Apa yang salah dengan bangsa ini? Tak sekadar sebuah ucapan lirih sang gadis pemeran tokoh Samudera. Namun sebuah tohokan yang langsung menghujam getasnya persoalan bangsa kita saat ini.
Saya jadi ingat adagium Abraham Lincoln: Sebuah negara yang sukses apabila pemerintahan tunduk pada semangat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun sebagaimana kritik Aristoteles (348-322 SM), jika pemerintahan hanya milik segerombolan orang, maka demokrasi menjadi sebuah sistem yang bobrok.
Kendati sebuah pertunjukan teater sejatinya dimaksudkan menghadirkan kebenaran artistik, tapi lewat garapan jenius sutradara Richard Juandy Salensehe, pentas Museum, juga berhasil menguak kebenaran logis.
Menonton Museum, setara dengan menonton sebuah perayaan kritik dan sarkasme yang langsung menabrak persoalan-persolan logis kontemporer bangsa Indonesia. Sebuah cermin bangsa yang dipenuhi retakan persoalan politik, kriminal dan deviasi sosial.
Dan luka-luka bangsa itu menodai hati bening kaum perempuan atau ibu yang tak mendapatkan afirmasi yang semestinya dalam skenario pembangunan dan pemajuan bangsa. Kaum tani yang justru bukan diarak menuju masa panen yang raya, tapi dibelenggu persoalan politik yang dangkal yang menjadikan mereka sebagai simbol patung-patung durhaka dalam sebuah museum sejarah hidup bangsa kita.
Ketika rakyat bertanya, siapa pahlawan kita yang sesungguhnya, justru yang nampak adalah sosok-sosok pemimpin koruptif yang bersembunyi di balik dalil-dalil hukum yang memberi dia kuasa. Oh… betapa ironi ini terasa menusuk kita semua tepat di hari ketika kita seharusnya merayakan peringatan Hari Pahlawan.
Betapa aktualnya semua persoalan yang disungguhkan sebagai renungan bagi bangsa ini lewat pentas yang sarat energi estetik itu. Ruang Mapalus Kantor Gubernur Sulut yang berkapasitas tampung ribuan tempat duduk dijubeli penonton.
Gilanya, pertunjukan yang berlangsung kurang lebih 90 menit itu benar-benar merampas hati semua penonton. Mereka terdekap dalam keindahan dan kepiawaian para aktor dalam memainkan perannya.
Bagian awal yang berlangsung mencekam dan dramatis membuat penonton terpaku tanpa suara sedikit pun di tempat masing-Masing. Lalu babak mendekati akhir yang dikemas dengan pendekatan parodi membuat ruang besar itu bergemuruh dengan tawa, teriakan, suara-suara histeri menyambut aksi panggung yang benar-benar spektakuler tersebut.
Pertunjukan yang mengusung lakon karya dramawan Iverdixon Tinungki oleh grup Manado Teaterholic (MTH-Kreatif) di Ruang Mapalus Kantor Gubernur Sulut, semalam (9/11/2019) itu, harus saya kategorikan sebagai salah satu perhelatan teater yang paling spektakuler dan berenergi sepanjang tahun 2019.
MTH-Kreatif selain merupakan grup teater yang punya sejarah panjang di Sulawesi Utara, tapi juga grup yang telah berkiprah secara nasional lewat berbagai pertunjukan di kota-kota yang dikenal sebagai sentrum Kesenian Indonesia di antara Jakarta dan Jogya.
Biografi para aktor dan aktrisnya juga mencantum sejumlah reputasi nasional dan bahkan ada yang telah ikut pentas bersama grup teater dunia di berbagai Negara.
Ini sebabnya, Museum berhasil menghadirkan sebuah pertunjukan teater yang berkelas. Dan kehadirannya tentu tak lepas dari topangan sponsor mereka yaitu sebuah grup media nasional yakni Tribun Manado. Dan selebihnya tangan terbuka Gubernur Sulawesi Utara yang memberi ruang agar pertunjukan itu dapat diapresiasi luas.
Akhirnya saya harus mengutip Plato (472-347 SM) dalam “The Republic”: Apabila, orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan tidak terbatas, akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Apabila setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hati maka yang akan terjadi, kekerasan, ketidaktertiban atau kekacauan, tidak bermoral, dan ketidaksopanan.
Menurut Plato, demokrasi di tangan penguasa yang korup dan masyarakat yang mendewakan kebebasan individu berlebihan akan membawa bencana bagi negara, yakni anarki dan tirani. (***)
Penulis: Alber P Nalang, Wartawan Barta1.com biro Manado
Discussion about this post