Catatan: Wahyu Alfy Lutfihyanto
Pikiran Anisa Putri tentang birokrasi nyatanya tidak jauh beda dengan Anastasia Pareda, dua sahabat, pelajar sekolah menengah atas yang identik dengan milenial dan punya hobi jalan ke mall. Pelik, ke sana-ke mari, dengan proses yang panjang dan lama. Antrian, panas, pelayanan yang tidak prima dan bentuk keluhan lainnya menjadi wajah utuh pelayanan.
Sebagian masyarakat seperti anti terhadapnya. Alhasil, demi mempermudah urusan yang berkepanjangan, jalan pintas pun ditempuh. Celah bahwa proses yang lambat bisa dipercepat mengambil bentuk lain, calo, praktik nepotisme, gratifikasi dan suap korupsi tumbuh subur. Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan ini lewat survei penilaian integritas yang dilakukan dari tahun 2017 sampai 2018 di enam kementrian/lembaga dan dua puluh pemerintah daerah.
22% responden internal mengaku pernah menyaksikan praktik percaloan di lembaganya. Angka ini naik 17% dari hasil tahun 2017, begitupun dengan mendengar dan melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai, juga meningkat 20% dari tahun yang sama. Untuk gratifikasi, 25% responden pengguna layanan melihat dan mendengar pegawai menerima suap atau gratifikasi.
Persoalan ini lekat dengan pelayanan publik, seperti penundaan layanan yang bisa memicu tindakan pungli, gratifikasi dan suap menyuap di perangkat pemerintahan pusat maupun daerah. Persepsi publik untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan cepat harus melalui beragam jalur pintas masih bertahan hingga saat ini, melalui perilaku yang koruptif, peminat layanan mempermulus jalan.
Dengan sedikit malu-malu, Anisa, mengangkat pembicaraan mengenai pengalaman betapa susahnya mengurus Kartu Tanda Penduduk. Ia yang baru beranjak dewasa tidak pernah berpikir akan menemui takdir ini, bertemu birokrat, dan harus mengurusi berkas dengan mandiri. Pergi ke catatan sipil adalah hal asing baginya, tidak mengherankan dengan pelayanan konvensional ia merasa canggung.
Belajar dari pengalaman sang kakak yang selama kurun waktu satu tahun menunggu untuk bisa memegang secuil kartu bukti kependudukan, ia menjalani cara-cara yang sebenarnya tidak diperuntukan. Jasa orang dalam menjadi pilihan, hanya dalam kurun waktu dua hari, isi dompetnya ketambahan satu kartu lagi.
“Kalau waktu mengurus KTP itu hanya dua hari, itupun karena orang dalam, menurut saya kalau tidak ada orang dalam pasti lama, pengalaman kakak mengurus KTP di catatan sipil satu tahun menunggu,” cetusnya.
Anisa dan Anastasia mungkin punya pandangan yang sama soal wajah pelayanan birokrasi, namun untuk urusan perkara calo dan orang dalam mereka punya kacamata berbeda. Dengan mengangkat tangan, mencoba memberi isyarat bahwa waktunya ia berbicara, Anastasia, menyatakan pendapatnya dengan lugas.
“Saya tidak mau yang begitu-begitu, biarpun lama namun diri sendiri yang urus itu tidak menjadi masalah” ujarnya, sedikit menekan.
Dalam lima belas tahun terakhir, data dari Anti-Corruption Clearing House menunjukkan kasus perkara yang telah di tangani Komisi Pemberantasan Korupsi didominasi oleh kasus penyuapan, sebanyak 564, dengan tersangka/terdakwa Eselon I/II/III sebanyak 199, Anggota DPR dan DPRD 247, dan Swasta 238.
Padahal, undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, mengamanatkan dan mengatur tentang prinsip-prinsp pemerintahan yang baik; yang merupakan efektivitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Melayani masyarakat dengan jujur dan adil, negara berkewajiban melayani setiap penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik.
Kami menyambangi tempat paling riuh dan sibuk di Kota Manado. Orang-orang hilir mudik dengan cepat, puncak kemoderenan dan salah satu dari hal-hal yang menjadi trendi bermuara di sini. Pusat perbelanjaan yang cukup punya nama di Sulawesi Utara ini menjadi pilihan pemerintah.
Kota Manado tidak main-main dalam berbenah, soal pelayanan publik, untuk menjemput bola. Resmi dibuka senin 14 Januari 2019, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Tepadu Satu Pintu, pemerintah kota menancapkan komitmen memberikan kemudahan dan pelayanan yang cepat.
Selain DPM-PTSP, pusat pelayanan terpadu Pemkot Manado juga didukung instansi layanan publik lainnya seperti Dinas Kependudukan, Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah, juga terintegrasi dengan Polresta Manado, Kantor Imigrasi dan Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara.
Dinding depannya dari kaca, orang lewat bisa melihat langsung kegiatan di dalam. Poster-poster di jejer rapi memuat layanan yang ditawarkan. Wajah birokrasi lama, cara-cara usang dan interior yang hampir selalu sama di setiap kantor pemerintahan tidak akan mungkin ditemukan di sini.
Sambutannya ramah, laki-laki berbadan tegap dengan setelan rapi, Jimmy Rotinsulu SE MSi, mempersilahkan kami masuk ruangan pertemuan untuk sedikit memaparkan mengenai Pusat Pelayanan Terpadu. Ia sendiri merupakan kepala DPM-PTSP.
