sumber foto: Geni.com
Ia tipikal lelaki Bantik, Minahasa, berparas tampan, penuh cinta dan keberanian. Ia guru dan penyair. Pahlawan Indonesia yang dengan tegar menghadapi peluru senjata regu tembak pasukan Belanda dalam sebuah eksekusi.
Pacinang, Makassar, Senin, 5 September 1949, menjadi dini hari yang begitu sedih. Robert Wolter Mongisidi baru saja terkulai di bawah hujaman peluru regu tembak pasukan Belanda.
Empat hari sebelum menjalani hukuman mati, Bote, panggilan akrab pemuda kelahiran Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 ini menulis surat untuk Milly Ratulangi. Gadis yang merupakan sahabatnya sesama orang Manado itu tinggal di Jakarta. Ini benar-benar sebuah surat dengan kalimat puitis dan menggetarkan: “Bunga yang sedang mekar… digugurkan oleh angin yang keras.”
Petikan Surat Robert Wolter Mongisidi untuk Milly Ratulangi –anak dari Bapak Pendiri Bangsa Dr. Sam Ratulangi– itu, terkutip dengan apik dalam file Books. Google.co.id.
Surat lain, yang sama menggetarkan, ditulis pada 27 Maret 1945 atau enam bulan sebelum pelaksanaan eksekusi: “Ketakutan terhadap maut telah hilang padaku dan janganlah cemas atau gelisah, sebab aku sendiri telah lalui segala ketakutan dan kegentaran.”
Keluarga besar Robert Wolter Mongisidi yang kini masih mukim di Malalayang, Manado, sangat banyak menyimpan surat-surat sosok pahlawan pemberani itu. Di antaranya yang dibacakan Brigjen TNI Ricky Fredrik Winowatan, mewakili keluarga, saat Peringatan 67 tahun gugurnya Pahlawan Nasional Robert Wolter Monginsidi di lapangan Bantik, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, Senin, 5 September 2016.
Kepada keluarga ungkap Winowatan, Bote berpesan lewat suratnya: “Kiranya jangan mengirim permohonan grasi buat saya sebab ini semata-mata di bawah pertanggungan saya serta saya pun telah menolak grasinya.”
Baca juga: Mengenang Wolter Mongisidi Dalam Nama Kodam XIII/Merdeka
Surat-surat puitis Bote adalah saksi zaman bahwa betapa berharganya nilai kemerdekaan itu. Ia berperang lewat berbagai aksi yang sangat berani melawan NICA-Belanda karena ingin menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
“Ketakutan terhadap maut telah hilang padaku dan janganlah cemas atau gelisah, sebab aku sendiri telah lalui segala ketakutan dan kegentaran,” tulisnya dalam sebuah frasa nan sublim.
Brigjen TNI Ricky Fredrik Winowatan adalah seorang ponakan Robert Wolter Monginsidi yang kini berkarier di TNI. Dihubungi via ponsel dari Makassar pertengahan Desember 2019, Winowatan mengatakan, Robert Wolter Monginsidi, telah berhasil melewati pergumulan, gejolak bahkan benturan dalam pribadinya, baik intelektual, emosional dan spiritual.
Bagi Bote, kata Winowatan, grasi adalah jebakan pihak penjajah. Karena itu, jika menerima grasi, Bote menganggap telah mengingkari keyakinan akan kebenaran, perjuangan yang dilakukan akan berubah menjadi kesalahan.
“Keberhasilan Bote tersebut tertuang pada kalimat-kalimat dalam surat-suratnya. Surat-surat itu menjadi penghibur dan motivator bagi keluarga untuk tidak larut dalam kesedihan akan resiko hukuman mati yang harus dihadapi,” kata Winowatan.
Kecintaan Terhadap Tanah Air
Meski masih belia, catat sejumlah sumber, keberanian Mongisidi sudah teruji. Beberapa kali ia turut dalam peperangan melawan NICA. Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.
