Oleh: Fary Oroh
ORANG Majus merupakan elemen yang tak terpisahkan dalam peristiwa Natal. Kisah para Majus kerap menjadi bahan khotbah saat ibadah minggu adven dan pra-Natal.
Kisah para Majus menjadi menarik karena diliputi misteri. Siapa mereka? Dari mana mereka berasal? Kenapa mereka yang diberi tanda berupa bintang oleh Allah?
Karena diliputi misteri, muncul sejumlah mitos terkait para Majus ini. Mitos yang dipercaya sebagai kebenaran.
Apa saja mitos tentang para Majus? Ini dia.
- Mereka berjumlah tiga orang.
‘Tiga orang Majus’. Ini ungkapan yang populer tentang mereka. Bahkan ada lagu dengan lirik: “Tiga orang Majus, dari sebelah Timur…”
- Mereka punya nama
Orang Majus tak hanya tiga orang. Mereka bahkan punya nama: Gaspar, Melkior dan Balthasar.
- Mereka menjumpai Bayi Yesus di kandang.
Ilustrasi tentang para Majus yang paling populer adalah tiga orang yang menyembah bayi Yesus yang didampingi Maria dan Yusuf di kandang. Di sekeliling kandang ada ternak kambing domba, juga unta. Di atas kandang ada bintang yang bersinar. Ini gambaran yang dulu sering kita lihat di kartu Natal (ketika kartu Natal masih ngetop), juga di kalender-kalender.
Fakta tentang Majus
- Belum tentu tiga
Benarkah orang Majus itu tiga orang? Bisa ya bisa tidak. Faktanya, Matius, satu-satunya Injil yang bercerita tentang Majus tak pernah bilang kalau orang Majus itu tiga orang.
Orang Majus dianggap tiga, mengacu pada tiga jenis hadiah: emas, kemenyan dan mur. Tapi apakah tiga jenis hadiah itu berarti yang datang itu tiga orang? Bisa ya bisa tidak.
Sebagai ilustrasi, beberapa tahun lalu mantan pacar saya dirawat di rumah sakit. Yang datang berkunjung banyak. Pernah, rekan sekantornya datang bezoek dan memberi oleh-oleh kukis blek dan apel. Ada dua jenis hadiah. Apakah itu berarti yang datang itu dua orang? Tidak. Dua jenis hadiah itu dibawa oleh tujuh orang.
Pernah, teman-teman satu kolom juga berkunjung. Mereka memberikan amplop diakonia, kukis blek dan roti. Ada tiga jenis hadiah. Apakah yang berkunjung tiga orang? Tidak. Yang membawa tiga jenis hadiah itu sebelas anggota dan pimpinan kolom.
Itu artinya, tiga jenis hadiah yang dibawa orang Majus itu tak bisa diterjemahkan kalau yang membawa itu pasti tiga orang. Bisa tiga, bisa dua, bisa tujuh atau dua puluh.
- Tak punya nama
Selain tidak ada keterangan yang jelas dari Alkitab tentang berapa jumlah mereka, Injil Matius juga tidak menceritakan siapa atau apa nama mereka. Nama Gaspar, Melkior dan Balthazar itu hanya rekaan belaka.
- Mengunjungi Bayi Yesus di Rumah
Ini mungkin fakta yang tak begitu disadari banyak orang Kristen. Bahwa para Majus tidak menjumpai Bayi Yesus di kandang, melainkan di dalam rumah. Matius 2: 11 berbunyi: “… maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan… dst…”
Jadi, para Majus menjumpai Bayi Yesus di dalam rumah, BUKAN di kandang.
Tapi, tapi, tapi, bukankah Yesus menurut Injil Lukas lahir di kandang? Kenapa para Majus menjumpai Dia di dalam rumah? Yang mana yang benar? Kandang atau rumah?
Jawabannya adalah, keduanya benar.
Jadi kronologisnya seperti ini. Yesus memang lahir di kandang karena Yusuf dan Maria tak menemukan penginapan kosong karena dipenuhi mereka yang pulkam untuk mengikuti sensus. Beberapa saat setelah Yesus lahir, muncul bintang yang kemudian dilihat para Majus.
Begitu melihat bintang, para Majus segera bergegas untuk menyembah. Namun, perjalanan mereka berbeda dengan sekarang. Jaman sekarang, perjalanan antar negara bisa ditempuh dalam beberapa jam. Dulu, perjalanan darat memerlukan waktu yang lama.
Jadi, bisa diduga kalau para Majus itu menempuh perjalanan berbulan-buan dari daerah asalnya (yang tak diketahui persisnya di mana). Mereka pun tak langsung ke Betlehem melainkan sempat “transit” di Yerusalem. Jadi, ketika mereka berjumpa dengan Yesus, dia mungkin telah berusia beberapa bulan.
Mengingat fakta bahwa Herodes memerintahkan untuk membunuh bayi di Betlehem yang usianya dua tahun ke bawah, diperkirakan usia bayi Yesus ketika dijumpai para Majus sudah mendekati dua tahun.
