Dunia pernah mengakui bahwa Bob Dylan adalah sang raja. Tapi, dia bukan lah apa-apa tanpa Joan Baez. Kisah cinta mereka dimulai justru ketika Baez sudah digelari ratunya musik folk oleh publik Amerika.
Bob Dylan adalah pemuda kumuh ketika diajak Joan Baez tampil sepanggung di Newport Folk Festival, 1963. “Aku mendapatkan 10.000 penonton pada saat itu dan menyeret gelandangan kecilku ke atas panggung adalah eksperimen besar … Orang-orang yang belum pernah mendengar tentang Bob sering marah, dan kadang-kadang bahkan mengejeknya,” kata Joan dikutip liveabout.com.
Sebelum bermetamorfosis sebagai musisi dan pencipta lagu paling berpengaruh di abad 20, Robert Allen Zimmerman alias Bob Dylan yang baru berusia 19 bukan siapa-siapa saat tiba di Greenwich Village tahun 1961. Tapi di masa itu Baez sudah menjadi ratu folk. Baez yang begitu dikenal karena kritiknya yang tajam pada pemerintah, pada masanya adalah Sang Dona —ratu, penguasa dan primadona— sebagaimana judul salah satu tembangnya yang populer itu.
Begitu ngetopnya Baez, alasannya karena secara berturut-turut 10 lagunya menguasai tangga lagu di Inggris pada 1965, dan masuk dalam 40 nama musisi berpengaruh dunia pada masanya.
Dan Dylan menyaksikan Sang Dona pada salah satu program TV, matanya tidak berkedip. Vokal Baez adalah nyanyian yang bisa langsung didengar Tuhan, “Dan mampu mengusir segala roh jahat,” kata Dylan dalam Outobiografinya, Chronicles: Volume One. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dasar Dylan bukan siapa-siapa, maka Baez pun tidak memperhatikannya kendati mereka jadi penampil di Gerde’s Folk City pada 1961. Namun bakat bermusik Dylan yang semakin terasah akhirnya membuat Baez patut memalingkan mata saat mereka bertemu di Boston’s Club 47, sebuah klab folk terkenal. Baez terpesona. Tak lama berselang keduanya bersanding dalam 1 panggung di Monterey Folk Festival. Ini bukan hanya jejak sebuah kisah cinta antara raja dan ratu, tapi juga kemitraan panggung musik yang paling legendaris di tahun 60-an.
Hanya dalam kisah ini, sang ratu lah yang membukakan jalan buat kekasihnya menjadi sosok terkenal. Karier Bob Dylan kian melambung setelah kolaborasinya dengan Baez. Romansa keduanya terekam jelas dalam berbagai penampilan festival musik, hingga sejumlah tembang. Album kedua Dylan, The Freewheelin Bob Dylan, semakin mencuri perhatian publik. Bukan hanya karena Dylan berbakat, justru karena dia disebut-sebut ‘mencuri api’ dari kekasihnya sendiri.
Kritik Tajam
Joan Baez lahir di Pulau Staten New York pada 9 Januari 1941. Dia blasteran Meksiko-Irlandia. Kendati Staten Island adalah pulau tenang di depan gemuruh Big Apple, tapi jiwa pemberontak Baez sudah hadir sejak ia belia. Ini tak lain karena didorong kegiatan ayah dan ibunya yang dikenal sebagai quakers dan aktivis sosial.
Joan tak hanya menjadi ratunya musik folk. Lewat suara dan karya-karyanya, Joan tumbuh sebagai musisi yang sangat aktif menyuarakan protes dan kritikan tajam pada pemerintah. Di era 60-an, generasi bunga Amerika menjadikannya idola karena lantang menentang Kenndey, Nixon dan perang Vietnam.
Begitu juga dia mendapat tempat di hati warga kulit hitam Amerika, karena mendukung penuh pertentangan antara Marthin Luther King dan politik segregasi lewat lagu “We Shall Overcome”. Lewat perlawanannya Baez mengajak kalangan intelektual kampus untuk berjuang dalam narasi kebebasan berpendapat, sesuatu yang dibatasi saat itu. Dia ditangkap dan dibungkam pada 1967 karena terlalu sering melakukan protes dan paling parah, memblokir pusat angkatan bersenjata.
Harapannya pada kehidupan sosial yang lebih ideal tak pernah berhenti, kendati di era milenial usianya sudah menginjak angka 70. Pada masa kini, Joan Baez muncul lagi seiring kepemimpinan Donald Trump yang oleh banyak kelangan disebut, over-protektif dan rasis. Baez yang terkenal lewat lagunya, Dona Dona, tetap gahar ketika semua rambutnya memutih, menentang Trump yang mengeluarkan larangan imigran.
Baca Juga: Mengumpat Ciuman Sepotong dari Sepotong Nyanyian Angsa
“Sekarang kita butuh Joan Baez,” kata Joe Henry, salah stau kerabat dekatnya.
Apakah Anda keberatan bertambah tua? tanya reporter The Guardian Kate Kellaway tahun ini pada Baez.
“Sekitar dua tahun yang lalu saya berpikir, ya Tuhan, saya akan berusia 80, dan jadi saya pergi ke rumah mengatakan: “Aku akan menjadi 80” selama sekitar satu bulan,” kata Baez pada wawancara khusus itu.
Tapi, lanjut dia, “Itu tidak mengganggu saya sekarang. Pahlawan perempuan saya yang lain termasuk Meryl Streep berkampanye untuk menghentikan perempuan menata ulang wajah mereka melalui operasi. Tujuan saya adalah merangkul keriput.”
Dari jawaban itu, dan demi kehidupan yang lebih baik, terbayang Joan Baez memang belum berpikir untuk pensiun dari aktivitas memprotes kebijakan pemerintah. Sementara kisah cintanya dengan Bob Dylan yang hanya sekitar 2 tahun adalah sebuah kenangan.
Kendati keduanya duet proporsional di atas panggung, apalagi dilandasi pasangan kekasih, tapi anda juga tahu bahwa cinta juga bisa berubah jadi hal-hal menyakitkan. Tanda keretakan keduanya terlihat saat Dylan tidak memberi panggung pada Baez pada konser selama tur Eropa tahun 1965. Beberapa orang bicara, Dylan terkesan tidak sepaham dengan arah politik Joan Baez yang begitu aktif melakukan penentangan dan kritik sosial. Dalam posisi ini Baez benar-benar merasa kecewa. Dia telah disingkirkan oleh bukan hanya sosok yang dia kasihi, tapi juga orang yang dia ‘ciptakan’.
Ada beberapa kali upaya dari sejumlah produser yang ingin menyatukan duet maut ini kembali dalam satu panggung di era 80-an. Namun semuanya urung terjadi.
“Anda dapat menyimpan dendam untuk waktu yang lama, tapi seperti ajaran Budha, menyimpan dendam adalah sebuah kebodohan,” kata Baez pada Kate Kellaway. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post