Pasukan Belanda kerap kerepotan terhadap perlawanan dari Wolter Mongisidi dan para pemuda lainnya yang menggunakan taktik perang gerilya. Bote berperan sebagai perencana operasi militer dan tak jarang harus menyamar untuk menentukan sasaran, catat Agussalim, dalam “Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, 2016:219”. Cukup banyak serangan LAPRIS yang berhasil berkat informasi Mongisidi.
Baca juga: Nama Wolter Mongisidi Untuk Kodam 13, Warga: Dia Pahlawan Ikonik
Salah satu aksi heroik Mongisidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan, tulis Syahrir Kila, dalam “Kelaskaran 45 di Sulawesi Selatan, 1995:87”. Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak-menembak lagi. Mongisidi nyaris saja tertangkap, tapi lolos. Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kini mengenali sosok Mongisidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya. Tanggal 28 Februari 1947, ia terjaring dan dipenjarakan.
Pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Mongisidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang dimasukan ke dalam roti. Granat pun diledakkan, seisi kompleks penjara kacau-balau. Melalui cerobong asap dapur, Mongisidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri.
Setahun berselang, Mongisidi terkepung di sebuah gang. Ia tidak mengira posisinya diketahui oleh Belanda. Rupanya ada yang berkhianat!, ungkap Noldi Mandagie, pada belanegarari.com, 2009.
Mongisidi sebenarnya punya sebuah granat yang bisa saja ia lemparkan. Tapi, terlalu tinggi risikonya karena gang tempatnya terkepung itu juga menjadi area pemukiman warga. Mongisidi pun akhirnya menyerah demi keselamatan rakyat.
Tangan dan kaki Mongisidi dibelenggu dengan rantai, kemudian dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makassar. Dalam masa itu, Belanda kerap membujuk Mongisidi agar mau bekerjasama, tapi ia selalu tegas menolak. Akhirnya, pada 26 Maret, ia divonis menjalani hukuman mati.
Selama menunggu maut menjemput di sel tahanan, Mongisidi kian mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, Mongisidi juga sempat mengguratkan sejumlah catatan berisi pesan-pesan perjuangan, bahwa ia pantang menyerah, bahwa ia tak pernah takut maut demi harga diri dan bangsa.
“Saya telah relakan diri sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. Saya percaya penuh bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.”
“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.”
Begitu bunyi sebagian guratan pena bermakna Mongisidi dari dalam penjara yang ditulisnya di lembaran kertas dengan judul “Setia Hingga Terakhir dalam Keyakinan”.
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana).
Mengambil pilihan untuk mati demi rakyat jelas tidak pernah mudah. Tapi dalam sejarah perjuangan Indonesia, Robert Wolter Mongisidi memilihnya.
“Bote tahu persis, kalau lolos lagi dari penjara maka tentara Belanda akan mencecarnya ke mana-mana dan sudah pasti ada warga yang jadi korban kalau menolak memberitahukan di mana dia berada,” kata keponakan Bote, Ronny Mongisidi, berkisah pada jurnalis Barta1, Kamis 12 Desember 2019.
Kemerdekaan yang direngkuh pada 1945 bagi dia adalah harga mati, sebagaimana juga kedaulatan negara bernama Indonesia. Karena itu dia, kata Ronny, menolak meminta pengampunan pada Belanda. Meminta grasi artinya mengakui kekuasaan penjajah.
“Bagi Bote, kesetiaan adalah nilai yang muncul setelah melakukan perjuangan, bukan meminta nilai sebelum melakukan sesuatu,” ujar Ronny.
Di Sulawesi Utara, untuk menghormati jasanya, sejak 2016, ada wacana mengabadikan nama pahlawan bangsa ini untuk nama Komando Daerah Militer XIII/Merdeka (Kodam XIII/Merdeka) pasca-pengaktifan kembali Komando Kewilayahan Pertahanan yang meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah itu. (*)
Editor/Penulis: Iverdixon Tinungki, Ady Putong
Discussion about this post