Juga, kita tak boleh berpikir bahwa Yusuf-Maria dan bayi Yesus akan selamanya tinggal di kandang. Maria terpaksa bersalin di kandang karena semua penginapan penuh.
Penginapan penuh karena banyak warga yang mengikuti sensus. Begitu selesai mengikuti sensus, tentu para pendatang itu kembali ke asalnya masing-masing. Artinya selang dua tiga hari setelah Yesus lahir sudah ada penginapan yang kosong.
Yusus dan Maria juga pasti tak lama menginap di penginapan. Mereka pasti berusaha mencari rumah, minimal untuk dikontrak. Dan pada saat itulah mereka didatangi para Majus. (Yang menarik adalah, ketika dijumpai para Majus, menurut Matius, Yesus hanya ditemani ibunya. Sang ayah, Yusuf entah sedang ke mana saat itu. Mungkin dia sedang mancari, hehehe).
Majus Jaman Now
Bagi sebagian orang, kisah para Majus dijadikan sebagai pembenaran untuk melawan “falsafah” yang kerap digaungkan tentang penyelenggaraan Natal, yakni “rayakan Natal dengan sederhana karena Yesus lahir di kandang yang hina”.
Kisah Majus dijadikan sebagai teladan, bagaimana mereka mempersembahkan yang terbaik (emas, kemenyan dan mur) untuk Yesus. “Sebagaimana para Majus mempersembahkan yang terbaik untuk Yesus, begitu juga seharusnya kita memberikan yang terbaik saat Natal”, begitu kata mereka.
“Memberikan yang terbaik” itu diterjemahkan sebagai mempersiapkan perayaan Natal secara maksimal. Membuat kue sebanyak mungkin, membeli pakaian dan pernik fashion sebanyak mungkin, menyiapan masakan seenak mungkin, dan seterusnya.
Kalau melihat realitanya, “memberikan yang terbaik” itu yang lebih cocok dan disukai dibanding “rayakan Natal dengan penuh kesederhanaan” yang sejujurnya lebih bernuansa kemunafikan. Banyak orang yang berkoar-koar, termasuk di FB untuk “menyambut Natal dengan sederhana” sementara di saat yang sama, di dalam kamar sudah ada berkrat-krat minuman ringan, kue lebih dari lima toples dan baju yang jumlahnya minimal dua potong (untuk dipakai Natal dan tahun baru), juga sepatu. Belum ornamen penghias rumah.
Ungkapan “rayakan Natal dengan sederhana” akhirnya lebih pada pemanis bibir yang enak didengar namun tak pernah dilaksanakan, termasuk oleh mereka yang rajin mengungkapkannya.
Memberikan yang terbaik, sebagaimana para Majus memberikan yang terbaik, itu yang paling cocok untuk kondisi sekarang, terutama bagi kita yang bisa dibilang sebagai “orang Majus jaman now”.
Pertanyaannya, memberikan yang terbaik untuk siapa? Untuk Tuhan atau diri sendiri? Untuk pelayanan Tuhan atau kebanggaan dan kesenangan pribadi?
Tentu tak salah jika kita berupaya merayakan Natal semaksimal mungkin, berdasarkan rejeki yang diberikan Tuhan. Yang perlu diperhatikan mungkin bagaimana supaya itu proporsional.
Maksudnya begini. Misalkan yang kita belanjakan saat Natal untuk beli kue, baju baru dan makanan itu berkisar lima hingga enam juta rupiah untuk satu keluarga, berapa yang diberikan sebagai persembahan untuk Tuhan?
Jika lima juta untuk belanja, berapa untuk derma? Satu juta?
Hmmm. Walau ada, saya yakin jumlahnya tak banyak yang “rela” memberikan derma sebesar satu juta. Kalau pun ada, itu berupa “Sampul Natal” yang dibacakan. (Itu pun dengan wanti-wanti agar pegawai gereja atau majelis untuk “tidak salah baca”. Karena apa gunanya so ba kase persembahan banya kalu tu majelis sala baca kong cumu keluarga laeng pe nama to? Hehehe)
Lima ratus ribu? Jumlah ini juga lebih cenderung ke sampul, bukan derma.
Bagaimana dengan seratus ribu atau lima puluh ribu rupiah? Saya pernah melihat sendiri ada orang yang memberikan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah saat derma. Orangnya saya kenal baik. Sayang yang seperti dia jumlahnya tidak banyak.
Dua puluh ribu? Nah ini yang paling pas untuk derma. Tapi tunggu dulu. Uang dua puluh ribu rupiah ini perlu ditukar dengan pecahan dua ribu rupiah. Lalu dibagi ke anggota keluarga. “Biar torang cuma ba derma dua ribu pera yang penting to torang kase dengan segenap hati,” begitu kilah banyak orang Kristen.
Jadi begitulah sodara-sodara, perilaku orang Majus jaman now. Mereka membelanjakan hingga jutaan rupiah untuk kesenangan dan kebanggaan pribadi. Untuk Tuhan? Dua ribu pera sudah cukup. Yang penting diberikan dengan segenap hati.
Hebat bukan? (*)
Fary Oroh, adalah wartawan dan penulis buku
Discussion about this post