Oleh: Iverdixon Tinungki
Nyanyian Angsa Chekhov adalah sebuah analekta. Tidak saja dibutuhkan energy besar untuk memerankannya, juga dibutuhkan sejumput pengetahuan untuk menontonnya.
Amato Assagaf adalah sastrawan, dramawan dan ahli filsafat. Seperti juga anda, Amato sangat menanti-nantikan pertunjukan lakon “Nyanyian Angsa”.
Lakon karya dramawan modern Rusia Anton Pavlovich Chekhov ini akan dipentaskan Walekofiesa, sebuah komunitas pekerja teater Manado, pada Sabtu, 31 Agustus 2019, di aula Balai Bahasa Sulawesi Utara, jalan Diponegoro 25 Manado, pukul 18.30 wita.
Lazimnya penonton teater Eropa-Amerika, Amato yang punya latar akademik teater tentu akan datang menonton dengan segala persiapan matang.
Mengapa? Sebab, menonton teater tanpa persiapan berupa seperangkat pengetahuan yang dibutuhkan, maka pertunjukan itu akan menjadi semacam gema kosong yang datang pada saat anda tidur.
Pecandu teater harusnya tak beda dengan pencadu sepak bola. Pecandu sepak bola sangat menguasai peta kekuatan berbagai club, menghafal nama dan skill setiap pemain, sejarah dan biografi pelatih, kontur stadion dimana laga berlangsung, bahkan detil-detil lain yang berhubungan dengan permainan lapangan besar itu.
Di Amerika dan Eropa, pecandu teater akan membaca berbagai resensi dan referensi sehubungan dengan pertunjukan sebelum mereka menyambangi gedung teater. Sebab mereka tak ingin membuang waktu untuk kesia-siaan. Mereka harus lebih awal tahu, mengerti, dan memahami apa yang akan dipertunjukan, sehingga mereka bisa menikmati pertunjukan. Tontonan yang menarik segera mendapatkan tepuk sorai, yang jelek segera mendapat umpatan.
Dan menonton karya-karya Chekhov tidaklah mudah. Selain ia adalah penulis drama-drama berkelas, satire Chekhov dipenuhi penanda (signified) dan petanda (signifier) sebagaimana diisyaratkan dalam semiotika Ferdinand De Saussure dan Roland Barthes.
Di lain sisi, drama sebagai karya sastra merupakan cerminan dari masyarakatnya, yang dipenuhi makna simbolis yang perlu diungkap dengan model semiotika. Sebagai karya yang bermediakan bahasa, drama memiliki bahasa yang sangat berbeda dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun bahasa karya ilmiah. Bahasa dalam sastra menggunakan gaya bahasa tersendiri.
Ini sebabnya, harusnya saya menulis lebih awal estetika dramatic “Nyanyian Angsa” Chekhov. Terutama menyangkut alurnya yang kompleks, gramatiknya, bahasa tubuh, pengucapan dan otensitasnya. Namun saya berada di titik terdalam kecemburuan. Cemburu pada Pearly Eirene dan Latirka Toar yang sedang dilanda cinta. Manusiawikah kecemburuan saya?
Harus kuungkap, fase awal manusia manula adalah 55 tahun. Dan saya telah melampaui usia itu. Seperti Vasili Svietlovidoff dan Nikita Ivanitch, dua tokoh Anton Pavlovich Chekhov dalan ‘Nyanyian Angsa’. Barangkali saya mulai didera Post Power Syndrome, penyakit laten kaum manula yang oleh orang Manado disebut “Tuta”.
Tuta semacam ini sering menimpa orang-orang yang dahulu pernah popular, berkuasa, atau memiliki kekuasaan yang sudah memasuki masa pensiun, atau kembali menjadi orang biasa. Sebuah deraan perasaan tidak dihargai oleh orang-orang disekitarnya. Akibatnya, kehilangan jati diri dan tujuan hidup. Dan selalu terpuruk dalam kenangan-kenangan masa lalu dan kesunyian, sambil menghibur diri dengan sebotol bir. Dan ketutaan ini sangat manusiawi sesungguhnya.
Pada tulisan ketiga ini saya menyadari, dua tulisan sebelumnya adalah bagian dari kengelanturan saya karena dibakar api cemburu pada Pearly Eirene dan Latirka Toar, dua sosok tokoh rekaan saya dari bayangan Svietlovidoff dan Ivanitch.
Serangan aktor Allan Zefo Umboh haruslah saya nyatakan benar. Karena perangkap cemburu dalam diri manula saya sebagai penderita “Tuta”, membuat tulisan pertama dan kedua saya baru mampu melihat ruang kecil, dari semesta besar yang dikandung oleh Nyanyian Angsa.
Saat membuka Rabu pagi tanggal 28 Agustus 2019 langit tiba-tiba menjadi begitu murung. Pertama, saya kehabisan kopi dan rokok. Kedua, dua tulisan saya sebelumnya disebut sebagai bedahan yang centil oleh Olden Kansil, salah seorang staf ahli gubernur Sulut via messenger.
Saya jadi ingat lelucon Rusia yang penuh ironi dan sarkasme: “Kalau ingin punya rokok dan mencecap kopi, jangan jadi penulis.”
Tiba-tiba saya merasa senasib dengan Svietlovidoff dan Ivanitch. Sama dengan Pearly Eirene dan Latirka Toar, seniman manula yang terus menyosong sisa hidup dengan penuh harapan dan sekaligus penuh ratapan.
