Andaikata etnograf N. Graafland menyusuri Tomohon hari ini, barangkali ia akan berkata: “ada yang hilang di negeri bunga Kana ini!” Yang hilang itu adalah sesuatu yang alami, kecantikan gadis gunung yang pipinya memerah bila terterpa semburat sinar matahari.
Hari itu 14 Maret 2019 di Tomohon, di tengah ladang bunga. Nyanyian hati petani berkesiur, membersihkan sulur-sulur berlumpur saat langit mengecupi mereka dengan cahaya. Apakah pemandangan ini juga dilihat etnograf N. Graafland ketika menuliskan suatu negeri bernama Tomohon, yang dikunjunginya pada tahun 1850?
Area sawah mulai terdepak jauh ke belakang. Bangunan warna-warni mengisi pinggiran ruas-ruas jalan. Mulai jarang terdengar dengus sapi penarik roda bermuatan bambu menuju kota, membela subuh yang berlumur halimun. Obor terikat di sudut gelagar, rokok Oskar sesekali meretih di ujung bibir, dan bau sopi menguar jauh terbawa angin. Telah jarang kusir-kusir itu melintasi pagi.
Namun bagi saya, Kota Tomohon masih saja indah, eksotis, dan menawan, setara sepotong surga yang terbancak ke bumi, ke tanah Minahasa. Di sini saya seakan-akan mendengar ada suara kecapi dari pohonan, pohon-pohon yang tak pernah mendoakan kematian manusia, kecuali membawakan mereka galur-galur nafas jernih, lebih indah dari serat-serat warna bunga Leli.
Yang hilang itu hanya kenangan di tahun 1980-an, tahun-tahun saat film “Gita Cinta Dari SMA” atau “Sakura Dalam Pelukan” masih Booming. Masa-masa usia SMA yang melangkoli. Waktu-waktu ketika Adrianus Kojongian masih penyair Tomohon di Teater Lima yang membuat saya selalu ingin bersinggah.
Saya sering datang ke sini, menikmati keindahan hamparan bunga Gelombang Cinta, Lantana, Garbera, Heliconia, Jenman, Dracaena, Krekleili, Krisan, Medinilla dan Kecombrang. Lalu pergi ke tepi bentang sawah menulis puisi, memandang burung-burung Rinceng yang riang mematuk gerabah. Sambil menanti senja menjuntai ke arah kaki langit, yang selalu pasti, apa yang dinanti segera tiba di sini, tak lain gerisik langkah gadis gunung nan cantik melintasi pematang sawah, dengan pipi merona merah terterpa sinar matahari, apalagi di saat musim panen tiba. Wajah mereka begitu berseri membantu para tetua menepihkan jerami.
Tapi hari itu, 14 Maret 2019 itu, seperti di tempat mana pun yang tak luput dari serbuan gelombang kosmetik, pipi gadis yang memerah seakan berlalu dalam waktu yang juga berlalu. Yang alami seakan pergi, para milenial mengisi hari-hari dengan riasan yang lebih kini. Bahkan para ibu, melakukan smoothing atau rebonding. Salon-salon kecantikan yang ramai dikunjungi. Di hamparan sawah, mulai hilang keramaian yang dulu berbagi riang.
Tentang kehilangan itu baiknya ku abadikan dalam frasa:
di bentang pematang penyeberangan
kutemukan lagi cahaya tua tirus di atas pelepah
sebuah masa membawa pergi sesuatu pernah kita reka
pucukpucuk gabah, tubuhtubuh bernas
mengering dilisut gamis senja
tinggal bau sawah, bau rawa membawaku Juni yang basah
bunga tilansia, pohonpohon nuclea
memunculkan kembangnya
jernih seperti mata cinta, masih sama
seperti saat kita menari dengan sepi duka bajak petani
satwasatwa, pemburu madu, menyerbu kenangan itu
saat runtuh satusatu dari hatiku
ke pematang rapuh oleh air mataku
aku melewatinya bersama beberapa pengerik
melintasi desadesa sepi
wajahwajah menyimpan letih di keranjang berisi benih
burung bulbul di ranting cempaka sesekali mendengung
mengingatkan aku desis rambutmu:
–kenangan itu seakan punya kaki membuntutiku—
Lalu, Tomohon telah menjadi kota bagi 87.719 jiwa sejak 4 Agustus 2003. Negeri di ketinggian 900-1100 meter dari permukaan laut (dpl), diapit 2 gunung berapi aktif, Lokon (1.580 m) dan Mahawu (1.311 m). Ini kota yang termasuk bersuhu dingin di kawasan tropis, 30 derajat Celsius di siang hari, dan 18-22 derajat Celsius pada malam hari. Negeri seluas 147,21 km2 ini di masa lalu namanya berasal dari kata “Tou mu’ung” dalam bahasa Tombulu.
Ada festival bunga tiap tahun di sini, yang seolah-olah mau mengatakan dalam bahasa paling ikonik, hidup adalah sejuntai Sepatu, Anthurium, Aster, Bromelia, Levender, Agave, dan Alamanda. Dan waktu ternyata terus beranjak, menyelusupkan garis api meteorit, melesap ke eter sebegitu legam di hulu dada. Mengingat segala yang indah dari Kota ini:
mengingat belibisbelibis di hamparan rawa
gulungan kabut dan debu hari mengubah kita setipis udara
menguap seperti senja berakhir di tirus ranting
hanya desah nafas menangis
tapi aku tak bisa lagi mengikuti kenangan itu
ia lebur di tasik tawar menjambakku lesap ke tengah sepi hambar
hanya ada belibisbelibis liar sebegitu nyaring bersiul
menenggelamkan rasa ampas harus dihempas
di sini aku mendengar langit mendesis
sayapsayap murai mengurai pertemuanku dengan diri
di sini aku mendengar tembang pinggir langit
wajahwajah baik memberi aku pagi
di sini aku merasa sahabat muraimurai bernyanyi
sawah, ladang, dan padang ilalang menyambutku dengan senyum
saat kubangkit dari lupa dan luput
kecuali dengan puisi retak di bawah rumpun alamanda
merayap, menjatuhkan loncenglonceng embun
hampir memecah pada ladang mataku masih saja bertanya
Bagaimana sampai di padang warna
tanpa hari
tanpa tanah
tanpa cuaca
–bahwa dari lahir ke tua
Tuhan selalu punya cara memberiku catatan luka
Bahagia
(***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post