Manado, Barta1.com – Mengenang hari gugurnya Pahlawan Nasional Robert Wolter Mongisidi dihukum tembak mati oleh tentara pendudukan Belanda pada 70 tahun lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.
Maka dikisahkan lewat cerita singkat teatrikal bertema: Setia Hingga Akhir. Dipentaskan anak-anak Teater Permak (Perombak) di Gedung Graha Gubernuran Sulut, Kamis (5/9/2019).
Cerita Singkat Melalui Pementasan Teatrikal:
Diperankan dalam gedung Graha Gubernuran, salah satu sudut Kota Makassar itu masih sepi ketika sebuah jip militer milik Belanda menembus sunyi menuju tangsi, Di depan sana, telah menunggu 4 orang, berpakaian tentara juga yang tidak lain adalah R.W. Mongisidi, yang diperankan oleh Imanuel Stiv Takasanakeng bersama 3 orang lainnya yaitu Abdullah Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng Matari, yang diperankan oleh Gerald Entjerauw, Alfeus Salombe, Cristian Tambaru.
Jip dihentikan, Mongisidi menodongkan pistol ke arah kepala satu-satunya orang yang berada di mobil itu, seorang kapten yang diperankan oleh Koko Jul. Seragam dan tanda pangkatnya sang kapten dilucuti, lalu dikenakan oleh mongisidi.
Salah satu aksi heroik Mongisidi terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan. Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak-menembak. Mongisidi nyaris saja tertangkap, tapi berhasil lolos.
Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kini mengenali sosok Mongisidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya.
Tangan dan kaki Mongisidi dibelenggu dengan rantai, kemudian dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makasar. Dalam masa itu, Belanda kerap membujuk Mongisidi agar mau bekerjasama, tapi ia selalu tegas menolak. Akhirnya, ia divonis akan menjalani hukuman mati.
Pihak Belanda masih sempat menyarankan kepada Mongisidi untuk mengajukan grasi agar mendapatkan pengampunan.
“Minta grasi? Persetan dengan grasi, itu berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman.
Dalam Percakapan Bahasa Bantik, RW Mongisidi panggilan akrabnya Bote dan ayahnya Opa Petrus Mongisidi, yang diperankan oleh Daniel Birahim.
Opa Petrus : KAU’ DO AYATE’ MAKAHAHI?
Bote : IYA MANENG NIHENTENG NGGIE’
PANGATAMAI IYA SU LOANG NETE
TOU ADABO IYA MAHAHI NGASA TUMANI BUNONG
SIDE GUNILRIDI NI YA.
Guratan Pena dari dalam penjara yang ditulisnya di lembaran kertas dengan judul “Setia Hingga Terakhir Dalam Keyakinan”
Tepat hari ini 70 Tahun lalu. Senin, 5 September 1949, Pukul. 05.00, Mongisidi dibawah kehadapan regu tembak. Mata dan hatinya terbuka menghadapi eksekusi, tidak ada rasa takut dan gentar demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta.
Sesaat sebelum pelatuk ditekan, Mongisidi berucap kepada para regu tembak, “Laksanakan tugas, saudara! saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan. Saya maafkan saudara-saudara dan Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara.
“Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku,” tambahnya.
Dan, bersamaan dengan tiga kali teriakan Merdeka.. Merdeka.. Merdeka. 8 peluru bersarang dan menembus raganya. Mongisidi tersimpuh gugur di umur 24 Tahun.
Peliput: Albert P Nalang
Discussion about this post