Seperti kutukan Ikarus yang bermimpi mencapai matahari dengan sayap palsu, atau Sysyphos yang terperangkap nihilism, saya harus terus menulis Svietlovidoff, orang tua malang itu. Karena tinggal dengan menulis kami sama-sama masih bisa melihat matahari di masing-masing ujung usia.
“Ayolah kita pergi tukar pakaian. Aku bukan orang tua. Semua itu tolol, omong kosong! (Tertawa gembira) Apa yang kau tangisi? Ini bukan … kemauan! Ya, ya, segalanya ini bukan kemauan! Mari, mari orang tua, jangan terbeliak bigitu! Apa sebab kau terbeliak begitu? Ya, ya, (memeluk sambil menangis) Jangan menangis! Di mana ada seni dan jenius di situ pasti tidak ada segala ketentuan, kesepian, atau penyakitan … hanya kematian itu yang semakin dekat.” ujar Vasili Svietlovidoff, kepada Nikita Ivanitch.
Sebagaimana kekhasan Chekhov, dalam satire paling pedih seklipun selalu diakhiri dengan optimis dan riang gembira. Chekhov seakan mengajak untuk (men)cinta tanpa henti, kendati dengan segala kemungkinan-kemungkinan cinta yang menarik dan ekstrem. Begitulah saya menjawab hutang pertanyaan pada bagian kedua tulisan saya.
Analekta Kesenyian
Dan semua pasti tahu, “Nyanyian Angsa” nyaris seutuh monolog yang dimainkan tokoh Svietlovidoff. Nah, Barangkali menarik bila saya menyentil sedikit analekta atau bunga rampai kesunyian yang dialami aktor manula itu.
Peristiwa ini terjadi di sebuah teater daerah. Malam hari setelah pementasan. Si sebelah kanan keadaannya tidak teratur dan ada pintu usang tak bercat ke kamar-kamar pakaian. Di sebelah kiri dan latar belakang pentas diseraki oleh bermacam-macam barang usang. Di bagian tengah ada sebuah kursi polos terjungkir.
Ketika ia sedang asyik dengan kesedihan hidupnya, muncullah Ivanitch Nikitushka, seorang juru bisik yang diam-diam juga bermalam di kamar pakaian.
Melihat sang aktor tua dirundung kesedihan, Nikitushka pun mencoba menasihati Svietlovidoff untuk tidak usah larut dalam kesedihan, meskipun tidak ada seorang pun yang peduli dengannya kini. Mereka pun terlibat dalam perbincangan mengenai pengalaman teater mereka.
Dalam malam itu, Svietlovidoff, tengah mabuk dan baru saja tertidur di gedung pertunjukan sehabis pentas. Ia bangun dan masuk ke panggung, meracau sendiri soal keadaan dirinya sebagai aktor dan sebagai lelaki yang ia rasa sudah sempurna. Sebagai aktor yang seringkali mendapat peran-peran besar seperti Hamlet sampai King Lear ia ucapkan dalam racaunya sebagai ujaran kebanggan eksistensi diri.
Seperti saat Svietlovidoff memperagakan tokoh-tokoh dan beradegan dengan Nikita Ivanitch, terlihat bahwa Svietlovidoff selalu ingin mendominasi atau “berdiri sendiri” dari lawan mainnya, memperlakukan lawan mainnya seperti benda yang bisa ia atur semaunya. Meski begitu, ujaran kebanggaan itu nampak seperti sebuah hiburan dari kesedihan, kepedihan, dan terutama kesunyian yang ia rasakan.
Terlebih sebagai aktor teater ternama, yang dalam kehidupan nyatanya tak begitu membantunya sama sekali, bahkan membuat nasibnya menjadi buruk. Beberapa kali ia melamar wanita yang menjadi penggemar karya-karyanya dan selalu saja ditolak karena alasan dunia teater tak menjanjikan kehidupan yang nyaman dan mapan.
Beberapa kali juga ia merasa bahwa para penonton yang menggemarinya, yang membawakannya bunga, mengajaknya berfoto sama sekali tak peduli padanya. Nikita Ivanitch muncul sebagai tokoh lugu dan karena keluguannya sering memberi kesan jenaka. Nikita Ivanitch yang bertemu Svietlovidoff pada malam itu pun sama-sama karena alasan tertidur, ia tertidur di ruang ganti dan terpaksa jadi menginap juga.
Sehingga dalam pertemuan yang tidak direncanakan ini, Svietlovidoff seorang aktor tua yang penuh romantisme masa lalu dan Nikita Ivanitch seorang juru bisik tua menjadi dua orang yang sangat akrab pada malam itu.
Nah, kembali ke Amato Assagaf. Ia telah beberapa kali menonton Nyanyian Angsa di panggung nasional. Dalam percakapan dengan penulis, ia berharap Eirene Debora selaku sutradara mampu menyuguhkan hal baru baik dari sisi tafsir teks dan artistik serta penggarapan aktor. Tanpa itu, kita akan menyaksikan kelaziman penyajian yang sama, hanya saja di panggung yang berbeda.
Lantas siapa saja actor dan pendukung pementasan yang sangat ditunggu ini? Saya akan menyajikannya untuk anda pada seri tulisan berikutnya. (*)
Discussion about this post