Pemerintah dalam bentuk pelayanannya hadir dalam ruang-ruang sosial kemasyarakatan, tidak terkecuali, bahkan di pusat perbelanjaan sekalipun. Selaku yang bertanggung jawab, Jimmy Rotinsulu mencoba menjelaskan kenapa Pusat Pelayanan Terpadu mengambil tempat ini.
“Kita mengadakan pendekatan ke masyarakat. Contohnya, kalau ibu-ibu ke kantor walikota jujur parkirannya susah, orang yang tadinya mau mengurus izin jadi malas dan berfikir untuk kembali lagi besok saja. Kalau di sini bisa sambil jalan-jalan,” jelasnya lugas.
Pendekatan ini dilakukan agar kenyamanan pengunjung dapat terjamin, orang yang mengurus keperluan di pusat layanan terpadu Manado, bisa sembari jalan-jalan mencari makan ataupun berbelanja. Samping kiri dan kanan kantor merupakan gerai pakaian dan makanan.
“Sekarang program pemerintah merupakan jemput bola, bukan lagi prinsip seperti dulu, pemerintah dilayani bukan melayani. Tahun depan akan dioperasionalkan mall pelayanan publik, kalo yang itu memang sudah murni milik pemerintah kota,” sambung Jimmy sambil mengangkat tangan mempertegas kata-katanya.
Pelayanan terpadu ini juga sekaligus memotong kesan birokratis yang sering melekat. Langkah bagus pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik ini memang bukan isapan jempol belakang, bukan hanya di Sulawesi Utara saja tapi juga daerah lainnya.
Melihat data Ombudsman Republik Indonesia, hasil penelitian terhadap standard pelayanan sesuai dengan undang-undang nomor 25 tahun 2009, tentang pelayanan publik tahun 2018. Menemui hasil, dari kementrian sendiri, zonasi merah yang artinya tingkat kepatuhannya rendah adalah 0,00%. Untuk lembaga berdiri di angka 25,00%. Untuk pemerintahan provinsi di angka 12.50%, pemerintah kabupaten tingkat zonasi merahnya 24.12% dan pemerintah kota 18.37%, tren ini menurun tiga tahun terakhir.
Untuk pungli pun di pusat layanan terpadu Manado sendiri tidak punya peluang sama sekali, semua layanan adalah tiba berangkat, untuk pembayaran apapun semua dilakukan lewat bank. Jimmy menegaskan lagi, kalau ada yang kedapatan melakukan tindakan-tindakan koruptif akan langsung ditindak sesuai tahapan-tahapannya.
Ini merupakan hal yang bagus, angin segar di tengah panasnya sistem pelayanan birokrasi publik kita sekarang ini. Namun bukan tanpa kendala. Kami mencoba mencari tahu pendapat dan tingkat pengetahuan masyarakat Manado tentang pelayanan ini.
Oktavin, ibu rumah tangga dengan satu orang anak sedang jalan-jalan di pusat perbelanjaan yang dekat dengan kantor pelayanan terpadu. dia menyatakan untuk pertama kalinya tahu kalu PTSP melayani juga perpanjangan kartu tanda penduduk dan SIM. selama ini yang ia tahu kantor tersebut hanya melayani pembayaran pajak.
“Saya tahu kantor ini dari pertama buka, namun untuk pelayanan lainnya tidak tahu yang saya tahu hanya untuk pembayaran pajak” ujarnya sambil melihat ke dalam kantor dari balik kaca.
kemudahan ini dirasa sangat membantu, setelah mengetahuinya. “Ini sangat membantu sekali, saya cukup sering jalan-jalan di sini karena rumah juga tidak terlalu jauh, kebetulan KTP saya sudah mau jatuh tanggal dengan adanya pelayanan ini mungkin saya akan perpanjang di sini saja” tutupnya.
Beda lagi dengan Sartika Siska. Untuk pelayanan terpadu dia belum mengetahui sama sekali. Sebagai orang yang aktif bersosial media, dia pun tidak pernah melihat postingan iklan dan sosialisasi terkait ini.
“Saya tidak pernah tahu sama sekali terkait pelayanan pemerintah kota ini, untuk di media sosial saja saya tidak pernah melihatnya.”
Menanggapi pelayanan pemerintah di pusat perbelanjaan sendiri, Sartika meneguhkan gagasannya bahwa harus ada papan pemberitahuan atau sejenis agar masyarakat sendiri tahu tentang pelayanan ini.
Pihak DPM-PTSP menangapi hal tersebut. Cristian Sumila selaku Kepala Bagian Data dan Informasi menerangkan pelayanan tersebut telah disosialisasikan dengan gencar, sambil menunjuk poster-poster yang ada di depan beliau menegaskan, “Untuk masyarakat yang lewat dan tidak tahu berarti dia tidak membaca, orang datang ke sini jika punya urusan dan kepentingan, mungkin mereka belum berkepentingan mengurus sesuatu di sini,” ujarnya.
Sosialisasi paling gencar dilakukan lewat media sosial. Menurut Cristian akun media sosial dari Pusat Layanan Terpadu Kota Manado sudah ada dan aktif memberikan informasi. (*)
Discussion about this post